- A. Pentingnya Teologi
Tauhid atau bahasa kerennya adalah teologi adalah sebuah bidang
keilmuan dalam dunia Islam. Ilmu ini lebih fokus dalam memahami hakikat
ketuhanan. Menurut penulis, teologi dan tauhid memiliki makna substansi yang
berbeda. Teologi memiliki pengertian yang lebih luas, karena diartikan sebagai
ilmu pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara tauhid adalah bagian dalam kaidah
dan kajian teologi, yakni sebuah aliran yang mengklaim bahwa Tuhan itu satu.
Tauhid atau teologi adalah landasan paling pokok dalam Islam. Penulis
meyakini, bukan hanya Islam yang menjadikan teologi sebagai ajaran inti, tapi
seluruh agama yang ada di dunia ini. Jika anda ingin masuk kedalam agama
Kristen, maka anda harus mempercayai bahwa Yesus itu Tuhan. Jika anda ingin
masuk ke agama Buddha, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui
bahwa Buddha adalah Tuhan. Begitupun dengan Islam. Jika anda ingin dikatakan
sebagai orang Islam, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui dan
meyakini bahwa “Tiada Tuhan selain Allah, dan nabi Muhammad adalah utusan
terakhir Allah”.
Maka jelas dari sini, teologi adalah landasan paling penting dalam
beragama. Karena dengan masalah teologi inilah, merupakan pembeda antara satu
agama dengan agama yang lain, antara satu penganut dengan penganut yang lain.
Lantas teologi seperti apa yang diakui oleh mayoritas umat Muslim?
Pembahasan inilah, kita kupas secara tuntas.
- B. Syahadat dan Tauhid
Seluruh umat Muslim di dunia, mayoritas aliran Islam di dunia,
mayoritas ulama di dunia, pasti setuju, bahwa syahadat adalah bagian paling
penting dalam hakikat ajaran Islam. Dengan membaca dan meyakini 2 kalimat
syahadat, maka secara otomatis orang tersebut dikatakan sebagai orang Muslim.
Meskipun penulis tidak menyanggah, bahwa terjadi perbedaan pendapat
untuk menentukan hal pertama untuk masuk Islam, yaitu:
- 1. Pendapat pertama mengatakan bahwa, orang yang akan masuk Islam, lebih diutamakan membaca syahadatain, untuk kemudian mempelajari tauhid;
- 2. Pendapat kedua berkata sebaliknya. Orang yang ingin masuk Islam, harus paham dulu hal-hal mendasar dalam Tauhid, kemudian baru membaca syahadat.
Penulis tidak menafikan perbedaan pendapat diantara keduanya. Tapi
kalau boleh, penulis ingin memberikan sebuah pemahaman yang bisa menggabungkan
dari kedua pemikiran tersebut. Jika kita kaji dan kita kupas 2 kalimat
syahadat, salah satu makna terpentingnya adalah menyatakan bahwa “Tiada
Tuhan selain Allah”. Hal ini jelas bahwa dalam kalimat syahadat, telah
tercermin hakikat-hakikat Tauhid. Jadi kalau boleh penulis memberikan
kesimpulan, bahwa syahadat adalah bagian dari permukaan tauhid, sementara
tauhid adalah penjabaran dari kalimatus syahadat. Intinya, orang yang membaca syahadat,
secara tidak langsung dia telah menyadari makna tauhid dalam Islam, dan ketika
orang sudah memahami hakikat tauhid, berarti secara tidak langsung dia telah
paham makna dua kalimat syahadat.
- C. Dalil Naqli dan Aqli
Ada dua golongan besar di dunia Islam dalam memahami konsep-konsep
Tauhid. Golongan pertama adalah golongan rasionalisme Islam, yang salah satu
golongan terkenalnya adalah golongan Muktazilah. Golongan ini adalah golongan
yang mendewa-dewa-kan akal. Segala sesuatu dalam kajian teologi, akan menggunakan
konsep-konsep logika Aristoteles. Madzhab Muktazilah pernah menjadi madzhab
resmi negara, yaitu di era al-Makmun. Maka tidak heran, peradaban muslim yang
benar-benar maju, akan berkiblat ke masa ini. Kaum Muktazilah hanya mengenal
dalil aqli. Mereka hanya akan mengakui sebuah ayat al-Qur’an jika ayat tersebut
sesuai dengan akalnya. Maka tidak heran, golongan ini menganggap al-Qur’an lah
yang harus menyesuaikan dengan logika mereka.
Dengan munculnya golongan rasionalisme yang kebablasan itu, lahirlah
golongan yang kedua, yaitu golongan Ahlul Atsar. Salah satu kelompoknya yang
sangat ekstremis, yaitu kelompok Salafi Wahabi. Kelompok ini ditandai munculnya
ulama terkenal yang memiliki nama Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah ini sangat anti
terhadap logika Aristoteles. Menurutnya, masalah teologi tidak pantas
diperdebatkan secara logika. Kita dianjurkan untuk menerima saja apa yang sudah
difirmankan oleh Allah tanpa adanya lagi kajian. Kelompok ini sangat monoton. Kelompok
ini hanya memiliki kamus dalil naqli, yaitu dalil yang hanya tertulis di dalam
al-Qur’an. Maka tidak heran, ketika ada ayat yang mengatakan “Allah
bersemayam di atas Arsy” atau ayat “Tangan Allah di atas tangan mereka”,
golongan ini menerima ayat tersebut dengan membabi buta. Mereka langsung
mengakui bahwa Allah itu berdiam diri di atas Arsy, dan juga memiliki tangan.
Golongan ini kemudian dikembangkan oleh orang yang bernama Muhammad bin Abdul
Wahhab.
Kedua golongan ini, sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan.
Golongan rasionalis, membuat perdaban Islam semakin maju karena mengembangkan
akalnya dalam memahami hakikat hidup. Begitupun dengan golongan tekstualis,
memiliki kelebihan untuk mengesampingkan akal agar terhindar dari kesalahan
tafsir. Tapi tentu kedua-duanya memiliki kelemahan. Golongan rasionalis jelas
akan membabi buta dengan ayat-ayat Mutasyabihat, dan golongan tekstualis justru
akan monoton dalam memahami agama.
Maka lahirlah golongan ketiga yang menjadi penengah diantara
keduanya, yaitu golongan yang menerima dalil naqli, dan juga menerima dalil
aqli (golongan Ahlussunnah wal Jamaah). Dalil naqli sangat penting, karena
firman Allah adalah satu-satunya sumber yang bisa dipercaya. Tapi dalil aqli
juga penting, karena dengan akal, kita bisa memahami substansi dari ayat yang
di firmankan Tuhan. Jangan sampai, ketika ada ayat 10 surat Fath yang berbunyi
“Tangan
Allah di atas tangan mereka”, langsung menafsirkan bahwa Allah itu
memiliki tangan. Padahal jelas, bahwa Allah itu dihindari dari sifat-sifat yang
sama dengan makhlukNya. Hal yang tepat adalah, menafsirkan kata “Tangan” dengan
“Kekuasaan”. Maka ketika ada kalimat “Tangan Allah”, tafsiran yang hak adalah
“Kekuasaan Allah”, karena Allah jelas tidak memiliki tangan seperti makhlukNya.
Dari sini, ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sebagai golongan
mayoritas, dengan jelas menerima dalil naqli dan dalil aqli.
Dengan
demikian, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh al-Imam Abu Hasan
al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi mengembalikan ajaran Islam kepada Sunnah
Rasulullah dan para shahabatnya dengan berpegang kepada dalil al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal. Artinya memegang kepada dalil akal
tetapi lebih mengutamakan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
- D. Penggunaan Dalil dalam Tauhid
Dalam kajian Ahlussunnah wal Jamaah, penggunaan dalil naqli lebih
di utamakan ketimbang dalil aqli. Menurut KH. Nuril Huda, jika kita ibaratkan
dalil aqli sebagai mata, maka dalil naqli kita ibaratkan sebagai pelita yang
terang benderang. Mata kita harus disesuaikan dengan pelita. Jika pelita sudah
jelas dan clear, maka mata mengikutinya. Tapi jika cahaya pelita itu agak blur,
maka mata harus mengkajinya hingga tampaklah pelita itu kembali terang di depan
mata. Akal manusia mengikuti dalil al-Qur’an dan Hadits, bukan al-Qur’an dan
hadits yang disesuaikan dengan akal manusia.
Rasulullah pernah bersabda bahwa “tidak ada agama bagi orang
yang tidak berakal”. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang menerima agama
adalah orang-orang yang berakal. Tapi bukan berarti juga agama yang harus
menerima akal. Akal lah yang harus menerima agama. Itu artinya, kebenaran naqli
lebih di dahulukan dari kebenaran aqli. Tapi walau begitu, bukan berarti kita
menghilangkan fungsi akal sebagaimana golongan Salafi Wahabi.
- E. Madzhab Mayoritas Teologi
Fatwa
agama yang datang dari mana pun saja kalau tidak berdasarkan al-Qur’an,
as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas wajib kita tolak. Maka di dalam ilmu Tauhid
kita berpegangan kepada al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Al-Imam
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat tahun 324
H. Beliau belajar kepada ulama Muktazilah, di antaranya al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahab Al-Jabal. Karena pada masa itu Muktazilah merupakan madzhab
pemerintah pada zaman khalifah Abbasiyah; khalifah Al-Ma’mun bin Harun
al-Rasyid al-Mu’tashim dan al-Watsiq, dan beliau termasuk pengikut setia
madzhab Muktazilah.
Setelah
beliau banyak melihat kekeliruan faham Muktazilah, maka beliau menyatakan
keluar dari Muktazilah di depan khalayak ramai dengan tegas, bahkan akhirnya
beliau menolak pendapat-pendapat Muktazilah dengan dalil-dalil yang tegas.
- F. Rukun Iman
Dalam
ilmu Tauhid, rukun iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 6 (enam) pilar,
yaitu:
1.
Iman kepada Allah;
2.
Iman kepada para malaikat Allah;
3.
Iman kepada para nabi dan rasul Allah;
4.
Iman kepada kitab-kitab suci Allah;
5.
Iman kepada Hari Akhir; dan
6.
Iman kepada Qadla/Qadar Allah.
Dalam
memahami Allah, Ahlussunnah wal Jamaah secara mayoritas menyetujui bahwa Allah
memiliki 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz. Oleh karena itu,
Allah dikesampingkan dari hal-hal yang sama dengan makhlukNya, salah satunya
dimensi tempat dan waktu. Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat bahwa
dimensi waktu dan tempat hanya berlaku bagi makhluk, sementara bagi Allah, hal
itu jelas tidak berlaku. Itu artinya, Allah tidak dipengaruhi oleh waktu dan
tidak memiliki tempat.
Ajaran
Ahlussunnah wal Jamaah juga mengakui bahwa tidak ada yang mengetahui jumlah
malaikat kecuali Allah Azza wa Jalla. Hanya saja, kita diwajibkan untuk
mengenal 10 malaikat.
Begitupun
dengan para nabi dan rasul. Kita diwajibkan untuk mengenal 25 nabi dan rasul,
yang diawali oleh Adam dan diakhiri oleh Muhammad. Kita juga diwajibkan untuk
mengakui dan meyakini bahwa beberapa nabi dan rasul diturunkan kitab oleh Allah
dan wajib diketahui, yaitu kitab Zabur kepada Daud, Taurat kepada Musa, Injil
kepada Isa, dan al-Qur’an kepada Muhammad.
Kita
juga harus meyakini bahwa alam raya ini bersifat fana. Itu artinya, suatu saat
nanti alam raya ini akan hancur dengan izin Allah. Meyakini Hari Kiamat juga
termasuk meyakini perjalanan atau tanda-tanda menuju Kiamat. Misalnya
kedatangan al-Mahdi, turunnya Isa al-Masih, keluarnya Dajjal, keluarnya Yakjuj
Makjuj, dan segala macamnya.
Dan
terakhir meyakini bahwa kita tidak bisa terlepas dari takdir Tuhan. Tapi perlu
dipahami disini, ada dua golongan yang memandang Qadla dan Qadar dengan gaya
yang berbeda. Pertama memandang bahwa manusia memiliki hak penuh untuk
menentukan takdirnya sendiri. Golongan ini disebut sebagai golongan Qadariyyah.
Sementara
golongan kedua adalah mereka yang menafikan usaha manusia. Segala sesuatu sudah
diatur oleh Allah, dan manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Golongan ini
berbanding terbalik dengan golongan Qadariyyah. Golongan ini biasa disebut
sebagai golongan Jabariyyah.
Diantara
keduanya, Ahlussunnah wal Jamaah berdiri di tengah-tengah mereka. Ahlussunnah
wal Jamaah mengakui eksistensi usaha manusia, tapi untuk masalah hasilnya,
dikembalikan kepada ketentuan Allah Swt. Wallahu A’lam.
=============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar