Libur kembali meneduhkan jiwa. Bagi pelajar, libur adalah
sebuah kenikmatan surga yang tiada tara. Melebihi apapun. Aku pasti menyambut
hari libur dengan penuh suka cita. Apalagi libur kali ini, tidak
tanggung-tanggung, 2 bulan aku harus mendekam diri di rumah. Libur semester yang
indah.
Aku pulang dari perantauanku di Yogyakarta. Menuju kota
kecil nan Asri, tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Tempat dimana 2
orang yang paling aku cintai hidup dengan damai. Orang tuaku. Jauh di Yogyakarta
sana, tidak terlewat sehari pun aku selalu mengingat raut wajah keanggunan
ibuku dan raut mata pengharapan ayahku. Aku selalu menangis di dalam hati,
kenapa mereka begitu peduli kepadaku, padahal aku belum bisa membuat mereka
tersenyum. Belum bisa. Dan mungkin tak akan pernah bisa.
Aku pulang dan di sambut dengan senyuman merekah dari bibir
mereka. Senyuman yang meneduhkan hati dan jiwaku. Hingga aku dapat melupakan
semuanya. Semua masalah. Semua tugas. Semuanya, hilang ketika mata indah mereka
bertemu dengan mataku. Aku tidak tahu mengapa hal ini terjadi padaku. Padahal
sebelumnya, aku tidak merasakan hal-hal yang luar biasa ketika melihat mereka
berdua.
Tapi entahlah. Setelah aku pergi dan berniat merantau ke
kota gede Yogyakarta, hatiku selalu diliputi kesedihan, diliputi kesepian,
tanpa kehadiraan mereka, yang telah ada dan selalu berada di sampingku hingga
kini.
Aku membuka pintu dan aku peluk ibuku dengan kehangatan
seorang anak yang manja. Aku rangkul dan aku benamkan kerinduan yang sudah aku
pendam selama satu tahun itu. Semuanya tertumpah dalam hitungan detik yang
begitu terasa cepat. Aku masuk dan suasana kembali seperti sedia kala. Kini aku
harus menyusun rencana untuk membuat liburanku bermakna.
Ke esokan harinya, aku mengajak kedua orang sahabat karibku,
Dadang dan Ibnu untuk ikut bergabung
denganku merayakan libur panjang.
“Mau kemana emangnya, lan?” tanya mereka kepadaku.
“Coba kira-kira tempat mana yang cocok untuk kita kunjungi?”
“Gimana kalau Cirebon?” usul Dadang seperti biasanya. Maklum
lah, dia sanngat senang sekali jika di bawa jalan-jalan ke kota intan itu,
karena pemandangannya begitu megah.
“Hmmm, kita ke Waduk Darma aja gimana?” sahut ibnu
memberikan ide cemerlangnya.
“Ok, kita deal ke Waduk Darma. Habis itu kita cabut ke
Cirebon, bagaimana?”, jawabku dengan penuh pertimbangan.
“Ok”.
Hari itu juga kami melaju ke Waduk Darma. Sebuah danau yang
berada di kaki gunung Ciremai. Kira-kira kami membutuhkan waktu satu jam
setengah untuk sampai di tempat itu. Aku menaiki motor kesayanganku sendiri,
sedangkan mereka naik motor berboncengan.
Sesampainya di Waduk Darma, kami memesan minuman. Kami ngobrol ngalor-ngidul seperti biasa. Melepas
rindu kami yang tidak bertemu selama satu tahun lebih. Dadang kini sudah bekerja
di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, sedangkan Ibnu bekerja sambil
kuliah di Bandung.
Di tengah—tengah obrolan kami yang semakin akrab, tiba-tiba
awan pekat menunjukkan sikap seperti hendak hujan. Tapi entah mengapa, kami
berpikir ini terlalu mendadak. Proses hujan tidaklah seperti ini. Seharusnya
mendungnya langit tidak secepat itu. Kami yakin ini bukan pertanda hujan. Dan
memang benar.
Di tengah-tengah danau Darma yang luas itu, terjadi
perpusaran air yang sangat besar. Besar sekali. Kami menjerit. Tapi aneh.
Orang-orang disekeliling kami tidak menyadarinya. Mereka juga seperti tidak mendengarkan
teriakan kami. Aneh. Sungguh aneh. Dan secara tiba-tiba, ada sedotan angin dari
pusaran air itu menuju ke tempat kami. Kami menahannya dengan memegang meja besi
yang ada di depan kami. Tapi naas, sedotan itu terlalu besar. Dan sungguh aneh.
Yang disedot hanyalah kami bertiga. Dan kami-pun masuk ke dalam pusaran air itu
dengan sedotan angin yang sangat kuat.
***
Ketika kami bangun. Semuanya tampak seperti biasa. Kami
sudah kembali normal lagi di pinggir Waduk Darma, tempat sebelum pusaran air itu menyedot kami. Orang-orang
lalu lalang tidak mengerti dan seperti cuek melihat kondisi kami.
“Tidur lama banget kang,” kata penjual minuman yang
sebelumnya kami pesan.
“Kami ketiduran? Berapa jam?” tanyaku penasaran.
“Yah satu jam setengah lah. Di bangunin juga susah lagi.”
Aku buru-buru lihat jam tanganku. Dan benar. Kami tertidur
kurang lebih satu jam setengah.
Kami pun cepat-cepat bayar minuman dan langsung pergi meninggalkan
Waduk Darma yang sangat misterius itu.
Di dalam kamarku, kami mendiskusikan kejadian tersebut.
Kami benar-benar tidak memahami maksud
dan tujuan hal itu terjadi kepada kami. Tapi yang jelas, ini bukanlah mimpi.
Karena entah mengapa, kami yakin ini bukanlah sebuah mimpi.
***
Dua hari setelah kejadian itu, secara mendadak Dadang dan
Ibnu mendatangiku di belakang rumah. Mereka datang dengan wajah terkejut.
“Parlan, coba lihat ini!!!” ucap Dadang dengan setengah
ragu-ragu sambil mengangkat sebuah besi yang lumayan besar.
Dan “trokk”. Besi itu patah dengan sangat mudah olehnya.
Gila. Ini benar-benar gila. Ibnu melakukan hal yang sama. Malah secara mendadak
Ibnu langsung masuk ke kolam di pinggir kebunku, berenang dan menenggelamkan
diri. Coba kalian tebak, berapa lama dia berada di dalam air? Kalian pasti
tidak akan percaya. Dia berada di sana
selama satu jam lebih. Parah. Benar-benar parah. Ada suatu zat khusus yang memberikan
tenaga yang hebat kepada kami bertiga tanpa tahu kenapa dan apa tujuannya.
Dari situlah, kami dirundung kecemasan. Tiga bocah dari
kampung memiliki tenaga super yang bisa menandingi seribu orang secara
bersamaan. Aku tidak tahu apa maksudnya. Lama kami merenung, dan kami tetap
tidak menemukan jawabannya.
=============
Ditulis oleh : idikms
Tidak ada komentar:
Posting Komentar