Akun
media sosial manapun yang kita masuki, selalu muncul postingan-postingan
tentang Pilpres. Lebih sistematis hingga melupakan ajang kompetisi yang
sebenarnya. Alih-alih berdiskusi dalam hal program kerja, namun pada kenyataannya
agama pula yang selalu di bawa-bawa. Belum lama ini kita mendengar ejekan dan
hinaan kepada Capres Joko Widodo yang salah ucap dalam membaca kalimat “Al-fatihah”
dan juga dalam menyanyikan lagu Nisa Sabyan yang terkenal itu. Muncullah
tuduhan Capres Joko Widodo tidak mewakili sisi-sisi keislaman.
Namun
ternyata, hal senada pun menimpa kubu penantang. Mana kala Capres Prabowo salah
berucap tentang nabi Muhammad, isu nya melambung dan meluas di seantero jagad
sosial. Bahkan video cara wudlu Capres Prabowo tidak luput dari kritik.
Baru-baru ini cawapres Sandiaga Salahudin Uno juga melambung gara-gara
melakukan praktik wudlu yang berbeda dari mayoritas umat Islam di Indonesia.
Hujatan demi hujatan mengarah. “Hasil Ijtima’ Ulama tapi tidak Islami...”
Lebih
dari itu, isu ini semakin meluas sejak adanya tantangan baca al-Qur’an dari
kelompok dai di Aceh. Semakin mengkristal ketika adanya kesanggupan dari kubu
Capres Jokowi dan diperkuat dengan lontaran-lontaran Kiai Ma’ruf sebagai
cawapresnya. Kubu ini siap memenuhi undangan baca al-Qur’an tersebut dan
membuat kubu penantangnya kebakaran janggut.
Begitulah
jika agama muncul sebagai upaya keberhasilan suatu kompetisi politik. Hal ini
bukanlah hal yang baru dalam perpolitikan tanah air. Isu-isu mendapatkan Surga
juga pernah dilontarkan oleh beberapa partai politik Islam di masa lalu di awal
kemerdekaan republik ini. Dan hal-hal semacam itu terus menggelinding seiring
dengan pergantian zaman. Orang silih berganti, tahun silih berubah, namun alat
kampanye selalu sama.
Hal
ini sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam hal ini saya mencoba
menguraikan secara singkat faktor-faktor tersebut.
- 1. Ajaran Politik dalam Agama
Dalam
Islam misalnya, dikenal adanya suatu ilmu yang membahas tentang hukum-hukum,
yaitu ilmu fiqh. Dalam ilmu ini terbagi dalam beberapa konsentrasi
bahasan, misalnya dalam hal pernikahan biasa disebut fiqh munakahat,
dalam hal hubungan sosial masuk dalam kajian fiqh muamalah. Dalam hal
politik, Islam mengenal fiqh siyasah, fiqh tentang politik.
Menghilangkan
agama dalam kontestasi politik bukanlah suatu perkara yang mudah. Pondasi
keilmuan dalam Islam sudah mengaturnya dan itu sulit untuk ditembus. Perkara
politisasi agama ini terjadi hampir di setiap Pemilu. Terlepas dari isu-isu di
media sosial sekarang, banyaknya kenyataan para calon memberikan ceramah dan
ajakan untuk memilihnya di dalam masjid adalah perkara yang masih lazim di
lakukan. Menggiur masyarakat bahwa dirinya akan menyumbangkan dana untuk masjid
adalah salah satu ajakan paling gombal di lapangan.
Sulit
sebenarnya membedakan antara menggunakan politik untuk tujuan nilai-nilai agama
dengan menggunakan agama untuk tujuan politik. Tipis dan nyaris sama saja.
Sehingga lepas dari 2019 atau kapanpun itu di masa mendatang, isu-isu tentang
agama tidak akan pernah punah karena hukum kita juga masih memandang
permasalahan ini sebagai perkara yang abu-abu. Masih ragu untuk menentukan
batasan mana secara tegas yang melarang penggunaan agama. Yang cukup terlihat
hanyalah larangan KPU untuk berkampanye di masjid. Itu pun kita masih berdebat
tentang kedudukan calon yang diundang berceramah di masjid.
- 2. Isu Agama Sukses Menaikkan Elektabilitas
Tujuan
praktis dari kompetisi Pemilu adalah kemenangan. Isu-isu agama sudah memberikan
banyak bukti tentang keberhasilan ini. Jika dalam suatu masyarakat tertentu,
mayoritas menganut paham Islam, maka hal-hal Islam yang dimunculkan dengan
beriringan melontarkan tuduhan bahwa lawan politiknya tidak Islami. Jika narasi
calon yang sama itu (beragama Islam) akan masuk ke suatu masyarakat mayoritas
Katolik misalnya, maka para tim sukses akan menghadirkan sosok capres itu
sebagai capres yang toleran kepada Katolik dan dalam waktu yang bersamaan
menuduh lawan politiknya merupakan pihak yang intoleran terhadap Katolik.
Narasi-narasi
semacam ini nyata ada dalam masyarakat. Faktor kesamaan pemilih dengan yang
dipilihnya menjadi alasan kunci digunakannya agama. Bahkan konsep ini hampir
berlaku untuk hal-hal lain seperti kesukuan. Jika calon presiden yang muncul
berasal dari Jawa dan Papua, maka yang bersuku Jawa memiliki peluang menang
yang besar. Hal ini logis, dan masih dianut oleh kebanyakan masyarakat kita.
Menutup mata terhadap hal ini bukanlah perkara bijak.
Dua masalah
diatas tersebut adalah inti dari meluasnya sentimen agama di setiap Pemilu. Bukan
perkara mudah untuk mengatasi hal ini. Solusi paling cerdas dari Barat akan hal
ini adalah sekularisasi. Masyarakat dijauhkan dari agamanya. Namun tentu saja
sekularisasi ini bukanlah perkara yang logis jika diterapkan di Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila dan konstutusi UUD jelas tidak menghendaki hal ini.
Upaya-upaya
dialog antar petinggi agama harus sering di lakukan. Melibatkan banyak pihak,
melibatkan banyak aliran, dan menghadirkan narasi-narasi harmoni antar umat
bergama akan sedikit banyak membantu dalam meredam isu-isu ini. Menghilangkan
adalah kemustahilan, namun meredam dan mengurangi intensitasnya adalah hal yang
masuk akal.
==============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar