Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwasanya alam yang begitu besar
ini tentu ada yang menciptakan. Hal yang tidak logis jika alam ini hadir dengan
sendirinya. Bagaimana mungkin bumi ini diciptakan dengan akurasi yang luar
biasa, tidak terlalu dekat dengan matahari, juga tidak terlalu jauh dengan
matahari. Jika bumi diciptakan lebih dekat dari yang sekarang dengan matahari,
maka suhu bumi ini tidak akan mungkin bisa ditinggali manusia, karena saking panasnya.
Pun demikian, jika bumi diciptakan lebih jauh dari yang sekarang,
konsekuensinya adalah suhu bumi akan sangat dingin, dan tentu saja tidak bisa
dihuni oleh manusia.
Keteraturan-keteraturan alam raya ini telah mengundang spekulasi
universal di dalam diri manusia, bahwa alam raya ini tentulah ada yang
menciptakan. Hampir semua manusia antar generasi menyadari adanya dzat yang
maha kuasa yang menciptakan dirinya, juga menciptakan alam semesta. Maka
kesepakatan itupun muncul, bahwa pencipta manusia dan alam semesta ini adalah
Tuhan.
Hanya saja, perkembangan teori tentang Tuhan ini terus berbeda
antara satu zaman dengan zaman yang lain. Setiap generasi bertransformasi
terhadap penafsiran mereka terhadap Tuhan yang dimaksud.
Ada yang menafsirkan Tuhan sebagai kumpulan para dewa, yang setiap
dewa merupakan penjelmaan Tuhan untuk mengatur sebuah spesifikasi tertentu. Ada
dewa yang kerjaannya khusus untuk mengawasi lautan (dewa Poseidon jika di
Yunani), menjadi pemimpin langit (dewa Zeus), dan juga penguasa alam neraka
(dewa Hades). Orang-orang itu pun tidak puas hanya dengan memiliki sedikit
dewa, maka mereka menciptakan tokoh-tokoh baru untuk menjadikan dewa dalam
spesifikasi yang lebih rinci. Bahkan untuk mempercantik cerita, mereka
menggabungkan teori manusia dengan dewa, hingga terdengarlah manusia setengah
dewa seperti Herkules misalnya.
Dibelahan dunia yang lain, ada juga yang memvisualisasikan Tuhan
terhadap realitas benda yang ada disekelilingnya. Ada yang memvisualisasikan
Tuhan dengan api, dengan matahari, dengan patung, bahkan dengan roti yang
kemudian ia makan sendiri.
Diwilayah yang lain, ada juga yang tidak mau membicarakan mengenai
hakikat Tuhan. Mereka mempercayai adanya dzat yang menciptakan alam raya ini,
tapi mereka tidak mau ambil pusing untuk mengkaji hakikat Tuhan. Orang-orang
seperti ini yang kita sebut sebagai penganut ajaran Agnostik. Banyak dari kita
yang tidak bisa membedakan antara Agnostik dengan Ateisme. Padahal keduanya
berbeda jauh sekali. Dan penganut Ateisme di dunia ini sejatinya sangat sedikit
sekali jumlahnya.
Semakin kesini, dunia semakin maju dan modern. Ideologi
materialisme menyebar hingga ke akar-akar dan sendi-sendi kehidupan manusia.
Implikasinya hidup manusia cenderung hedonis. Semua mendewa-dewakan kekayaan
dan kesenangan hidup. Hingga tak heran, di zaman ini banyak yang mendewakan
uang, mendewakan kekayaan, mendewakan kecantikan, dan yang lainnya.
Agak sulit memang bagi kita untuk memahami hakikat Tuhan yang
sebenarnya, karena memang Tuhan tidak dapat dilihat oleh kita. Tuhan tidak bisa
dideteksi oleh teknologi yang kita ciptakan. Hanya saja, Tuhan tentu akan
mengutus beberapa orang untuk menyampaikan kehadiran diriNya.
Dan melalui nabi dan rasul lah kita memahami hakikat Tuhan yang
sebenarnya. Setiap nabi dan rasul dari zaman Adam hingga Muhammad sejatinya
menceritakan Tuhan yang sama, menceritakan keberadaan Tuhan yang sama, hanya
mungkin namanya berbeda, disesuaikan dengan lidah orang dizamannya.
Hingga tibalah orang yang lahir di gurun pasir, yang tidak bisa
membaca ini, bernama Muhammad, menyampaikan kepada kita bahwa Tuhan itu hanya ada
satu. Hal yang sangat kontroversial, karena pada saat itu Tuhan digambarkan
seperti dewa yang dibuat dengan berhala-berhala yang begitu banyak.
Banyak yang menolak pemikiran Muhammad ini, hanya saja, semakin mereka
menolak fakta ini, mereka semakin ragu dengan pendapat mereka sendiri. Justru
tidak logis jika Tuhan itu berjumlah banyak. Hal yang tidak masuk akal, karena
jika Tuhan berjumlah lebih dari satu, tentu akan terjadi perselisihan diantara
mereka sendiri.
Maka hal yang sudah tidak bisa diragukan lagi, bahwa Tuhan itu
satu. Hanya satu.
- A. Allah sebagai Tuhan yang Hak
Kita tidak perlu memperdebatkan nama Allah. Jangan terkecoh dengan
nama Allah dalam bahasa Ibrani maupun Arab. Kita tidak perlu lagi membahas hal
semacam itu. Yang jelas, bahasa universal kita saat ini untuk menggambarkan
Tuhan adalah nama Allah, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad.
Sebelumnya kita sudah membahas bahwa Islam ini adalah agama yang
paling hak. Oleh karena itu, sumber yang bisa kita rujuk adalah al-Qur’an
sebagai firman Tuhan.
Allah menjelaskan kepada kita melalui firmanNya, bahwa Allah itu
satu. Allah tidak beranak dan tidak pula diper-anak-kan. Allah juga menjelaskan
bahwa tidak ada satu-pun yang setara denganNya. Itu artinya, tidak ada satu pun
makhluk yang menyamaiNya, dalam segala apapun. Dalam kekuasaan, tidak ada satu
pun makhluk yang bisa menandingi kekuasaan Allah. Dalam masalah ilmu, tidak ada
yang jauh lebih berilmu ketimbang Allah. Allah adalah segalanya. Tidak ada yang
benar-benar bisa menandingi ke-Maha Kuasaan Allah.
- B. Asmaul Husna
Allah memiliki nama-nama lain yang sangat indah. Setiap nama
mewakili dari setiap sifat Allah yang Maha Sempurna. Bahkan dalam beberapa
riwayat, nama-nama Allah ini memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.
Setidaknya ada 99 nama Allah yang kita kenal. Pembaca bisa mencari
99 nama ini dalam referensi yang lain. Tapi intinya, ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah mengakui kebenaran dari 99 nama Allah yang indah ini.
- C. Sifat-Sifat Allah
Akidah Ahlussunnah wal Jamaah mempercayai bahwa ada sifat yang
wajib adanya untuk Allah, sifat yang mustahil bagiNya, juga sifat yang jaiz.
Setidaknya ada 20 sifat wajib bagi Allah yang wajib kita ketahui. Kedua puluh
sifat tersebut terbagi kedalam 4 bagian, yaitu:
- 1. Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang menerangkan tentang adanya Allah. Terdapat 1 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Wujud.
- 2. Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang menolak atau sifat-sifat yang menerangkan sesuatu hal yang tidak layak ada dalam dzat Allah. Terdapat 5 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Qidam; Baqa; Mukhalafatu lil Hawadits; Qiyamuhu bi Nafsihi; Wahdaniyat.
- 3. Sifat Ma’ani, yaitu sifat yang merupakan bentuk dari ke-Maha Kuasaan Allah. Terdapat 7 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Qudrat; Iradat; Ilmu; Hayat; Sama’; Bashar; Kalam.
- 4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu sifat-sifat yang menjadi perwujudan dari adanya sifat Ma’ani. Dengan kata lain, sifat Ma’nawiyah merupakan penjelas dari sifat Ma’ani. Terdapat 7 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Kaunuhu Qadiran; Kaunuhu Muridan; Kaunuhu ‘Aliman; Kaunuhu Hayyan; Kaunuhu Sami’an; Kaunuhu Bashiran; Kaunuhu Mutakalliman.
- D. Sifat Wajib Allah
Allah
memiliki 20 sifat wajib yang harus kita ketahui. Ke-20 sifat ini wajib adanya
bagi Allah. Berikut 20 sifat wajib bagi Allah:
- Wujud (Ada);
- Qidam (Tidak ada permulaan);
- Baqa’(Kekal);
- Mukhalafatuhu Lilhawadith (berbeda dengan makhlukNya);
- Qiyamuhu Binafsihi (Allah berdiri sendiri);
- Wahdaniyyah (Tunggal/Esa);
- Qudrat (Berkuasa);
- Iradah (Berkehendak);
- Ilmu (Mengetahui);
- Hayat (Hidup);
- Sama’ (Mendengar);
- Basar ( Melihat );
- Kalam (Berbicara / Berfirman);
- Kaunuhu Qadirun;
- Kaunuhu Muridun;
- Kaunuhu ‘Alimun;
- Kaunuhu Hayyun;
- Kaunuhu Sami’un;
- Kaunuhu Basirun;
- Kaunuhu Mutakallimun.
- E. Sifat Mustahil Allah
Setelah
kita mengetahui Allah itu memiliki 20 sifat wajib, maka berarti Allah juga
memiiki 20 sifat mustahil yang merupakan kebalikan dari 20 sifat wajib tersebut.
20 sifat mustahil bagi Allah antara lain :
- ‘Adam, artinya tiada (Bisa mati);
- Huduth, artinya baharu (Bisa di perbaharui);
- Fana’, artinya binasa (Tidak kekal/mati);
- Mumathalatuhu Lilhawadith, artinya menyerupai akan makhlukNya;
- Qiyamuhu Bighayrih, artinya berdiri dengan yang lain (Memiliki sekutu);
- Ta’addud, artinya berbilang–bilang (Lebih dari satu);
- ‘Ajz, artinya lemah (Tidak kuat);
- Karahah, artinya terpaksa (Bisa di paksa);
- Jahl, artinya jahil (Bodoh);
- Maut, artinya mati (Bisa mati);
- Syamam, artinya tuli;
- ‘Umy, artinya buta;
- Bukm, artinya bisu;
- Kaunuhu ‘Ajizan, artinya lemah (dalam keadaannya);
- Kaunuhu Karihan, artinya terpaksa (dalam keadaannya);
- Kaunuhu Jahilan, artinya jahil (dalam keadaannya);
- Kaunuhu Mayyitan, artinya mati (dalam keadaannya);
- Kaunuhu Asam, artinya tuli (dalam keadaannya);
- Kaunuhu A’ma, artinya buta (dalam keadaannya);
- Kaunuhu Abkam, artinya bisu (dalam keadaannya).
- F. Sifat Jaiz Allah
Sifat
Jaiz merupakan sifat yang merupakan kewenangan mutlak Allah. Tidak ada satu pun
pihak yang bisa mengintervensi dari apa yang dikehendaki oleh Allah. Jika Allah
ingin menciptakan A, maka jadilah A. Jika Allah tidak ingin menciptakan B, maka
B tidak akan terbentuk sama sekali. Sifat Jaiz ini benar-benar merupakan
wewenang mutlak dari Allah Azza wa Jalla.
Sifat
jaiz ini adalah Fi kulli mumkinin au tarkuhu. Artinya Allah berbuat
sesuatu tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang melarang. Dalam menciptakan
segalanya, mutlak merupakan kehendak Allah.
- G. Allah Tidak dipengaruhi Ruang dan Waktu
Sudah
penulis singgung di pembahasan sebelumnya, bahwa ada 2 golongan besar dalam
memahami teologi Islam. Satu golongan merupakan golongan rasionalisme Islam
(salah satu kelompoknya adalah Muktazilah, atau transformasi sekarang bisa juga
JIL), sementara satu golongan lainnya adalah golongan tekstualis (salah satunya
adalah golongan Salafi Wahabi).
Jika
pembaca searching di internet, pembaca akan menemukan banyak sumber yang
mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Tidak aneh memang, karena media
berbahasa Indonesia sudah dikuasai oleh orang-orang Salafi Wahabi. Kelompok ini
memang sangat gemar berdakwah, walau kadang kebablasan dan terkesan
menghalalkan segala cara.
Hal yang
biasa disuarakan oleh golongan Salafi Wahabi adalah bahwa Allah bersemayam di
atas Arsy. Salah satu dalil naqlinya adalah dalam surat al-A’raf ayat 54.
Disebutkan disana bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Golongan Salafi Wahabi
tidak mau ambil pusing untuk menafsirkan ayat ini. Mereka langsung menelannya
mentah-mentah.
Padahal
golongan Ahlussunnah wal Jamaah tidak menyetujui sikap seperti itu. Menurut
ulama Ahlussunnah wal Jamaah, ayat tersebut wajib di tafsirkan lebih jauh.
Mengapa? Karena ayat ini bersifat ambigu, memiliki makna yang kompleks. Ada
substansi makna yang ingin disampaikan oleh Allah melalui ayat ini. Dengan
hanya memahami ayat tersebut tanpa adanya kajian atau tafsir, maka justru akan
membuat hakikat Allah semakin tidak jelas.
Sudah
kita pelajari sebelumnya bahwa salah satu sifat Allah adalah Mukhalafatu lil
hawadits, berbeda dengan makhlukNya.
Kita ketahui
bersama bahwa dimensi ruang dan waktu merupakan kaidah yang hanya berlaku bagi
makhluk. Setiap makhluk Allah, entah itu yang nyata maupun yang ghaib, tentu
akan dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Pembaca yang sekarang sedang membaca
tulisan ini, pasti sedang berada di suatu tempat (dimensi ruang) dan pada saat
yang bersamaan, jam dinding terus berputar (dimensi waktu).
Tapi hal
ini berbeda dengan Allah. Menurut ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah, Allah
tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan dua dimensi
yang tidak bisa dipisahkan. Jika suatu benda dipengaruhi oleh ruang, maka
secara otomatis benda tersebut juga dipengaruhi oleh waktu.
Begitupun
dengan Allah. Andaikan Allah bersemayam di atas Arsy, itu artinya Allah
dipengaruhi oleh dimensi ruang. Jika hal itu terjadi, secara otomatis Allah juga
dipengaruhi oleh dimensi waktu. Jika Allah sudah dipengaruhi oleh waktu, maka
Allah memiliki awal dan memiliki akhir. Sementara hal itu mustahil bagi Allah.
Lagi
pula, kita mempercayai bahwa Arsy adalah sesuatu hal yang baru, sesuatu hal
yang diciptakan Allah. Andaikan Allah bersemayam di atas Arsy, lalu dimana
posisi Allah sebelum Arsy diciptakan? Hal ini jauh dari logika. Orang-orang
Salafi Wahabi memang hanya mengenal dalil naqli, dan menghilangkan fungsi akal.
Maka
ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah menafsirkan bahwa ayat yang mengatakan Allah
bersemayam di atas Arsy, merupakan visualisasi akan ketinggian dan ke-maha
kuasaan Allah. Allah merupakan khalik yang memiliki derajat yang jauh lebih
tinggi ketimbang makhlukNya. Maka dari itu, ayat ini wajib hukumnya di tafsir,
karena jika tidak, justru akan membuat dzat Allah semakin tidak jelas.
Tapi
penulis juga tidak menyangkal, ada beberapa ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang
mengakui bersemayamnya Allah di atas Arsy. Hanya saja ulama-ulama tersebut
tidak meyakini Allah akan bersemayam di atas Arsy selamanya. Di dalam ayat
tersebut juga diceritakan, setelah Allah menciptakan alam raya ini, kemudian
Dia bersemayam di atas Arsy. Itu artinya, kalaupun Allah bersemayam di atas
Arsy, Allah akan bersemayam selama Arsy itu ada. Sementara kita tahu Arsy
hanyalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Jadi pada intinya, Arsy bukanlah
sebuah sandaran yang hak bagi Allah, karena Allah diatas segala sesuatu. Bahkan
Arsy hanyalah bagian terkecil saja dari ciptaan Allah. Allah mampu menciptakan
hal yang jauh lebih hebat ketimbang Arsy.
- H. Allah Berbeda dengan MakhlukNya
Selain
ayat diatas, ayat lain yang juga menjadi salah satu kebodohan orang-orang
Salafi Wahabi adalah ayat 10 surat al-Fath. Disebutkan disana bahwa “Tangan
Allah di atas tangan mereka”. Lagi-lagi orang Salafi Wahabi tidak mau menafsirkan
ayat-ayat semacam ini. Alhasil mereka mempercayai bahwa Allah itu memiliki
tangan. Hal yang secara logika tidak masuk akal.
Maka
Ahlussunnah wal Jamaah langsung memberikan tafsir terhadap ayat-ayat semacam
ini. Tafsiran ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah biasanya membuat generalisasi
terhadap ayat tersebut agar membuat maknanya menjadi luas. Istilah “tangan”
merupakan kata yang maknaya sempit. Maka Ahlussunnah wal Jamaah menafsirkan
kata “tangan” dalam ayat tersebut dengan istilah “kekuasaan”.
Tafsiran
yang jauh lebih rinci adalah “Orang yang berjanji setia
biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah
meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud “tangan
Allah di atas mereka” ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan
Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas
tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha
Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.”
- I. Allah Maha Perkasa
Dengan
membatasi Allah hanya sebagai Tuhan yang bersemayam di atas Arsy (dipengaruhi oleh
dimensi ruang), juga membatasi Allah sebagai Tuhan yang memiliki tangan (sama
dengan makhlukNya), maka secara tidak langsung, golongan semacam ini meragukan
ke-maha kuasaan Allah.
Dalil
naqli memang penting, karena al-Qur’an adalah satu-satunya sumber yang paling
autentik dari Tuhan. Tapi kita juga harus paham bahwa Tuhan memiliki bahasa
komunikasi yang sangat indah, sehingga menggunakan kaidah-kaidah sastra.
Istilah bersemayam di atas Arsy, kemudian istilah tangan, merupakan bagian dari
komunikasi Allah untuk menggambarkan diriNya sebagai Tuhan Yang Maha Perkasa.
Wallahu A’lam.
=============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
1 komentar:
Terima kasih 🙏
Posting Komentar