Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Jumat, 29 November 2019

Analisis Kasus Tindak Pidana Perbankan PT. Bank Perkreditan Rakyat KS Bali Agung Sedana (BPR KS BAS)


A. Kronologis Kasus


Kasus ini berkaitan dengan penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Jepang oleh PT. Indonesia Human Support Corporate (IHSC). Dalam persyaratannya, IHSC mewajibkan setiap TKI yang akan diberangkatkan ke Jepang menyetorkan sejumlah dana kepada IHSC yang akan digunakan untuk biaya pelatihan ketenagakerjaan. Jumlah dana yang disetorkan tidak sama, kisarannya setiap TKI dibebankan sekitar Rp. 30 juta hingga Rp. 60 juta. Kisaran biaya tersebut tergantung asal daerah calon TKI. Para TKI tersebut berasal dari tiga wilayah, yakni Bali, Banyuwangi, dan Lombok yang keseluruhannya berjumlah 54 orang TKI. Dan untuk mengikat para TKI yang dijanjikan akan disalurkan ke Jepang dengan imbalan gaji berkisar Rp 18 juta hingga Rp. 20 juta per bulan, IHSC juga meminta setiap TKI juga menyerahkan sertifikat tanah yang dimiliki (sertifikat hak milik/SHM).



Seluruh SHM yang telah diserahkan kepada IHSC kemudian dijadikan agunan untuk memperoleh kredit oleh Jalaludin selaku Dirut IHSC kepada PT. Bank Perkreditan Rakyat KS Bali Agung Sedaya (BPR KS BAS). Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS kemudian memerintahkan pegawai BPR KS BAS untuk memproses pemberian kredit tersebut kepada 54 orang debitur dengan total nilai Rp. 24,225 miliar. Besaran kredit tersebut bervariasi, mulai dari Rp. 200 juta hingga Rp. 600 juta per debitur. Pemberian kredit tersebut berlangsung pada periode Maret 2014 hingga Desember 2014. Dalam pengajuan kredit tersebut, para TKI yang dijadikan debitur tidak mengetahui adanya pengajuan kredit dan tidak pernah menerima uang dari kredit tersebut. Bahkan terdapat mark up gaji TKI, yang sebenarnya Rp. 13 juta per bulan di-mark up menjadi Rp. 30 juta, serta waktu kerja yang hanya lima tahun, tetapi kredit dapat terbayarkan selama lima belas tahun. Selain itu, pencairan kredit tersebut juga dilakukan terlebih dahulu sebelum semua prosedur administrasi terpenuhi. Dana kredit tersebut diduga digunakan untuk pembelian sejumlah properti atau diputar untuk dana properti.


April 2018, kasus ini telah diungkap dan ditangani oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Satuan Kerja Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK yang bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Bali (Polda Bali). Pengungkapan kasus ini berawal dari temuan dalam proses pengawasan yang dilakukan OJK terhadap kegiatan BPR KS BAS dan juga adanya laporan yang diterima Polda Bali, yakni dari I Kadek Septian Dwi Cahyadi dan I Putu Arnawa yang tidak jadi diberangkatkan ke Jepang oleh IHSC. Kedua pelapor tersebut juga mempertanyakan mengenai kejelasan SHM mereka yang ditahan pihak IHSC. Dalam pengungkapan kasus ini, ada beberapa tindak pidana yang diselidiki, yakni tindak pidana perbankan, tindak pidana umum (penipuan/penggelapan), dan tindak pidana pencucian uang. Untuk tindak pidana perbankan ditangani oleh OJK, sementara untuk kedua tindak pidana yang lain ditangani oleh Polda Bali. OJK telah mengungkap tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS. Dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Denpasar, Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS telah terbukti melakukan tindak pidana perbankan, yakni ketentan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini, hakim dalam putusannya yang dibacakan pada 08 Oktober 2018 menghukum Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS dengan pidana penjara selama enam setengan tahun dan pidana denda sebesar Rp. 5 miliar subsider tiga bulan kurungan. Sementara itu, untuk dugaan tindak pidana umum (penipuan/penggelapan) dan tindak pidana pencucian uang yang diduga melibatkan Jalaludin selaku Dirut IHSC sampai saat ini sedang ditangani Polda Bali.


OJK sebelumnya melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-202/D.03/2017 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat KS Bali Agung Sedana, mencabut izin usaha BPR KS BAS yang beralamat di Jl. Raya Kerobokan No. 15Z, Kuta, Badung, Bali terhitung sejak tanggal 03 November 2017. BPR KS BAS tersebut telah masuk status Bank Dalam Pengawasan Khusus sejak tanggal 12 April 2017, dan sesuai ketentuan yang berlaku, BPR KS BAS diberikan kesempatan selama 180 hari untuk melakukan upaya penyehatan. Akan tetapi, dalam jangka waktu tersebut, BPR KS BAS tidak dapat menjalankan semua arahan yang diberikan, sehingga BPR KS BAS pun ditutup.



B. Analisis Kasus


Berdasarkan kronologis kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS bekerja sama dengan Jalaludin selaku Dirut IHSC dalam melakukan kejahatannya. Modus yang dilakukan oleh Jalaludin sendiri adalah memberangkatkan para TKI untuk bekerja di Jepang dengan salah satu syaratnya menyerahkan SHM yang dimiliki oleh para TKI sebagai jaminan atau untuk mengikat para TKI. Akan tetapi, justru SHM tersebut dijadikan jaminan oleh Jalaludin untuk mendapatkan kredit di BPR KS BAS, kredit tersebut diatasnamakan kepada para TKI tanpa sepengetahuan dari para TKI tersebut. Tidak hanya itu, dana yang diperoleh dari kredit tersebut tidak diserahkan kepada para TKI, melainkan diserahkan kepada IHSC. Sementara itu, modus yang dilakukan Nyoman Supariyani adalah dengan memerintahkan pegawainya untuk memproses pemberian kredit kepada 54 debitur dengan total nilai sebesar Rp. 24,225 miliar pada periode Maret 2014 sampai dengan Desember 2014. Proses penyaluran kredit tersebut tidak sesuai dengan prosedur sehingga menyebabkan pencatatan palsu dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan suatu bank terhadap ketentuan perbankan. Hal-hal yang tidak sesuai prosedur dalam pemberian kredit tersebut adalah adanya mark-up gaji TKI, yang sebenarnya Rp. 13 juta per bulan di-mark up menjadi Rp. 30 juta, serta waktu kerja yang hanya lima tahun, tetapi kredit dapat terbayarkan selama lima belas tahun atau kredit diberikan selama lima belas tahun, sehingga tidak mungkin para debitur akan mampu melunasi kredit tersebut.


Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Nyoman Supariyani dalam pemberian kredit yang tidak sesuai prosedur sebagaimana yang disebutkan diatas, bertentangan dengan ketentuan dalam hukum perbankan, yakni ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a Jo Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan. Pasal 49 ayat (1) huruf a UU Perbankan menyatakan bahwa “anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank”. Nyoman Supariyani dalam kasus ini telah jelas melakukan pencatatan palsu dengan melakukan mark-up gaji TKI yang seharusnya Rp. 13 juta per bulan menjadi Rp. 30 juta, dan memberikan jangka waktu kredit selama lima belas tahun, sementara waktu kerja para TKI hanya selama lima tahun.




Oleh karena itu, tindakan Nyoman Supariyani yang tidak sesuai prosedur diatas, menunjukkan telah terjadi penyimpangan terhadap ketentuan perbankan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menyatakan bahwa “anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, dapat dipidana diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.


Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar, hakim menyatakan bahwa Nyoman Supariyani telah melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal 64 ayat (1) KUHP sendiri menyatakan bahwa “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.


Terkait tindak pidana umum yang dapat dikenakan kepada Jalaludin selaku Dirut IHSC adalah penggelapan dalam Pasal 372 KUHP/penipuan dalam Pasal 378 KUHP. Pasal 372 KUHP menjelaskan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Sementara Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.


Dari dua rumusan Pasal diatas, tindakan yang dilakukan Jalaludin dalam pengajuan kredit di BPR KS BAS masuk kategori penggelapan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP. Dalam hal ini Jalaludin memiliki/menguasai barang milik orang lain berupa SHM milik para TKI, yang kemudian dijadikan Jalaludin sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit di BPR KS BAS tanpa sepengetahuan/seizin pemilik SHM.



==============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.

Tidak ada komentar: