Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Selasa, 10 Desember 2019

Ijtihad Ulama (Ijma' dan Qiyash)


Sudah beberapa kali kita singgung, bahwa slogan “kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah” adalah salah satu slogan yang tidak masuk akal. Istilahnya memang baik, dan sangat Islami. Hanya saja dalam penerapannya, hal itu agak kurang meyakinkan. Dan slogan itu justru memicu banyaknya tafsiran-tafsiran baru, yang kemudian memunculkan aliran baru. Dengan memberikan keleluasaan bagi setiap manusia untuk menafsrikan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka disitulah gerbang kesesatan akan terbuka lebar.


Maka dari itu, sumber agama Islam bukan hanya al-Qur’an dan as-Sunnah saja, tapi juga masuk diurutan ketiga adalah tafsiran ulama. Mengapa harus ulama? Jelas disini, bahwa ulama adalah orang yang berilmu. Ulama memiliki pemahaman yang khusus dalam bidang tafsir. Segala urusan harus diserahkan kepada orang yang ahlinya. Dan ulama adalah orang-orang yang ahli dalam menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Banyak orang terkecoh dengan istilah Ijtihad, Ijma’ dan Qiyash. Bagi pembaca yang pernah sekolah di madrasah negeri, mungkin akan mengalami kebimbangan. Bagaimana tidak, satu buku mengatakan sumber hukum Islam itu hanya ada 3, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijtihad Ulama. Sementara buku yang lainnya mengatakan bahwa sumber hukum Islam ada 4, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyash. Lalu mana yang benar? Mari kita kaji dalam pembahasan kali ini.


  • A.    Definisi Ulama

Sebelum masuk dalam pembahasan di judul ini, lebih baik kita harus paham dulu apa itu ulama. Secara bahasa ulama adalah orang yang berilmu. Pengertian ini mencakup segala hal, orang yang pintar dalam masalah matematika misalnya, maka dia ulama. Orang yang jago dalam masalah teknologi, maka dia ulama. Orang yang cerdas dalam masalah sejarah, maka dia juga ulama. Secara bahasa memang kata ulama ini sangat umum sekali. Siapapun yang ahli dalam suatu bidang, maka dia dinyatakan sebagai ulama.

Tapi realitas di masyarakat ternyata tidak demikian. Ada sebuah penyempitan makna dalam beberapa kata yang sering kita dengar. Salah satu contohnya adalah kata “ustadz”. Kata “ustadz” memiliki arti pengajar. Tapi dalam prakteknya, istilah ini hanya digunakan bagi mereka yang mengajar ilmu agama saja, sementara pengajar fisika misalnya, tidak disebut dengan istilah ustadz.

Tidak jauh berbeda dengan istilah ustadz, kata “ulama” juga terjadi penyempitan makna, khususnya di Indonesia. Istilah ulama hanya disandingkan dengan orang-orang yang ahli dalam masalah agama. Secara bahasa memang agak kurang tepat, tapi kesepakatan masyarakat sudah menghendaki yang demikian.

Jadi jelas disini, istilah ulama yang akan kita pakai dalam pembahasan kita kali ini merujuk pada orang-orang yang ahli dalam masalah agama. Dan memang benar, al-Qur’aan dan as-Sunnah adalah bagian produk agama, maka yang berhak untuk menafsirkannya adalah orang-orang yang ahli dan berilmu dalam masalah agama.

Memang, secara umum setiap manusia berhak untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi para ulama ahli tafsir merasa takut jika kemudian terjadi fitnah dimana-mana karena banyaknya tafsiran yang bathil. Maka dari itu, ulama ahli tafsir memberikan spesifikasi orang-orang yang setidaknya layak untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Tapi bukan berarti kita haram untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Bukan itu. Kita tetap memiliki hak yang sama untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi tidak untuk konsumsi publik. Jika kita belum masuk kategori orang yang boleh menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah menurut ulama ahli tafsir, maka tafsiran kita hanya untuk konsumsi pribadi, tidak untuk disebarkan kepada orang lain.


  • B.     Versi Ijtihad vs Ijma’ Qiyash

Sebenarnya versi yang mengatakan sumber hukum Islam ada 3 dan ada 4, kedua-duanya benar. Kadang buku-buku yang kita baca dengan memisahkan kedua istilah itu membuat masyarakat awam seperti kita agak kesulitan. Bahkan penulis pernah mendengar bahwa sumber hukum Islam ada 5, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijtihad Ulama, Ijma’, dan Qiyash. Semuanya dimasukkan agar terlihat sempurna. Padahal menurut hemat penulis, hal itu tidak perlu dilakukan, hal yang boros.

Ijtihad menurut bahasa artinya adalah bersungguh-sungguh. Maksudnya adalah upaya seorang mujtahid dalam menentukan sebuah hukum baru. Dalam kaitan ini, berarti mujtahid tersebut menggunakan sumber al-Qur’an dan as-Sunnah untuk kemudian dia kaji dan dia hasilkan sebuah ketetapan baru yang berupa hukum agama bagi umat Islam.

Sementara Ijma’ artinya adalah kesepakatan para mujtahid, dan Qiyash adalah sebuah metode ijtihad dengan pendekatan analogi.

Dari sini terlihat, bahwa Ijtihad adalah sesuatu hal yang umum. Sementara Ijma’ dan Qiyash adalah metode seorang mujtahid untuk menentukan sebuah hukum baru.

Jika pembaca agak kesulitan memahaminya, penulis mencoba memberikan suatu pembahasan yang lebih simpel. Ijtihad bisa kita artikan sebagai tafsiran ulama. Sementara tafsiran ulama itu menggunakan Ijma’ (kesepakatan bersama) dan Qiyash (analogi). Jadi Ijma’ dan Qiyash adalah bagian dalam ruang lingkup Ijtihad. Maka dari itu penulis agak kurang setuju jika ada yang mengatakan bahwa sumber hukum Islam ada 5, dengan menggabungkan Ijtihad, Ijma’, dan Qiyash. Terlalu boros. Jika mau memasukkan Ijtihad dalam sumber hukum Islam, berarti hanya Ijtihad saja. Nanti dalam pembahasan Ijtihad tersebut, dijelaskan tentang Ijma’ dan Qiyash. 


  • C.    Ijtihad Ulama

Dikalangan para ulama, istilah “ijtihad” ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fikih) untuk mengetahui hukum syari’at. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan menggali hukum agama dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Imam al-Ghazali mendefinisikan Ijtihad sebagai berikut:

Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istimbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dan sunnah.”


  • D.    Syarat Ijtihad

Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu syarat-syarat umum, syarat-syarat khusus, dan syarat pelengkap.

  • Syarat-syarat Umum

  • 1.      Baligh;
  • 2.      Berakal sehat;
  • 3.      Memahami masalah;
  • 4.      Beriman.
 
  • Syarat-syarat Khusus

  • 1.      Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis;
  • 2.      Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis;
  • 3.      Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam;
  • 4.      Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah;
  • 5.      Mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab;
  • 6.      Mengetahui ilmu ushul fikih;
  • 7.      Mengetahui ilmu mantiq;
  • 8.      Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah;
  • 9.      Mengetahui soal-soal ijma’.

  • Syarat-syarat pelengkap

  • 1.      Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya;
  • 2.      Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati;
  • 3.      Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.


  • E.     Mengenai Ijma’
Pengertian Ijma’ menurut para ulama adalah kesamaan pendapat para mujtahid umat nabi Muhammad saw setelah beliau wafat, berlangsung pada masa tertentu dan berkaitan tentang masalah tertentu.

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.


  • F.     Mengenai Qiyash
Qiyash menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan yang lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah, qiyash ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash, dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash. Secara umum, dapat juga kita katakan bahwa qiyash adalah sebuah analogi yang dilakukan oleh mujtahid.


  • G.    Alat Pendukung Ijtihad
Selain Ijma’ dan Qiyash, beberapa bentuk atau metode dari Ijtihad juga dikenal beberapa istilah lain. Tapi perlu diperhatikan disini, bahwa beberapa metode di bawah ini juga berlaku bagi Ijma’ dan Qiyash. Jadi simpelnya, Ijtihad adalah suatu lingkup yang besar, kemudian menyempit kepada 2 metode yaitu Ijma’ dan Qiyash. Sementara untuk menentukan itu semua, dibutuhkan alat-alat pendukung, yang akan penulis sampaikan di bawah ini.


  • 1.      Mashalihul Mursalah
Mashalih Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak dianjurkan Quran dan Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri, dan keturunan. Misalnya, membukukan dan mencetak Al-Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin, imam, khotib, dan guru agama, serta mengadakan perayaan peringatan hari-hari besar Islam.


  • 2.      Istinbath
Istinbath yaitu menghukumi suatu perkara setelah mempertimbangkan permasalahannya.


  • 3.       Istihsan
Istihsan adalah penetapan hukum dengan penyimpangan dari hukum umum kepada hukum khusus untuk mencapai kemanfaatan.


  • 4.      Istishab
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.


  • 5.      ‘Urf
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli syara, antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya. Diantara contah ‘urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat (akad jual beli).
Dari pembahasan ini, dapat memberikan gambaran bahwa menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah tidak bisa sesuka hati. Walau bagaimana pun, al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber hukum yang suci, maka orang yang berhak untuk menafsirkannya adalah orang-orang yang setidaknya cakap dalam menentukan sebuah hukum agama. Sekali lagi penulis singgung, bahwa sebenarnya kita berhak untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi jika kita belum masuk kategori orang yang boleh manfsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah menurut ulama ahli tafsir, maka tidak dianjurkan tafsiran kita disebarkan kepada orang lain. Hal ini untuk mencegah terjadinya tafsiran bathil yang menyebar di masyarakat. Wallahu A’lam.


==============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.

Tidak ada komentar: