Sudah beberapa kali kita singgung, bahwa slogan “kembali kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah” adalah salah satu slogan yang tidak masuk akal.
Istilahnya memang baik, dan sangat Islami. Hanya saja dalam penerapannya, hal
itu agak kurang meyakinkan. Dan slogan itu justru memicu banyaknya
tafsiran-tafsiran baru, yang kemudian memunculkan aliran baru. Dengan
memberikan keleluasaan bagi setiap manusia untuk menafsrikan al-Qur’an dan
as-Sunnah, maka disitulah gerbang kesesatan akan terbuka lebar.
Maka dari itu, sumber agama Islam bukan hanya al-Qur’an dan
as-Sunnah saja, tapi juga masuk diurutan ketiga adalah tafsiran ulama. Mengapa
harus ulama? Jelas disini, bahwa ulama adalah orang yang berilmu. Ulama memiliki
pemahaman yang khusus dalam bidang tafsir. Segala urusan harus diserahkan
kepada orang yang ahlinya. Dan ulama adalah orang-orang yang ahli dalam
menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Banyak orang terkecoh dengan istilah Ijtihad, Ijma’ dan Qiyash. Bagi
pembaca yang pernah sekolah di madrasah negeri, mungkin akan mengalami
kebimbangan. Bagaimana tidak, satu buku mengatakan sumber hukum Islam itu hanya
ada 3, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijtihad Ulama. Sementara buku yang
lainnya mengatakan bahwa sumber hukum Islam ada 4, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah,
Ijma’, dan Qiyash. Lalu mana yang benar? Mari kita kaji dalam pembahasan kali
ini.
- A. Definisi Ulama
Sebelum masuk dalam pembahasan di judul ini, lebih baik kita harus
paham dulu apa itu ulama. Secara bahasa ulama adalah orang yang berilmu.
Pengertian ini mencakup segala hal, orang yang pintar dalam masalah matematika
misalnya, maka dia ulama. Orang yang jago dalam masalah teknologi, maka dia
ulama. Orang yang cerdas dalam masalah sejarah, maka dia juga ulama. Secara
bahasa memang kata ulama ini sangat umum sekali. Siapapun yang ahli dalam suatu
bidang, maka dia dinyatakan sebagai ulama.
Tapi realitas di masyarakat ternyata tidak demikian. Ada sebuah
penyempitan makna dalam beberapa kata yang sering kita dengar. Salah satu
contohnya adalah kata “ustadz”. Kata “ustadz” memiliki arti pengajar. Tapi
dalam prakteknya, istilah ini hanya digunakan bagi mereka yang mengajar ilmu
agama saja, sementara pengajar fisika misalnya, tidak disebut dengan istilah
ustadz.
Tidak jauh berbeda dengan istilah ustadz, kata “ulama” juga terjadi
penyempitan makna, khususnya di Indonesia. Istilah ulama hanya disandingkan
dengan orang-orang yang ahli dalam masalah agama. Secara bahasa memang agak
kurang tepat, tapi kesepakatan masyarakat sudah menghendaki yang demikian.
Jadi jelas disini, istilah ulama yang akan kita pakai dalam
pembahasan kita kali ini merujuk pada orang-orang yang ahli dalam masalah
agama. Dan memang benar, al-Qur’aan dan as-Sunnah adalah bagian produk agama,
maka yang berhak untuk menafsirkannya adalah orang-orang yang ahli dan berilmu
dalam masalah agama.
Memang, secara umum setiap manusia berhak untuk menafsirkan
al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi para ulama ahli tafsir merasa takut jika kemudian
terjadi fitnah dimana-mana karena banyaknya tafsiran yang bathil. Maka dari
itu, ulama ahli tafsir memberikan spesifikasi orang-orang yang setidaknya layak
untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Tapi bukan berarti kita haram untuk
menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Bukan itu. Kita tetap memiliki hak yang sama
untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi tidak untuk konsumsi publik.
Jika kita belum masuk kategori orang yang boleh menafsirkan al-Qur’an dan
as-Sunnah menurut ulama ahli tafsir, maka tafsiran kita hanya untuk konsumsi
pribadi, tidak untuk disebarkan kepada orang lain.
- B. Versi Ijtihad vs Ijma’ Qiyash
Sebenarnya versi yang mengatakan sumber hukum Islam ada 3 dan ada
4, kedua-duanya benar. Kadang buku-buku yang kita baca dengan memisahkan kedua
istilah itu membuat masyarakat awam seperti kita agak kesulitan. Bahkan penulis
pernah mendengar bahwa sumber hukum Islam ada 5, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah,
Ijtihad Ulama, Ijma’, dan Qiyash. Semuanya dimasukkan agar terlihat sempurna.
Padahal menurut hemat penulis, hal itu tidak perlu dilakukan, hal yang boros.
Ijtihad menurut bahasa artinya adalah bersungguh-sungguh. Maksudnya
adalah upaya seorang mujtahid dalam menentukan sebuah hukum baru. Dalam kaitan
ini, berarti mujtahid tersebut menggunakan sumber al-Qur’an dan as-Sunnah untuk
kemudian dia kaji dan dia hasilkan sebuah ketetapan baru yang berupa hukum
agama bagi umat Islam.
Sementara Ijma’ artinya adalah kesepakatan para mujtahid, dan
Qiyash adalah sebuah metode ijtihad dengan pendekatan analogi.
Dari sini terlihat, bahwa Ijtihad adalah sesuatu hal yang umum.
Sementara Ijma’ dan Qiyash adalah metode seorang mujtahid untuk menentukan
sebuah hukum baru.
Jika pembaca agak kesulitan memahaminya, penulis mencoba memberikan
suatu pembahasan yang lebih simpel. Ijtihad bisa kita artikan sebagai tafsiran
ulama. Sementara tafsiran ulama itu menggunakan Ijma’ (kesepakatan bersama) dan
Qiyash (analogi). Jadi Ijma’ dan Qiyash adalah bagian dalam ruang lingkup
Ijtihad. Maka dari itu penulis agak kurang setuju jika ada yang mengatakan
bahwa sumber hukum Islam ada 5, dengan menggabungkan Ijtihad, Ijma’, dan
Qiyash. Terlalu boros. Jika mau memasukkan Ijtihad dalam sumber hukum Islam,
berarti hanya Ijtihad saja. Nanti dalam pembahasan Ijtihad tersebut, dijelaskan
tentang Ijma’ dan Qiyash.
- C. Ijtihad Ulama
Dikalangan para
ulama, istilah “ijtihad” ini khusus digunakan dalam pengertian usaha
yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fikih) untuk mengetahui hukum
syari’at. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan menggali hukum
agama dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Imam
al-Ghazali mendefinisikan Ijtihad sebagai berikut:
“Ijtihad
ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan
istimbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dan sunnah.”
- D. Syarat Ijtihad
Ijtihad
itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan
ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi
menjadi tiga, yaitu syarat-syarat umum, syarat-syarat khusus, dan syarat
pelengkap.
- Syarat-syarat Umum
- 1. Baligh;
- 2. Berakal sehat;
- 3. Memahami masalah;
- 4. Beriman.
- Syarat-syarat Khusus
- 1. Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis;
- 2. Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis;
- 3. Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam;
- 4. Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah;
- 5. Mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab;
- 6. Mengetahui ilmu ushul fikih;
- 7. Mengetahui ilmu mantiq;
- 8. Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah;
- 9. Mengetahui soal-soal ijma’.
- Syarat-syarat pelengkap
- 1. Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya;
- 2. Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati;
- 3. Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
- E. Mengenai Ijma’
Pengertian Ijma’ menurut para ulama adalah kesamaan
pendapat para mujtahid umat nabi Muhammad saw setelah beliau wafat, berlangsung
pada masa tertentu dan berkaitan tentang masalah tertentu.
Para ulama
berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat sebagai
ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid
(ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari
mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus
berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak boleh didasarkan kepada
yang lainnya.
- F. Mengenai Qiyash
Qiyash menurut
bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan yang
lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah, qiyash ialah
menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash, dengan
mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash. Secara umum,
dapat juga kita katakan bahwa qiyash adalah sebuah analogi yang dilakukan oleh
mujtahid.
- G. Alat Pendukung Ijtihad
Selain Ijma’
dan Qiyash, beberapa bentuk atau metode dari Ijtihad juga dikenal beberapa istilah
lain. Tapi perlu diperhatikan disini, bahwa beberapa metode di bawah ini juga
berlaku bagi Ijma’ dan Qiyash. Jadi simpelnya, Ijtihad adalah suatu lingkup
yang besar, kemudian menyempit kepada 2 metode yaitu Ijma’ dan Qiyash.
Sementara untuk menentukan itu semua, dibutuhkan alat-alat pendukung, yang akan
penulis sampaikan di bawah ini.
- 1. Mashalihul Mursalah
Mashalih
Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak dianjurkan
Quran dan Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara kelestarian dan
keselamatan agama, akal, harta, diri, dan keturunan. Misalnya, membukukan dan
mencetak Al-Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin, imam, khotib, dan guru
agama, serta mengadakan perayaan peringatan hari-hari besar Islam.
- 2. Istinbath
Istinbath yaitu
menghukumi suatu perkara setelah mempertimbangkan permasalahannya.
- 3. Istihsan
Istihsan adalah
penetapan hukum dengan penyimpangan dari hukum umum kepada hukum khusus untuk
mencapai kemanfaatan.
- 4. Istishab
Istishab
ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan
sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.
- 5. ‘Urf
Urf
ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu
masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan
maupun meninggalkan. Menurut ahli syara, antara urf dan adat itu tidak ada
perbedaanya. Diantara contah ‘urf amali ialah jual beli yang dilakukan
berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat (akad jual
beli).
Dari
pembahasan ini, dapat memberikan gambaran bahwa menafsirkan al-Qur’an dan
as-Sunnah tidak bisa sesuka hati. Walau bagaimana pun, al-Qur’an dan as-Sunnah
adalah sumber hukum yang suci, maka orang yang berhak untuk menafsirkannya
adalah orang-orang yang setidaknya cakap dalam menentukan sebuah hukum agama.
Sekali lagi penulis singgung, bahwa sebenarnya kita berhak untuk menafsirkan
al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi jika kita belum masuk kategori orang yang boleh
manfsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah menurut ulama ahli tafsir, maka tidak
dianjurkan tafsiran kita disebarkan kepada orang lain. Hal ini untuk mencegah
terjadinya tafsiran bathil yang menyebar di masyarakat. Wallahu A’lam.
==============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar