Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Jumat, 27 Maret 2020

Meluruskan Kesalahan Penanggalan dalam Buku Panitia Haul Karangan Abu Abdullah Hadziq




Khusus untuk penyebaran Islam di tanah Kuningan, Lengkong memang menjadi salah satu pintu utama sarana Islamisasi di Cirebon Selatan. Hal ini diperkuat oleh pendapatnya Rosidi, bahwa Pesantren tua yang terkenal di kawasan Kuningan adalah Pesantren Lengkong. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Panembahan Daqo, utusan dari Cirebon pada sekitar akhir abad ke-18. Pesantren Lengkong terdapat di daerah Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan. Setelah Syekh Panembahan Daqo meninggal, pesantren diteruskan oleh Kiai Abdul Karim, Kiai Fakih Tolab, hingga sampai kepada Eyang Hasan Maolani. Bila ditelusuri, dari keturunan dan murid-murid Eyang Hasan Maolani inilah banyak menurunkan para penghulu di Kuningan.[1] Oleh karenanya, wajar jika seorang Eyang Hasan Maolani tumbuh dengan kecintaan akan ajaran agama Islam, karena lingkungan sosialnya telah didesain sebagai pusat penyebaran Islam.

Adapun lokasi pesantrennya menurut Abu Abdullah Hadziq dalam bukunya mengatakan berada di puseur dayeuh[2]Lengkong, yang kini disebut sebagai blok Pasantren (saat ini masuk dalam wilayah administratif Dusun Kliwon, Desa Lengkong). Namun ada perbedaan cara pandang, dimana Abu Abdullah Hadziq justru mengatakan bahwa orang pertama yang membangun pesantren tersebut adalah Syekh Abdul Karim sekitaran abad ke 13 Masehi,[3] agak sedikit kontradiktif dengan penjelasan Muhammad Nida’ Fadlan di atas, dan juga dari hasil penelitian Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagaimana dikutip oleh Wawan Hernawan yang akan penulis singgung dalam pembahasan selanjutnya.

Kemudian tentu harus diteliti lebih jauh lagi, apakah ketika pondok pesantren tersebut diwarisi sampai Eyang Hasan Maolani, posisi pesantren tersebut masih di puseur dayeuh sebagaimana dijelaskan oleh Abu Abdullah Hadziq atau sudah berpindah ke tempat yang sekarang di sebut sebagai Dusun Wage, Desa Lengkong, sebagaimana rumah Eyang Hasan Maolani saat ini berada. Lantas justru penulis semakin bertanya, lebih senior mana antara Syekh Panembahan Daqo dengan Syekh Abdul Karim? Karena hitungan tahunnya terlampau sangat jauh, antara abad 18 dan abad 13. Jika benar di abad 13, itu berarti pondok pesantren tersebut berdiri sebelum lahirnya Kesultanan Cirebon, karena Kesultanan Cirebon baru berdiri di kisaran abad ke 15 Masehi, tepatnya sekitar tahun 1430 Masehi.


"Awalnya penulis pikir penulisan abad ke-XIII di halaman 3 buku tersebut hanya sebatas kesalahan tulis saja, namun ternyata dibagian cover belakang juga tetap ditulis abad ke-XIII. Penulis yakini ada kekeliruan dalam penanggalan tersebut, karena penegasan tahunnya jelas jauh dari hitungan tanggal pendirian Kesultanan Cirebon. Islamisasi di Kuningan tidak bisa dilepaskan dari peran Kesultanan Cirebon, sehingga terkesan kurang logis jika di Kuningan telah memiliki sebuah pondok pesantren, sementara Kesultanan Cirebon sendiri belum terbentuk."




===========================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.




DISAJIKAN DARI PENGGALAN BUKU: GEGAP GEMPITA PERJALANAN SEJARAH DAN UPAYA STATUS KEPAHLAWANAN EYANG HASAN MAOLANI LENGKONG






_________________________________

[1] Ayip Rosidi, 2000, Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi), Jakarta: Pustaka Jaya, hlm. 514-515.
[2] Tengah Desa atau Pusat Desa
[3] Abu Abdullah Hadziq, 2017, Mengenang Sang Kyai Sedjati Eyang Maolani, Kuningan: Panitia Haul Eyang Hasan Maolani, hlm. 3.

Tidak ada komentar: