Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Jumat, 27 Maret 2020

Dasar Hukum Pengajuan Eyang Hasan Maolani sebagai Pahlawan Nasional


Dasar hukum pengajuan kepahlawanan seorang Eyang Hasan Maolani penulis mulai dari konstitusi. Pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) menjelaskan bahwa :

“Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.”


Pasal 15 UUD NRI tersebut merupakan hasil amandemen pertama Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999. Terlihat jelas bahwa yang memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, dilakukan oleh presiden sebagai pemimpin tertinggi di lingkup kekuasaan eksekutif.

Sepintas Perjalanan Sejarah Eyang Hasan Maolani Lengkong


Bagi orang yang lahir dan menetap di Desa Lengkong, Kabupaten Kuningan, nama Eyang Hasan Maolani sudah sangat melekat di dalam sanubari mereka. Masyarakat Lengkong biasanya menggunakan istilah ‘eyang’ untuk menyebut nama Hasan Maolani. Dalam tata bahasa Sunda, istilah ‘eyang’ merujuk kepada orang yang dituakan dan menjadi sesepuh di sebuah lingkungan tertentu. Istilah eyang ini juga tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah eyang diartikan sebagai kakek atau nenek.[1] Penyebutan eyang yang dilakukan masyarakat Lengkong mempunyai makna penting bahwa seseorang bernama Hasan Maolani ini sangat dihormati dan dijadikan ikon kebanggaan masyarakat Lengkong. 

Meluruskan Kesalahan Penanggalan dalam Buku Panitia Haul Karangan Abu Abdullah Hadziq




Khusus untuk penyebaran Islam di tanah Kuningan, Lengkong memang menjadi salah satu pintu utama sarana Islamisasi di Cirebon Selatan. Hal ini diperkuat oleh pendapatnya Rosidi, bahwa Pesantren tua yang terkenal di kawasan Kuningan adalah Pesantren Lengkong. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Panembahan Daqo, utusan dari Cirebon pada sekitar akhir abad ke-18. Pesantren Lengkong terdapat di daerah Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan. Setelah Syekh Panembahan Daqo meninggal, pesantren diteruskan oleh Kiai Abdul Karim, Kiai Fakih Tolab, hingga sampai kepada Eyang Hasan Maolani. Bila ditelusuri, dari keturunan dan murid-murid Eyang Hasan Maolani inilah banyak menurunkan para penghulu di Kuningan.[1] Oleh karenanya, wajar jika seorang Eyang Hasan Maolani tumbuh dengan kecintaan akan ajaran agama Islam, karena lingkungan sosialnya telah didesain sebagai pusat penyebaran Islam.

Tantangan Pengajuan Eyang Hasan Maolani sebagai Pahlawan Nasional


Universitas Gadjah Mada (UGM) membutuhkan waktu sembilan tahun atau sejak 2010 hingga 2019 untuk memperjuangkan dr. Sardjito meraih gelar pahlawan. Bahkan bagi Pakualam VIII, waktu 23 tahun belum dianggap cukup. Saat ini diawal 2020, mereka baru melakukan seminar usulan.

Hal yang sama mungkin akan dialami oleh Eyang Hasan Maolani. Disekitaran tahun 2007 hingga 2009, Prof. Nina Herlina Lubis dari Universitas Padjadjaran, Bandung, bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan pernah mengusulkan Eyang Hasan Maolani sebagai Pahlawan Nasional, namun mengalami kegagalan. Hal ini tentu dimaklumi, sebagaimana juga tokoh-tokoh lain memiliki proses panjang dalam pengajuan kepahlawanannya.

Silsilah Keluarga Kiai Ending Zahidi Lengkong Kuningan



=====================
Sumber: Database Idik Saeful Bahri (idikms)

Memperjuangkan Eyang Hasan Maolani sebagai Pahlawan Nasional

Download Sketsa Wajah Eyang Hasan Maolani




=====================
Sumber: Database Idik Saeful Bahri (idikms)