Beredar sebuah slogan yang cukup menarik di tengah-tengah
masyarakat, yaitu “Kembali Kepada al-Qur’an dan Hadits”. Slogan ini
jelas sangat Islami, tidak bertentangan dengan ketentuan Syara’ dan
pendapat para ulama. Namun kadangkala slogan ini di salah artikan oleh kelompok
tertentu dalam memahami agama ini. Mengembalikan segala sesuatu permasalahan
agama hanya kepada al-Qur’an dan Hadits saja tentu tidak bijaksana sama sekali.
Hal ini secara tidak langsung mengesampingkan pendapat para ulama (Ijtihad,
Ijma’, dan Qiyash) sebagai sumber hukum Islam. Implikasi paling
konkret dari kesalahan memahami slogan ini adalah penyerangan suatu kelompok
terhadap amaliyah mayoritas orang Indonesia yang tidak memiliki landasan
dalil di dalam al-Qur’an dan Hadits, seperti tahlilan, maulidan, selametan, dan
yang lainnya. Karena amalan-amalan tersebut tidak ada di dalam al-Qur’an dan
Hadits, lantas mereka menuduhnya sebagai suatu perbuatan bid’ah.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah mengungkapkan bahwa istilah
kembali kepada al-Qur’an dan Hadits adalah kalimatul hak (kalimat yang benar),
namun sering disalah-artikan. Pernyataan sayyidina Ali ini tidak lain
merupakan kritik terhadap kelompok Khawarij yang banyak menghafal al-Qur’an
namun sering menuduh orang lain kafir. Pengkafiran kaum Khawarij dilandasi suatu
dalil di dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah
(hukum Allah), Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
(Q.S. Al-Maidah : 44).
Pada saat itu Khalifah Ali bin Abi Thalib menerima arbitrase dalam
perang shiffin dengan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan. Kelompok Khawarij ini
menilai bahwa arbitrase atau peleraian sengketa merupakan hukum yang dibuat
oleh manusia. Artinya, baik pihak Ali maupun Muawiyah, keduanya sama-sama kafir
berdasarkan ayat diatas, karena tidak berhukum sesuai dengan hukum Allah.
Padahal kita ketahui bersama bahwasanya Ali bin Abi Thalib adalah
pemuda pertama yang masuk Islam. Beliau juga merupakan sahabat nabi yang paling
cerdas, bahkan Abu Bakar dan Umar sering meminta saran kepada Ali. Coba kita
bayangkan bersama, pemuda pertama yang masuk Islam ini, sahabat yang paling
dekat dengan nabi ini, dikafirkan oleh orang-orang Islam yang baru memahami
agama kemarin sore, apakah ini masuk akal? Jelas bukan Ali bin Abi Thalib yang
salah, tapi kaum Khawarij lah yang sangat dangkal dalam memahami agama.
Pun demikian dalam realitas di Indonesia. Ulama-ulama kita dahulu,
baik level regional maupun internasional seperti Syekh Nawawi Banten (Imam
besar masjidil haram), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Imam masjidil haram
pertama yang non-Arab), Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani, Syekh
Sayyid Utsman Betawi, dan yang lainnya, semuanya tidak mempermasalahkan amaliyah
yang biasa dilakukan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Hal ini bukan berarti
mereka tidak paham akan makna bid’ah. Namun mereka memahami realitas
masyarakat yang justru bisa menjadikan amaliyah-amaliyah tersebut
sebagai lahan dakwah. Mari kita bayangkan sejenak, ulama-ulama besar Indonesia
yang mendunia saja tidak masalah dengan amaliyah-amaliyah warga kita
yang secara zahir tidak memiliki landasan hukum dalam fikih, mengapa
sekarang banyak orang yang hanya bermodalkan gelar sarjana mengklaim bahwa
dirinya ahli hadits dan membid’ahkan di sana-sini?
Tuduhan-tuduhan bid’ah atau sesat yang dilakukan oleh seseorang
mencerminkan kapasitas dirinya. Semakin sering dia membid’ahkan orang lain,
terlihat bahwa pemahaman agamanya masih dangkal. Karena jika kita melihat
sejarah yang ada, ulama-ulama besar madzhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Hambali, semuanya tidak saling membid’ahkan dan menyesatkan
antara satu dengan yang lainnya, padahal keempatnya berbeda pendapat dalam
ribuan masalah.
Menafsirkan al-Qur’an dan Hadits tidak bisa dilakukan oleh setiap
orang. Andaikan al-Qur’an dapat ditafsirkan oleh setiap orang, hal ini dapat
menghilangkan sakralitas al-Qur’an itu sendiri. Hal ini juga dapat membuka
pintu kesesatan di masyarakat. Maka dari itu, sumber hukum Islam tidak hanya
al-Qur’an dan Hadits, namun terdapat Ijtihad Ulama, yang sekarang diperluas
dengan Ijma’ dan Qiyash.
Penulis ingat sebuah ceramah dari seorang kiai bahwa Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang batas minimum hafalan hadits seseorang untuk bisa berijtihad. Imam Ahmad menjawab setidaknya harus hafal 300.000 hadits. Artinya, di zaman ini tidak dimungkinkan adanya ulama yang bisa menjadi mujtahid mutlak dan diakui oleh ulama-ulama yang lain. Alhasil, suatu keputusan hukum Islam dilakukan dengan jalan Ijma’ (konsensus ulama) dan Qiyash (analogi). Disamping itu, untuk dapat menafsirkan al-Qur’an dan Hadits juga dibutuhkan beberapa ilmu pendukung dan harus dikuasai secara penuh, seperti ushul fikih, ilmu musthalah hadits, ilmu tafsir, ilmu balaghah, dan yang lainnya.
Melihat kenyataan diatas, masih beranikah anda menafsirkan al-Qur’an dan Hadits dengan kehendak sendiri tanpa mau belajar dari tafsiran ulama sebelumnya dan dengan ilmu yang terbatas? Wallahu A’lam.
=============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar