Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Selasa, 10 Desember 2019

Kubangan Politisasi Agama di Pilpres 2019


Akun media sosial manapun yang kita masuki, selalu muncul postingan-postingan tentang Pilpres. Lebih sistematis hingga melupakan ajang kompetisi yang sebenarnya. Alih-alih berdiskusi dalam hal program kerja, namun pada kenyataannya agama pula yang selalu di bawa-bawa. Belum lama ini kita mendengar ejekan dan hinaan kepada Capres Joko Widodo yang salah ucap dalam membaca kalimat “Al-fatihah” dan juga dalam menyanyikan lagu Nisa Sabyan yang terkenal itu. Muncullah tuduhan Capres Joko Widodo tidak mewakili sisi-sisi keislaman.

Namun ternyata, hal senada pun menimpa kubu penantang. Mana kala Capres Prabowo salah berucap tentang nabi Muhammad, isu nya melambung dan meluas di seantero jagad sosial. Bahkan video cara wudlu Capres Prabowo tidak luput dari kritik. Baru-baru ini cawapres Sandiaga Salahudin Uno juga melambung gara-gara melakukan praktik wudlu yang berbeda dari mayoritas umat Islam di Indonesia. Hujatan demi hujatan mengarah. “Hasil Ijtima’ Ulama tapi tidak Islami...”


Lebih dari itu, isu ini semakin meluas sejak adanya tantangan baca al-Qur’an dari kelompok dai di Aceh. Semakin mengkristal ketika adanya kesanggupan dari kubu Capres Jokowi dan diperkuat dengan lontaran-lontaran Kiai Ma’ruf sebagai cawapresnya. Kubu ini siap memenuhi undangan baca al-Qur’an tersebut dan membuat kubu penantangnya kebakaran janggut.

Begitulah jika agama muncul sebagai upaya keberhasilan suatu kompetisi politik. Hal ini bukanlah hal yang baru dalam perpolitikan tanah air. Isu-isu mendapatkan Surga juga pernah dilontarkan oleh beberapa partai politik Islam di masa lalu di awal kemerdekaan republik ini. Dan hal-hal semacam itu terus menggelinding seiring dengan pergantian zaman. Orang silih berganti, tahun silih berubah, namun alat kampanye selalu sama.

Hal ini sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam hal ini saya mencoba menguraikan secara singkat faktor-faktor tersebut.
  • 1.      Ajaran Politik dalam Agama
Dalam Islam misalnya, dikenal adanya suatu ilmu yang membahas tentang hukum-hukum, yaitu ilmu fiqh. Dalam ilmu ini terbagi dalam beberapa konsentrasi bahasan, misalnya dalam hal pernikahan biasa disebut fiqh munakahat, dalam hal hubungan sosial masuk dalam kajian fiqh muamalah. Dalam hal politik, Islam mengenal fiqh siyasah, fiqh tentang politik.
Menghilangkan agama dalam kontestasi politik bukanlah suatu perkara yang mudah. Pondasi keilmuan dalam Islam sudah mengaturnya dan itu sulit untuk ditembus. Perkara politisasi agama ini terjadi hampir di setiap Pemilu. Terlepas dari isu-isu di media sosial sekarang, banyaknya kenyataan para calon memberikan ceramah dan ajakan untuk memilihnya di dalam masjid adalah perkara yang masih lazim di lakukan. Menggiur masyarakat bahwa dirinya akan menyumbangkan dana untuk masjid adalah salah satu ajakan paling gombal di lapangan.
Sulit sebenarnya membedakan antara menggunakan politik untuk tujuan nilai-nilai agama dengan menggunakan agama untuk tujuan politik. Tipis dan nyaris sama saja. Sehingga lepas dari 2019 atau kapanpun itu di masa mendatang, isu-isu tentang agama tidak akan pernah punah karena hukum kita juga masih memandang permasalahan ini sebagai perkara yang abu-abu. Masih ragu untuk menentukan batasan mana secara tegas yang melarang penggunaan agama. Yang cukup terlihat hanyalah larangan KPU untuk berkampanye di masjid. Itu pun kita masih berdebat tentang kedudukan calon yang diundang berceramah di masjid. 

  • 2.      Isu Agama Sukses Menaikkan Elektabilitas
Tujuan praktis dari kompetisi Pemilu adalah kemenangan. Isu-isu agama sudah memberikan banyak bukti tentang keberhasilan ini. Jika dalam suatu masyarakat tertentu, mayoritas menganut paham Islam, maka hal-hal Islam yang dimunculkan dengan beriringan melontarkan tuduhan bahwa lawan politiknya tidak Islami. Jika narasi calon yang sama itu (beragama Islam) akan masuk ke suatu masyarakat mayoritas Katolik misalnya, maka para tim sukses akan menghadirkan sosok capres itu sebagai capres yang toleran kepada Katolik dan dalam waktu yang bersamaan menuduh lawan politiknya merupakan pihak yang intoleran terhadap Katolik.
Narasi-narasi semacam ini nyata ada dalam masyarakat. Faktor kesamaan pemilih dengan yang dipilihnya menjadi alasan kunci digunakannya agama. Bahkan konsep ini hampir berlaku untuk hal-hal lain seperti kesukuan. Jika calon presiden yang muncul berasal dari Jawa dan Papua, maka yang bersuku Jawa memiliki peluang menang yang besar. Hal ini logis, dan masih dianut oleh kebanyakan masyarakat kita. Menutup mata terhadap hal ini bukanlah perkara bijak.

Dua masalah diatas tersebut adalah inti dari meluasnya sentimen agama di setiap Pemilu. Bukan perkara mudah untuk mengatasi hal ini. Solusi paling cerdas dari Barat akan hal ini adalah sekularisasi. Masyarakat dijauhkan dari agamanya. Namun tentu saja sekularisasi ini bukanlah perkara yang logis jika diterapkan di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila dan konstutusi UUD jelas tidak menghendaki hal ini.
Upaya-upaya dialog antar petinggi agama harus sering di lakukan. Melibatkan banyak pihak, melibatkan banyak aliran, dan menghadirkan narasi-narasi harmoni antar umat bergama akan sedikit banyak membantu dalam meredam isu-isu ini. Menghilangkan adalah kemustahilan, namun meredam dan mengurangi intensitasnya adalah hal yang masuk akal.


==============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.

Tidak ada komentar: