Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Jumat, 27 Maret 2020

Dasar Hukum Pengajuan Eyang Hasan Maolani sebagai Pahlawan Nasional


Dasar hukum pengajuan kepahlawanan seorang Eyang Hasan Maolani penulis mulai dari konstitusi. Pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) menjelaskan bahwa :

“Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.”


Pasal 15 UUD NRI tersebut merupakan hasil amandemen pertama Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999. Terlihat jelas bahwa yang memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, dilakukan oleh presiden sebagai pemimpin tertinggi di lingkup kekuasaan eksekutif.


Dari Pasal 15 UUD NRI tersebut lahirlah aturan pelaksana dibawahnya, baik itu berupa undang-undang maupun peraturan lain dibawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah. Legal standing turunan dari Pasal 15 UUD NRI tidak lain dan tidak bukan adalah UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Sebenarnya, ada beberapa peraturan perundang-undangan lain yang bisa ditarik secara filosofis mengenai pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, misalnya: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; PP Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan; PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; serta PP Nomor 5 Tahun 1964 tentang Pemberian Penghargaan/Tunjangan Kepada Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan.[1]

Dalam buku ini, penulis hanya akan menjabarkan UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, beserta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Undang-undang ini secara struktur merupakan turunan langsung dari Pasal 15 UUD NRI. Lantas sebenarnya apa perbedaan antara gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan sebagaimana hal tersebut dijadikan nama undang-undang?

UU Nomor 20 Tahun 2009 merinci definisi dari ketiganya, dimana gelar adalah penghargaan negara yang diberikan Presiden kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti, dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan negara, sementara tanda jasa adalah penghargaan negara yang diberikan Presiden kepada seseorang yang berjasa dan berprestasi luar biasa dalam mengembangkan dan memajukan suatu bidang tertentu yang bermanfaat besar bagi bangsa dan negara, sedangkan tanda kehormatan adalah penghargaan negara yang diberikan Presiden kepada seseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas darmabakti dan kesetiaan yang luar biasa terhadap bangsa dan negara.[2]

Tujuan dari pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan menurut undang-undang ini antara lain:[3] 

1. menghargai jasa setiap orang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi yang telah mendarmabaktikan diri dan berjasa besar dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara;

2. menumbuhkembangkan semangat kepahlawanan, kepatriotan, dan kejuangan setiap orang untuk kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara; dan 

3. menumbuhkembangkan sikap keteladanan bagi setiap orang dan mendorong semangat melahirkan karya terbaik bagi kemajuan bangsa dan negara.


Ada dua jenis gelar yang dikenal dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 ini, yaitu: gelar berupa Pahlawan Nasional; dan gelar disertai dengan pemberian Tanda Jasa dan/atau Tanda Kehormatan.

Walaupun yang memberikan gelar pahlawan nasional adalah presiden, namun harus berdasarkan pertimbangan dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Adapun anggota dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota yang berasal dari unsur:[4] 

1. akademisi sebanyak 2 (dua) orang; 

2. militer dan/atau berlatar belakang militer sebanyak 2 (dua) orang; dan 

3. tokoh masyarakat yang pernah mendapatkan Tanda Jasa dan/atau Tanda Kehormatan sebanyak 3 (tiga) orang.


Calon anggota tersebut diusulkan oleh menteri di bidang kesekretariatan negara. Kedudukan dewan ini berada dibawah sekaligus bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dewan mempunyai masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Adapun tugas dan kewajiban dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan meliputi:[5]

1. meneliti, membahas, dan memverifikasi usulan, serta memberikan pertimbangan mengenai pemberian Gelar; 

2. meneliti, membahas, dan memverifikasi usulan, serta memberikan pertimbangan mengenai pemberian dan pencabutan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan; dan 

3. merencanakan dan menetapkan kebijakan mengenai pembinaan kepahlawanan.


Sementara syarat-syarat seseorang dapat diajukan sebagai pahlawan nasional, harus melingkupi beberapa hal berikut, yaitu:[6]

1. WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; 

2. memiliki integritas moral dan keteladanan; 

3. berjasa terhadap bangsa dan negara; 

4. berkelakuan baik; 

5. setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan 

6. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.[7]


Selain keenam syarat diatas, terdapat pula syarat khusus agar seseorang bisa dianugerahi gelar pahlawan nasional, yaitu:[8]

1. pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa; 

2. tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan;

3. melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya;

4. pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; 

5. pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa; 

6. memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau 

7. melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.


Sementara itu, prosedur teknis dalam pengajuan seseorang—dalam hal ini Eyang Hasan Maolani—menjadi pahlawan nasional lebih dahulu ditujukan kepada Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Usulan tersebut diajukan oleh perseorangan (misal oleh penulis atau salah satu dari anak keturunan Eyang Hasan Maolani yang lain), lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah (misalnya Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan), organisasi (misalnya Nahdlatul Ulama), atau kelompok masyarakat (misalnya warga Lengkong yang diwakili oleh salah seorang tokoh masyarakat). Secara teknis lagi disebutkan bahwa permohonan usul pemberian gelar diajukan melalui bupati/walikota atau gubernur kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.[9] Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial mengajukan permohonan usul pemberian Gelar kepada Presiden melalui Dewan.[10]

Dalam memberikan rekomendasi pengajuan usul pemberian gelar, gubernur dan bupati/walikota dibantu oleh TP2GD.[11] Dari sinilah terlihat jelas peran pemerintah daerah dalam mewujudkan dan menyukseskan seorang tokoh untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Keseriusan dan keterlibatan secara aktif oleh pemerintah daerah akan sangat membantu memuluskan jalan pengajuan gelar pahlawan nasional. TP2GD bersifat independen yang beranggotakan paling banyak 13 (tiga belas) orang yang terdiri dari unsur praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi terkait, serta dibentuk dan ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya. Hasil penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh TP2GD, disampaikan kepada gubernur dan/atau bupati/walikota sebagai bahan pertimbangan untuk menerbitkan rekomendasi.

Sama seperti gubernur dan/atau bupati/walikota, dalam memberikan rekomendasi pengajuan usul pemberian Gelar, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial juga dibantu oleh TP2GP.[12] TP2GP juga bersifat independen yang beranggotakan paling banyak 13 (tiga belas) orang yang terdiri dari unsur praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi terkait. Hasil penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh TP2GP, disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial sebagai bahan pertimbangan untuk menerbitkan rekomendasi.

Usulan yang dibuat harus dilengkapi dengan riwayat hidup diri dari tokoh yang diusulkan, riwayat perjuangannya, jasa serta tugas negara yang dilakukan calon penerima Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Selain itu juga dibutuhkan surat rekomendasi dari menteri, pimpinan lembaga negara, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, gubernur, dan/atau bupati/walikota di tempat calon penerima dan pengusul Gelar, Tanda Jasa, dan/atau Tanda Kehormatan.[13] Usulan tersebut kemudian akan diverifikasi oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Verifikasi ini dilakukan dengan meneliti dan mengkaji keabsahan dan kelayakan calon penerima Gelar, Tanda Jasa, dan/atau Tanda Kehormatan.

Jika presiden atas pertimbangan dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan memutuskan untuk memberikan gelar pahlawan, maka ada beberapa kewajiban yang harus ditunaikan oleh para ahli waris dari tokoh yang sudah menyandang gelar pahlawan nasional. Ahli waris penerima gelar berkewajiban:[14] 

1. menjaga nama baik pahlawan dan jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan negara; 

2. menjaga dan melestarikan perjuangan, karya, dan nilai kepahlawanan; dan 

3. menumbuhkan dan membina semangat kepahlawanan.




============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.



______________________________________

[1] UU merupakan singkatan dari Undang-Undang, sementara PP merupakan singkatan dari Peraturan Pemerintah.
[2] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pasal 1.
[3] Ibid., Pasal 3.
[4] Ibid., Pasal 16.
[5] Ibid., Pasal 18.
[6] Ibid., Pasal 25.
[7] Dalam penjelasan di UU hanya disebutkan sudah cukup jelas. Menurut penulis, hukuman pidana disini maksudnya yang berkenaan dengan pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan, dan lain-lain. Tidak termasuk didalamnya upaya pemberontakan melawan kolonialisme Belanda.
[8] Undang-Undaang Nomor 20 Tahun 2009, op.cit., Pasal 26.
[9] Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pasal 52 ayat (1).
[10] Ibid., Pasal 52 (2)
[11] TP2GD merupakan singkatan dari Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah, adalah tim yang bertugas memberikan pertimbangan kepada gubernur, bupati/walikota dalam meneliti dan mengkaji usulan pemberian Gelar.
[12] TP2GP merupakan singkatan dari Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat, adalah tim yang bertugas memberikan pertimbangan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dalam meneliti dan mengkaji usulan pemberian Gelar.
[13] Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010, op.cit., Pasal 51 ayat (2).
[14] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, op.cit., Pasal 34.

Tidak ada komentar: