Bagi sebagian
orang, istilah tasawwuf memang agak kurang populer, tapi penulis yakin bagi
sebagian yang lain, istilah ini sudah tidak asing lagi. Dahulu, istilah ini
sudah tidak pernah dipertentangkan, karena memang istilah ini sering dilakukan
oleh ulama-ulama besar. Kontroversi muncul belakangan ini, lebih khusus muncul
dari kalangan Wahabi yang anti tasawwuf.
Menurut
kelompok Wahabi, tasawwuf adalah perilaku yang ghuluw, yang haram untuk
dilakukan. Mereka berdalih, bahwa hal ini tidak pernah dilakukan oleh nabi.
Sudah menjadi sesuatu hal yang kita ketahui, bahwa memang kelompok Wahabi ini
hanya membawakan sebuah hadits saja dalam berdakwah, yakni kullu bid’atin
dhalalah.
Di kesempatan
ini, penulis akan mengajak pembaca, setidaknya mengenal istilah umum tasawwuf,
dan mengenal dua tokoh yang sekarang di jadikan tokoh utama dalam bidang
tasawwuf.
Penulis kira,
orang dizaman ini jarang ada yang sanggup untuk benar-benar menjadi seorang
sufi. Mengapa? Ketika imam Ahmad bin Hambal ditanya, “Apakah hafal 100.000 hadits
dapat menjadi seorang sufi?” Imam Ahmad menjawab belum. Ketika ditanya jika
hafal 200.000 apakah bisa menjadi seorang sufi, imam Ahmad juga menjawab belum.
Dan ketika ditanya jika hafal 300.000 hadits apakah sudah cukup menjadi seorang
sufi, imam Ahmad baru menjawab mungkin bisa. Disini jelas, bahwa menjadi
seorang sufi tidak main-main, hal yang tentunya tidak bisa dimasuki oleh
sembarang orang.
Ketika imam
al-Junayd al-Baghdadi, tokoh yang dijadikan rujukan masalah tasawwuf di
kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, ditanya mengenai standar minimal untuk bisa
masuk dalam dunia tasawwuf, imam al-Junayd memaparkan setidaknya 3 syarat
penting, yaitu:
1.
Ahlul Qur’an. Maksudnya disini bukan hanya
hafal al-Qur’an, tapi juga paham tafsir dan segala macamnya.
2.
Ahlul Hadits. Termasuk harus paham ilmu tentang
hadits, dan juga harus hafal ratusan ribu hadits.
3.
Ahlul Fiqh.
Hal ini
mengisyaratkan, bahwa menjadi seorang sufi adalah sesuatu hal yang sulit untuk
dicapai oleh orang biasa seperti kita.
Banyak di
sekeliling kita yang menganggap dirinya seorang sufi, tapi ternyata membaca
al-Qur’an saja belum bisa. Banyak kelompok di Indonesia mengaku memiliki
kekuatan-kekuatan hebat, tapi hadits saja tidak hafal. Hal ini bukan tanpa
alasan, karena semuanya merupakan bentuk-bentuk tasawwuf yang keliru.
- A. Mengenal Tasawwuf
Tasawwuf adalah
upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan (biasanya dilakukan dengan
mengasingkan diri) guna membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, dengan
tujuan untuk mendekatkan diri dan memperoleh suatu hubungan khusus yang
langsung dengan Allah, tercermin ahklak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt.
Ahli tasawwuf
disebut Sufi, yang selalu berusaha mensucikan jiwanya demi mendekatkan diri
kepada Allah sebagai Tuhannya, dan untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan
mental yang panjang dan bertingkat, dari tahap satu ketahap lain yang lebih
tinggi ; tobat, zuhud, sabar, kefakiran kerendahan hati, ketaqwaan, tawakkal,
kerelaan, cinta, sampai kepada tercapainya kesempurnaan (ma'rifatullah).
Menurut Ibn Al-Qayyim,
Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali
Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban
bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya.
Ma’rifatullah
tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riafatullah dimaknai dengan
pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah,
mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri
kepada Allah.
- B. Tentang Al-Junayd
Abu
AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar
tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga
pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn
Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.
Al-Junayd
pertama kali memperoleh pendidikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang
bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya
berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga
sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan
kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu
diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. Al-Junayd
dianggap sebagai perintis dari tasawwuf yang bercorak ortodoks.
- C. Pemikiran Al-Junayd
Mengenai
penegertian tasawwuf, Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawwuf ialah
engkau bersama Allah tanpa penghubung. Sementara menurut Basyuni mendefinisikan
tasawwuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan
yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat
dengan-Nya.
Akan
tetapi Al-Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia membagi definisi
tasawwuf ke dalam empat bagian, yaitu:
- Tasawuf adalah mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara;
- Tasawuf adalah melakukan semua akhlak yang baik menurut sunnah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk;
- Tasawwuf adalah melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah;
- Tasawuf adalah merasa tiada memiliki apapun, juga tidak dimiliki oleh sesiapa pun kecuali Allah swt.
Sehingga
dari definisi-definisi tasawwuf tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
tasawwuf ialah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt,
dengan jalan menyucikan diri dari segala sesuatu yang dapat mencegah untuk
dekat kepadaNya, baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah swt.
- D. Tentang Al-Ghazali
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al
Ghazali (Imam Al-Ghazali), di dunia barat dikenal dengan sebutan
Al-Gazel, lahir pada tanggal 17 Jumadil Awal tahun 450 Hijriah (1058 Masehi)
di kota Thusi (Iran), memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad, adalah seorang
ahli sains sekaligus ulama besar, tokoh tasawwuf terkemuka yang sangat terkenal, yang berhasil menyusun gagasan tasawwuf yang
menciptakan kompromi antara syari’at dan hakikat atau tasawwuf menjadi bangunan
baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i ataupun
lebih-lebih kalangan sufi, dengan karya besarnya yang amat terkenal, kitab
“Ihya’ ‘Ulumuddin”.
Ayah beliau seorang fakir yang shalih, pengrajin kain shuf (kulit domba),
selalu berkeliling mengujungi ahli fikih dan majelis ceramah serta bermajelis
dengan mereka, memberikan nafkah semampunya dan selalu berdoa diberi anak yang
faqih dan ahli dalam ceramah nasihat. Allah mengabulkan kedua doa beliau
tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad)
menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat.
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya
dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan ; “Sungguh saya menyesal tidak
belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah
saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan
harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya”. Setelah ayahnya
meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya ilmu sehingga habis harta peninggalan
yang sedikit tersebut. Ia dan adiknya disarankan belajar pada sebuah
madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka (465 H).
- E. Pemikiran Al-Ghazali
Menurut Imam
Al-Ghazali, tema ilmu sufi adalah Dzat, sifat dan perbuatan Allah. Buah dari
pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta
tidak akan muncul tanpa pengetahuan dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan
tentang Allah adalah tenggelam dalam samudra Tauhid, karena seorang ‘arif
tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini
tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya.
Tidak ada
perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap
alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat sesuatu sebagai hasil perbuatan
Allah, maka ia tidak melihat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali
demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah. Kata beliau; “Mereka melatih hati,
hingga Allah memperkenankan melihatNya”.
Para sufi
banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut
dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia
yang dikandungnya. Namun bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan
kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan
mengamalkannya. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi
sempurna dengan ilmu dan amal”.
Dalam Ihya’
‘Ulumuddin, ia menulis ; “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama.
Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan dunia? Demi Allah, ini
adalah jalan yang sangat sukar, jarang sekali ada manusia yang sanggup
melakukannya”.
Imam Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, ia
berusaha keras agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat
segala sesuatu, selalu bersikap kritis dan kadang tidak percaya terhadap
adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan
pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan
inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan dalam kitab Al
Mungidz : “Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama telah
berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada
pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin mendalam, bagaimana
pengetahuan inderawi itu bisa diterima seperti misalnya penglihatan sebagai
inderawi”.
Pemikiran Tasawwuf Imam Al-Ghazali bercorak Tasawwuf Islam Sunni yang
didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan
tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau segala sesuatu pada sumber Islam. Beliau
mengatakan : “Saya tahu benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah,
dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik
dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain
Allah dan mereka menjadikan diri mereka sebagai jalan bagi sungai untuk
mengalirnya kehadiran Ilahi”
Wallahu A’lam.
=============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar