Sudah pernah penulis singgung, bahwasanya ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah tidak lain adalah ajaran nabi itu sendiri. Hanya saja, untuk mencapai
kebenaran yang dibawa nabi, kita harus melewati setiap ulama antar generasi.
Dengan memahami ulama-ulama sebelum kita, setidaknya memberikan ruang yang luas
bagi kita untuk memahami konsep yang dipahami oleh nabi dan para sahabatnya.
Perlu juga kita pahami disini, bahwa ulama-ulama di zaman Tabi’in
merupakan patokan kita dalam menentukan sebuah ajaran yang hak maupun bathil.
Karena di zaman Tabi’in dan setelahnya lah, terjadi perpecahan besar di
kalangan umat Muslim. Tonggak-tonggak ajaran yang sekarang ada, hampir semuanya
lahir di zaman Tabi’in dan Tabiut Tabi’in. Ajaran Syiah, Khawarij, Murji’ah,
Muktazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, dan segala macamnya, tidak lain bermunculan
di masa-masa Tabi’in.
Oleh karena itu, ulama Tabi’in adalah patokan yang paling penting
dalam mengantarkan kita menuju pemahaman nabi dan para sahabat. Kita tidak bisa
hanya mengandalkan al-Qur’an dan Hadits dalam memahami agama ini, karena
kandungan al-Qur’an dan Hadits memuat istilah-istilah yang sulit dipahami.
Al-Qur’an dan al-Hadits memakai bahasa-bahasa yang hanya dipahami oleh
orang-orang yang memang mumpuni dalam bidangnya, yaitu ahli tafsir. Ahli tafsir
ini, biasanya tidak bisa melepaskan diri dari tafsiran-tafsiran sebelum mereka.
Ulama-ulama di zaman ini, akan menafsirkan al-Qur’an dengan berpedoman pada
tafsiran ulama sebelumnya. Tafsiran ulama sebelumnya akan merujuk kepada ulama
sebelumnya lagi. Tafsiran ulama sebelumnya akan mempelajari tafsiran ulama
sebelumnya lagi. Terus hingga akhirnya tafsiran itu diambil dari kaidah tafsir
ulama-ulama Tabi’in. Sementara tafsir ulama Tabi’in, tidak lain merupakan apa
yang diturunkan dan dipelajari dari zaman sahabat. Dan zaman sahabat, tentu
akan berkiblat kepada ajaran nabi.
Demikian skema sanad keilmuan yang baik di dalam Islam. Jadi untuk
mendapatkan ilmu agama yang hak, mau tidak mau kita harus berkiblat kepada
ulama sebelum kita. Dengan langsung memahami al-Qur’an dan Hadits menurut pemahaman
kita sendiri, justru akan menjadi boomerang bagi kita, dan justru akan
menimbulkan malapetaka bagi akidah kita sendiri.
Maka dari itu, bermunculan lah madzhab-madzhab hebat di zaman
Tabi’in. Madzhab-madzhab tersebut tidak lain merupakan panduan bagi umat Muslim
agar terhindar dari fitnah zaman yang sudah sangat memprihatinkan. Setiap ulama
membuat panduan bagi umat Muslim. Antara satu madzhab dengan madzhab yang lain
dalam kaidah Ahlussunnah wal Jamaah, sebenarnya tidak bertentangan antara satu
dengan yang lainnya. Justru antar madzhab tersebut saling menguatkan dan saling
melengkapi diantara prinsip-prinsip ibadah.
Di dalam dunia Tauhid, setidaknya ada dua madzhab yang menjadi
rujukan umat Muslim mayoritas di dunia, yaitu madzhab Asy’ariyah dan madzhab
Maturidiyah. Keduanya saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Perlu
diperhatikan, bahwa sebenarnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi pada hakikatnya tidak membuat madzhab. Mereka hanya menghimpun
ajaran agama yang sebelumnya ada, dan membuat kaidah-kaidah khusus agar mudah
dipahami oleh umat Muslim setelahnya.
- A. Mengenal Imam Asy’ari
Salah satu madzhab aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang diakui oleh
mayoritas umat Muslim di dunia adalah madzhab Asy’ariyah. Madzhab ini
dipelopori oleh ulama terkenal bernama Abu Hasan al-Asy’ari. Nama lengkapnya
adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari, lahir di Bashrah pada tahun 260
Hijriah (873 Masehi).
Abu Hasan al-Asy’ari pada dasarnya tidak menciptakan madzhab. Lebih
tepatnya yang dilakukan adalah memformulasikan paham dan keyakinan-keyakinan
yang sudah beredar jauh sebelum ia hidup dan dipegangi para pendahulu Islam.
Secara fikih, ia menganut madzhab Imam asy-Syafi’i.
Riwayat pendidikannya, pada umur 10 tahun, Abu Hasan adalah
pengikut ajaran Muktazilah. Ia belajar konsep-konsep logika Muktazilah melalui
gurunya yang hebat bernama Abu Ali al-Jubbai. Tokoh Muktazilah ini kemudian
menikahi ibunya sehingga menjadi ayah tirinya. Karena kecerdasannya, al-Asy’ari
sering dipercayai oleh kaum Muktazilah untuk mewakili mereka dalam berbagai
perdebatan publik. Ia menyelami ajaran Muktazilah selama 30 tahun.
Perlu diperhatikan disini, bahwa memang di zaman itu, Muktazilah
merupakan madzhab resmi negara. Jadi mau tidak mau, setiap anak Muslim di zaman
itu akan sedikit banyak mendalami dan mempelajari konsep-konsep ajaran
Muktazilah.
Sebelum umur 10 tahun, al-Asy’ari belajar agama melalui Zakariya
bin Yahya as-Saji (pakar hadits di Bashrah), Abdurrahman bin Khalaf adh-Dhabbi
(muhaddits di Bashrah), Sahal bin Nuh al-Bashri (muhaddits di Bashrah), dan
Muhammad bin Ya’qub al-Maqburi (muhaddits di Bashrah).
Di umurnya yang ke-40, Abu Hasan al-Asy’ari meninggalkan ajaran
Muktazilah dan mendeklarasikan keluarnya tersebut di depan khalayak ramai. Ada
beberapa versi yang menjadi alasan al-Asy’ari keluar dari Muktazilah, yaitu:
Imam al-Asy’ari bermimpi dengan Rasulullah, dan diminta untuk keluar dari Muktazilah;
ada juga yang mengatakan bahwa al-Asy’ari tidak puas dengan jawaban-jawaban
gurunya tentang konsep Muktazilah.
Setelah keluar dari Muktazilah, Imam al-Asy’ari kemudian berpindah
haluan menjadi pembela ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang pada waktu itu tokoh
terkenalnya adalah Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani, al-Harits bin Asad
al-Muhasibi, Ibnu Kullab, dan lain-lain. Akhirnya, Imam al-Asy’ari menggunakan
metode tafwidh dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat, hal yang sebelumnya
tidak pernah ia lakukan ketika menjadi pengikut Muktazilah.
Tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jamaah yang ada pada waktu itu, semisal
Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani, al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Ibnu Kullab,
dan yang lainnya, tidak mau atau menghindari kontak dengan orang-orang
Muktazilah. Mereka semua lebih memilih untuk menjadi sufi dan menjauhi
kehidupan duniawi. Dengan datangnya Abu Hasan al-Asy’ari di kubu Ahlussunnah
wal Jamaah, beliau menjadi ulama Ahlussunnah pertama yang berani meladeni
logika-logika Muktazilah. Maka tidak salah, al-Asy’ari inilah merupakan orang
yang dihormati dari berbagai golongan, entah itu Ahlussunnah, maupun dari pihak
Muktazilah sendiri.
Abu Hasan al-Asya’ari ini juga yang mendengung-dengungkan ajaran
Ahlussunnah wal Jamaah di masa itu. Al-Asy’ari banyak menulis kitab, hanya saja
sedikit sekali yang bisa diselamatkan. Salah satu karyanya yang terkenal adalah
al-Ibanah.
Meski banyak karyanya yang lenyap, tapi formulasi pemikiran Abu
Hasan al-Asy’ari masih bisa diselamatkan, terutama dengan merujuk pada
kitab-kitab di luar al-Ibanah dan narasi-narasi dari kalangan Asy’ariyah
sendiri. Formulasi paham Abu Hasan al-Asy’ari antara lain:
- 1. Meski manusia dengan akal bisa mengetahui Tuhan, tapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya;
- 2. Mengakui adanya sifat Tuhan. Sifat Tuhan ini bukanlah Tuhan, dan tidak pula bukan Tuhan;
- 3. Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk yang sebelumnya diakui oleh golongan Muktazilah;
- 4. Allah dapat dilihat kelak di akhirat karena Allah memiliki wujud;
- 5. Perbuatan manusia itu diciptakan Allah, tetapi manusia memiliki usaha untuk hidup;
- 6. Iman adalah pembenaran-pembenaran tentang adanya Tuhan, rasul-rasul, dan berita yang dibawa oleh mereka;
- 7. Pelaku dosa besar tetap dianggap sebagai muslim selama ia masih beriman kepada Allah dan rasulNya;
- 8. Allah memiliki kehendak mutlak.
Ajaran Abu Hasan al-Asy’ari ini terus menyebar ke seantero dunia. Lewat
murid-muridnya, Asy’ariyah berkembang di Irak pada tahun 380 Hijriah, yaitu
setengah abad sejak wafatnya Imam Asy’ari. Tiga orang yang kemudian dikenal
sangat berjasa mengembangkan Asy’ariyah adalah Abu Bakar bin Furak asy-Syafi’i,
Abu Bakar al-Baqillani al-Maliki, dan Abu Ishaq al-Isfirayini asy-Syafi’i.
Setelah itu, ada tokoh-tokoh penerus Asy’ariyah yang hebat, salah satunya
adalah Imam al-Ghazali, asy-Syahrastani, Fakhruddin ar-Razi, dan yang lainnya.
Madzhab Asy’ariyah semakin kuat setelah pemerintahan Bani Saljuk
dibawah pemerintahan Sultan Alp Arslan, mengangkat perdana menteri bernama
Nizham al-Muluk. Perdana menteri ini membangun madrasah Nizhamiyah dengan
kurikulum al-Asy’ariyah. Imam al-Juwaini dan al-Ghazali menjadi guru besar di
madrasah ini. Dari sini pula, ajaran Asy’ariyah menyebar ke seluruh penjuru
dunia Islam. Ajaran Asy’ariyah ini pula yang dikembangkan oleh Sultan Salahudin
al-Ayyubi di Mesir dan sultan Nuridin Mahmud bin Zanki di Syam.
Di Indonesia sendiri, ajaran Asy’ariyah dikembangkan oleh
organisasi Islam mayoritas yaitu Nahdlatul Ulama. Kurikulum Tauhid di
sekolah-sekolah umum juga mengacu pada kaidah Tauhid Ahlussunnah wal Jamaah
versinya Imam al-Asy’ari, seperti adanya sifat Allah yang 20.
- B. Mengenal Imam al-Maturidi
Salah satu madzhab akidah selain Asy’ariyah adalah Maturidiyah.
Ajaran ini dinisbatkan kepada Abu Manshur al-Maturidi. Tokoh ini dilahirkan di
Samarkand, Uzbekistan, pada tahun 248 Hijriah (862 Masehi). Al-Maturidi ini
merupakan penganut madzhab Hanafi dalam bidang Fikih.
Riwayat pendidikannya, beliau belajar agama kepada Nasr bin Yahya
al-Balkhi, Abu Bakar Muhammad al-Juzjani, dan Muhammad bin Muqatil ar-Razi.
Pemikiran al-Maturidi dalam bidang akidah merupakan pengembangan dan penafsiran
lebih lanjut dari apa yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah.
Abu Hanifah memiliki pandangan dalam bidang teologi yang dituangkan
dalam kitab al-Fiqhu al-Akbar. Di kalangan Hanafiyah, selain al-Maturidi,
terdapat seorang lagi yang menjadi Imam besar dalam jajaran Ahlussunnah wal
Jamaah, yaitu Abu Ja’far ath-Thahawi. Hanya saja, kitab terkenal ath-Thahawi
berjudul Aqidah ath-Thahawiyah ini disyarahi dan dikomentari oleh orang-orang
Wahabi. Sehingga, terkesan bahwa ath-Thahawi adalah ulama yang memiliki
pandangan Wahabiyah.
Tidak jauh berbeda dengan al-Asy’ari, al-Maturidi ini juga meladeni
perdebatan dengan tokoh-tokoh Muktazilah di Samarkand, seperti al-Ka’bi dan
al-Bahili. Selain Muktazilah, al-Maturidi juga meladeni debat dengan golongan
al-Mujassimah. Dalam menjelaskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah-nya, al-Maturidi
merilis kitab berjudul at-Tauhid dan Ta’wilat al-Qur’an. Kedua kitab tersebut
merupakan rujukan paling penting dalam madzhab Maturidiyah.
Metode yang digunakan oleh al-Maturidi dalam membangun madzhabnya
agak berbeda dengan al-Asy’ari, tapi sama-sama menjembatani antara naqal dan
akal. Perbedaan keduanya, salah satunya dalam metode dalam memahami ayat-ayat
Mutasyabihat. Al-Asy’ari menggunakan metode tafwidh, sementara al-Maturidi
menggunakan metode ta’wil. Kesamaan keduanya adalah dalam memandang Allah
memiliki sifat-sifat yang wajib ada bagi Allah, yakni 20 sifat wajib, 20 sifat
mustahil, dan 1 sifat jaiz.
Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 Hijriah (944 Masehi)
setelah berjasa memformulasikan dan membela ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Pandangan dan teologinya kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya. Pada
umumnya, murid-murid dan penerus madzhabnya berasal dari kalangan madzhab
Hanafi dalam bidang Fikih.
- C. Pentingnya Bermadzhab
Bagi pembaca yang mengklaim memiliki kemampuan seperti ulama-ulama
Tabi’in, semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya, penulis tidak
mewajibkan pembaca untuk bermadzhab. Jika pembaca sudah paham retorika agama
yang kompleks ini, pembaca tentunya akan dengan mudah menafsirkan ayat
al-Qur’an dan menafsirkan Hadits nabi, serta tentunya dapat mendetail status Hadits
yang ada sekarang ini.
Tapi penulis agak meragukan orang-orang semacam itu masih ada di
zaman sekarang. Secerdas-cerdasnya ulama di zaman sekarang, tentu memiliki
kualitas yang jauh dari ulama di zaman Tabi’in dan zaman para sahabat.
Perhatikan disini, ulama di zaman sekarang saja memiliki kualitas
yang jauh dari ulama di zaman terdahulu, apalagi kita yang hanya sebagai orang
biasa yang bahkan menafsirkan al-Qur’an saja tidak mampu? Maka tidak berlebihan
jika penulis mengatakan bahwa orang yang mengklaim dirinya tidak bermadzhab di
zaman ini, merupakan orang paling sombong yang kita kenal, karena merasa
dirinya tidak membutuhkan panduan ulama dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kita untuk menentukan sebuah
patokan bagi diri kita sendiri untuk memahami agama ini. Bahkan golongan Salafi
Wahabi yang menyuarakan anti taklid dan anti madzhab pun, demi Allah mereka
justru membuat taklid dan madzhab yang baru. Tidak ada satu pun Muslim di zaman
sekarang yang bisa terlepas dari pendapat para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an
dan as-Sunnah. Jadi jangan sok-sok-an dapat menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai sumber utama tanpa mau mendengarkan pendapat para ulama yang ahli di bidangnya.
Sungguh menyesatkan orang-orang semacam ini. Wallahu A’lam.
Referensi:
Khairul Anam, dkk., Ensiklopedia Nahdlatul Ulama, Jakarta:
MataBangsa dan PBNU, 2014.
==============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar