Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Selasa, 10 Desember 2019

Bidang Tasawwuf yang Hak


Bagi sebagian orang, istilah tasawwuf memang agak kurang populer, tapi penulis yakin bagi sebagian yang lain, istilah ini sudah tidak asing lagi. Dahulu, istilah ini sudah tidak pernah dipertentangkan, karena memang istilah ini sering dilakukan oleh ulama-ulama besar. Kontroversi muncul belakangan ini, lebih khusus muncul dari kalangan Wahabi yang anti tasawwuf.
Menurut kelompok Wahabi, tasawwuf adalah perilaku yang ghuluw, yang haram untuk dilakukan. Mereka berdalih, bahwa hal ini tidak pernah dilakukan oleh nabi. Sudah menjadi sesuatu hal yang kita ketahui, bahwa memang kelompok Wahabi ini hanya membawakan sebuah hadits saja dalam berdakwah, yakni kullu bid’atin dhalalah.

Di kesempatan ini, penulis akan mengajak pembaca, setidaknya mengenal istilah umum tasawwuf, dan mengenal dua tokoh yang sekarang di jadikan tokoh utama dalam bidang tasawwuf.
Penulis kira, orang dizaman ini jarang ada yang sanggup untuk benar-benar menjadi seorang sufi. Mengapa? Ketika imam Ahmad bin Hambal ditanya, “Apakah hafal 100.000 hadits dapat menjadi seorang sufi?” Imam Ahmad menjawab belum. Ketika ditanya jika hafal 200.000 apakah bisa menjadi seorang sufi, imam Ahmad juga menjawab belum. Dan ketika ditanya jika hafal 300.000 hadits apakah sudah cukup menjadi seorang sufi, imam Ahmad baru menjawab mungkin bisa. Disini jelas, bahwa menjadi seorang sufi tidak main-main, hal yang tentunya tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang.
Ketika imam al-Junayd al-Baghdadi, tokoh yang dijadikan rujukan masalah tasawwuf di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, ditanya mengenai standar minimal untuk bisa masuk dalam dunia tasawwuf, imam al-Junayd memaparkan setidaknya 3 syarat penting, yaitu:
1.      Ahlul Qur’an. Maksudnya disini bukan hanya hafal al-Qur’an, tapi juga paham tafsir dan segala macamnya.
2.      Ahlul Hadits. Termasuk harus paham ilmu tentang hadits, dan juga harus hafal ratusan ribu hadits.
3.      Ahlul Fiqh.

Hal ini mengisyaratkan, bahwa menjadi seorang sufi adalah sesuatu hal yang sulit untuk dicapai oleh orang biasa seperti kita.
Banyak di sekeliling kita yang menganggap dirinya seorang sufi, tapi ternyata membaca al-Qur’an saja belum bisa. Banyak kelompok di Indonesia mengaku memiliki kekuatan-kekuatan hebat, tapi hadits saja tidak hafal. Hal ini bukan tanpa alasan, karena semuanya merupakan bentuk-bentuk tasawwuf yang keliru.


  • A.    Mengenal Tasawwuf

Tasawwuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan (biasanya dilakukan dengan mengasingkan diri) guna membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, dengan tujuan untuk  mendekatkan diri dan memperoleh suatu hubungan khusus yang langsung dengan Allah, tercermin ahklak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt.
Ahli tasawwuf disebut Sufi, yang selalu berusaha mensucikan jiwanya demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai Tuhannya, dan untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat, dari tahap satu ketahap lain yang lebih tinggi ; tobat, zuhud, sabar, kefakiran kerendahan hati, ketaqwaan, tawakkal, kerelaan, cinta, sampai  kepada tercapainya kesempurnaan (ma'rifatullah).
Menurut Ibn Al-Qayyim, Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riafatullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah. 


  • B.     Tentang Al-Junayd

Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.
Al-Junayd pertama kali memperoleh pendidikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. Al-Junayd dianggap sebagai perintis dari tasawwuf yang bercorak ortodoks.


  • C.    Pemikiran Al-Junayd

Mengenai penegertian tasawwuf, Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawwuf ialah engkau bersama Allah tanpa penghubung. Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawwuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.
Akan tetapi Al-Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia  membagi definisi tasawwuf ke dalam empat  bagian,  yaitu:
  1. Tasawuf adalah mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara;
  2. Tasawuf adalah melakukan semua akhlak yang baik menurut sunnah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk;
  3. Tasawwuf adalah  melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah;
  4. Tasawuf adalah merasa tiada memiliki apapun, juga tidak dimiliki oleh sesiapa pun kecuali Allah swt.
Sehingga dari definisi-definisi tasawwuf tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tasawwuf  ialah  upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, dengan jalan menyucikan diri dari segala sesuatu yang dapat mencegah untuk dekat kepadaNya, baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah swt.


  • D.    Tentang Al-Ghazali

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Imam Al-Ghazali), di dunia barat dikenal dengan sebutan Al-Gazel, lahir pada tanggal 17 Jumadil Awal tahun 450 Hijriah (1058 Masehi) di kota Thusi (Iran), memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad, adalah seorang ahli sains sekaligus ulama besar, tokoh tasawwuf terkemuka yang sangat terkenal, yang berhasil menyusun gagasan tasawwuf yang menciptakan kompromi antara syari’at dan hakikat atau tasawwuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i ataupun lebih-lebih kalangan sufi, dengan karya besarnya yang amat terkenal, kitab “Ihya’ ‘Ulumuddin”.
Ayah beliau seorang fakir yang shalih, pengrajin kain shuf (kulit domba), selalu berkeliling mengujungi ahli fikih dan majelis ceramah serta bermajelis dengan mereka, memberikan nafkah semampunya dan selalu berdoa diberi anak yang faqih dan ahli dalam ceramah nasihat. Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat.
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan ; “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya”. Setelah ayahnya meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya ilmu sehingga habis harta peninggalan yang sedikit tersebut. Ia dan adiknya disarankan belajar pada sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka (465 H). 


  • E.     Pemikiran Al-Ghazali

Menurut Imam Al-Ghazali, tema ilmu sufi adalah Dzat, sifat dan perbuatan Allah. Buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak akan muncul tanpa pengetahuan dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah tenggelam dalam samudra Tauhid, karena seorang ‘arif  tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya.
Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat sesuatu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak melihat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah. Kata beliau; “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya”.
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya. Namun bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”.
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menulis ; “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan dunia? Demi Allah, ini adalah jalan yang sangat sukar,  jarang sekali ada manusia yang sanggup melakukannya”.
Imam Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, ia berusaha keras agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu, selalu bersikap kritis dan kadang tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan dalam kitab Al Mungidz : “Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin mendalam, bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi”.
Pemikiran Tasawwuf  Imam Al-Ghazali bercorak Tasawwuf  Islam Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau segala sesuatu pada sumber Islam. Beliau mengatakan : “Saya tahu benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan diri mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi”
Wallahu A’lam.



=============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.

Tidak ada komentar: