Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Selasa, 10 Desember 2019

Memahami Allah Azza wa Jalla


Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwasanya alam yang begitu besar ini tentu ada yang menciptakan. Hal yang tidak logis jika alam ini hadir dengan sendirinya. Bagaimana mungkin bumi ini diciptakan dengan akurasi yang luar biasa, tidak terlalu dekat dengan matahari, juga tidak terlalu jauh dengan matahari. Jika bumi diciptakan lebih dekat dari yang sekarang dengan matahari, maka suhu bumi ini tidak akan mungkin bisa ditinggali manusia, karena saking panasnya. Pun demikian, jika bumi diciptakan lebih jauh dari yang sekarang, konsekuensinya adalah suhu bumi akan sangat dingin, dan tentu saja tidak bisa dihuni oleh manusia.

Keteraturan-keteraturan alam raya ini telah mengundang spekulasi universal di dalam diri manusia, bahwa alam raya ini tentulah ada yang menciptakan. Hampir semua manusia antar generasi menyadari adanya dzat yang maha kuasa yang menciptakan dirinya, juga menciptakan alam semesta. Maka kesepakatan itupun muncul, bahwa pencipta manusia dan alam semesta ini adalah Tuhan.


Hanya saja, perkembangan teori tentang Tuhan ini terus berbeda antara satu zaman dengan zaman yang lain. Setiap generasi bertransformasi terhadap penafsiran mereka terhadap Tuhan yang dimaksud.

Ada yang menafsirkan Tuhan sebagai kumpulan para dewa, yang setiap dewa merupakan penjelmaan Tuhan untuk mengatur sebuah spesifikasi tertentu. Ada dewa yang kerjaannya khusus untuk mengawasi lautan (dewa Poseidon jika di Yunani), menjadi pemimpin langit (dewa Zeus), dan juga penguasa alam neraka (dewa Hades). Orang-orang itu pun tidak puas hanya dengan memiliki sedikit dewa, maka mereka menciptakan tokoh-tokoh baru untuk menjadikan dewa dalam spesifikasi yang lebih rinci. Bahkan untuk mempercantik cerita, mereka menggabungkan teori manusia dengan dewa, hingga terdengarlah manusia setengah dewa seperti Herkules misalnya.

Dibelahan dunia yang lain, ada juga yang memvisualisasikan Tuhan terhadap realitas benda yang ada disekelilingnya. Ada yang memvisualisasikan Tuhan dengan api, dengan matahari, dengan patung, bahkan dengan roti yang kemudian ia makan sendiri.

Diwilayah yang lain, ada juga yang tidak mau membicarakan mengenai hakikat Tuhan. Mereka mempercayai adanya dzat yang menciptakan alam raya ini, tapi mereka tidak mau ambil pusing untuk mengkaji hakikat Tuhan. Orang-orang seperti ini yang kita sebut sebagai penganut ajaran Agnostik. Banyak dari kita yang tidak bisa membedakan antara Agnostik dengan Ateisme. Padahal keduanya berbeda jauh sekali. Dan penganut Ateisme di dunia ini sejatinya sangat sedikit sekali jumlahnya.

Semakin kesini, dunia semakin maju dan modern. Ideologi materialisme menyebar hingga ke akar-akar dan sendi-sendi kehidupan manusia. Implikasinya hidup manusia cenderung hedonis. Semua mendewa-dewakan kekayaan dan kesenangan hidup. Hingga tak heran, di zaman ini banyak yang mendewakan uang, mendewakan kekayaan, mendewakan kecantikan, dan yang lainnya.

Agak sulit memang bagi kita untuk memahami hakikat Tuhan yang sebenarnya, karena memang Tuhan tidak dapat dilihat oleh kita. Tuhan tidak bisa dideteksi oleh teknologi yang kita ciptakan. Hanya saja, Tuhan tentu akan mengutus beberapa orang untuk menyampaikan kehadiran diriNya.

Dan melalui nabi dan rasul lah kita memahami hakikat Tuhan yang sebenarnya. Setiap nabi dan rasul dari zaman Adam hingga Muhammad sejatinya menceritakan Tuhan yang sama, menceritakan keberadaan Tuhan yang sama, hanya mungkin namanya berbeda, disesuaikan dengan lidah orang dizamannya.

Hingga tibalah orang yang lahir di gurun pasir, yang tidak bisa membaca ini, bernama Muhammad, menyampaikan kepada kita bahwa Tuhan itu hanya ada satu. Hal yang sangat kontroversial, karena pada saat itu Tuhan digambarkan seperti dewa yang dibuat dengan berhala-berhala yang begitu banyak.

Banyak yang menolak pemikiran Muhammad ini, hanya saja, semakin mereka menolak fakta ini, mereka semakin ragu dengan pendapat mereka sendiri. Justru tidak logis jika Tuhan itu berjumlah banyak. Hal yang tidak masuk akal, karena jika Tuhan berjumlah lebih dari satu, tentu akan terjadi perselisihan diantara mereka sendiri.

Maka hal yang sudah tidak bisa diragukan lagi, bahwa Tuhan itu satu. Hanya satu.


  • A.    Allah sebagai Tuhan yang Hak

Kita tidak perlu memperdebatkan nama Allah. Jangan terkecoh dengan nama Allah dalam bahasa Ibrani maupun Arab. Kita tidak perlu lagi membahas hal semacam itu. Yang jelas, bahasa universal kita saat ini untuk menggambarkan Tuhan adalah nama Allah, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad.

Sebelumnya kita sudah membahas bahwa Islam ini adalah agama yang paling hak. Oleh karena itu, sumber yang bisa kita rujuk adalah al-Qur’an sebagai firman Tuhan.

Allah menjelaskan kepada kita melalui firmanNya, bahwa Allah itu satu. Allah tidak beranak dan tidak pula diper-anak-kan. Allah juga menjelaskan bahwa tidak ada satu-pun yang setara denganNya. Itu artinya, tidak ada satu pun makhluk yang menyamaiNya, dalam segala apapun. Dalam kekuasaan, tidak ada satu pun makhluk yang bisa menandingi kekuasaan Allah. Dalam masalah ilmu, tidak ada yang jauh lebih berilmu ketimbang Allah. Allah adalah segalanya. Tidak ada yang benar-benar bisa menandingi ke-Maha Kuasaan Allah.


  • B.     Asmaul Husna

Allah memiliki nama-nama lain yang sangat indah. Setiap nama mewakili dari setiap sifat Allah yang Maha Sempurna. Bahkan dalam beberapa riwayat, nama-nama Allah ini memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.

Setidaknya ada 99 nama Allah yang kita kenal. Pembaca bisa mencari 99 nama ini dalam referensi yang lain. Tapi intinya, ajaran Ahlussunnah wal Jamaah mengakui kebenaran dari 99 nama Allah yang indah ini.


  • C.    Sifat-Sifat Allah

Akidah Ahlussunnah wal Jamaah mempercayai bahwa ada sifat yang wajib adanya untuk Allah, sifat yang mustahil bagiNya, juga sifat yang jaiz. Setidaknya ada 20 sifat wajib bagi Allah yang wajib kita ketahui. Kedua puluh sifat tersebut terbagi kedalam 4 bagian, yaitu:


  • 1.      Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang menerangkan tentang adanya Allah. Terdapat 1 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Wujud.
  • 2.      Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang menolak atau sifat-sifat yang menerangkan sesuatu hal yang tidak layak ada dalam dzat Allah. Terdapat 5 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Qidam; Baqa; Mukhalafatu lil Hawadits; Qiyamuhu bi Nafsihi; Wahdaniyat.
  • 3.      Sifat Ma’ani, yaitu sifat yang merupakan bentuk dari ke-Maha Kuasaan Allah. Terdapat 7 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Qudrat; Iradat; Ilmu; Hayat; Sama’; Bashar; Kalam.
  • 4.      Sifat Ma’nawiyah, yaitu sifat-sifat yang menjadi perwujudan dari adanya sifat Ma’ani. Dengan kata lain, sifat Ma’nawiyah merupakan penjelas dari sifat Ma’ani. Terdapat 7 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Kaunuhu Qadiran; Kaunuhu Muridan; Kaunuhu ‘Aliman; Kaunuhu Hayyan; Kaunuhu Sami’an; Kaunuhu Bashiran; Kaunuhu Mutakalliman.

  • D.    Sifat Wajib Allah

Allah memiliki 20 sifat wajib yang harus kita ketahui. Ke-20 sifat ini wajib adanya bagi Allah. Berikut 20 sifat wajib bagi Allah:
  1. Wujud (Ada);
  2. Qidam (Tidak ada permulaan);
  3. Baqa’(Kekal);
  4. Mukhalafatuhu Lilhawadith (berbeda dengan makhlukNya);
  5. Qiyamuhu Binafsihi (Allah berdiri sendiri);
  6. Wahdaniyyah (Tunggal/Esa);
  7. Qudrat (Berkuasa);
  8. Iradah (Berkehendak);
  9. Ilmu (Mengetahui);
  10. Hayat (Hidup);
  11. Sama’ (Mendengar);
  12. Basar ( Melihat );
  13. Kalam (Berbicara / Berfirman);
  14. Kaunuhu Qadirun;
  15. Kaunuhu Muridun;
  16. Kaunuhu ‘Alimun;
  17. Kaunuhu Hayyun;
  18. Kaunuhu Sami’un;
  19. Kaunuhu Basirun;
  20. Kaunuhu Mutakallimun.

  • E.     Sifat Mustahil Allah

Setelah kita mengetahui Allah itu memiliki 20 sifat wajib, maka berarti Allah juga memiiki 20 sifat mustahil yang merupakan kebalikan dari 20 sifat wajib tersebut. 20 sifat mustahil bagi Allah antara lain :
  1. ‘Adam, artinya tiada (Bisa mati);
  2. Huduth, artinya baharu (Bisa di perbaharui);
  3. Fana’, artinya binasa (Tidak kekal/mati);
  4. Mumathalatuhu Lilhawadith, artinya menyerupai akan makhlukNya;
  5. Qiyamuhu Bighayrih, artinya berdiri dengan yang lain (Memiliki sekutu);
  6. Ta’addud, artinya berbilang–bilang (Lebih dari satu);
  7. ‘Ajz, artinya lemah (Tidak kuat);
  8. Karahah, artinya terpaksa (Bisa di paksa);
  9. Jahl, artinya jahil (Bodoh);
  10. Maut, artinya mati (Bisa mati);
  11. Syamam, artinya tuli;
  12. ‘Umy, artinya buta;
  13. Bukm, artinya bisu;
  14. Kaunuhu ‘Ajizan, artinya lemah (dalam keadaannya);
  15. Kaunuhu Karihan, artinya terpaksa (dalam keadaannya);
  16. Kaunuhu Jahilan, artinya jahil (dalam keadaannya);
  17. Kaunuhu Mayyitan, artinya mati (dalam keadaannya);
  18. Kaunuhu Asam, artinya tuli (dalam keadaannya);
  19. Kaunuhu A’ma, artinya buta (dalam keadaannya);
  20. Kaunuhu Abkam, artinya bisu (dalam keadaannya).

  • F.     Sifat Jaiz Allah

Sifat Jaiz merupakan sifat yang merupakan kewenangan mutlak Allah. Tidak ada satu pun pihak yang bisa mengintervensi dari apa yang dikehendaki oleh Allah. Jika Allah ingin menciptakan A, maka jadilah A. Jika Allah tidak ingin menciptakan B, maka B tidak akan terbentuk sama sekali. Sifat Jaiz ini benar-benar merupakan wewenang mutlak dari Allah Azza wa Jalla.

Sifat jaiz ini adalah Fi kulli mumkinin au tarkuhu. Artinya Allah berbuat sesuatu tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang melarang. Dalam menciptakan segalanya, mutlak merupakan kehendak Allah.


  • G.    Allah Tidak dipengaruhi Ruang dan Waktu

Sudah penulis singgung di pembahasan sebelumnya, bahwa ada 2 golongan besar dalam memahami teologi Islam. Satu golongan merupakan golongan rasionalisme Islam (salah satu kelompoknya adalah Muktazilah, atau transformasi sekarang bisa juga JIL), sementara satu golongan lainnya adalah golongan tekstualis (salah satunya adalah golongan Salafi Wahabi).

Jika pembaca searching di internet, pembaca akan menemukan banyak sumber yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Tidak aneh memang, karena media berbahasa Indonesia sudah dikuasai oleh orang-orang Salafi Wahabi. Kelompok ini memang sangat gemar berdakwah, walau kadang kebablasan dan terkesan menghalalkan segala cara.

Hal yang biasa disuarakan oleh golongan Salafi Wahabi adalah bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Salah satu dalil naqlinya adalah dalam surat al-A’raf ayat 54. Disebutkan disana bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Golongan Salafi Wahabi tidak mau ambil pusing untuk menafsirkan ayat ini. Mereka langsung menelannya mentah-mentah.

Padahal golongan Ahlussunnah wal Jamaah tidak menyetujui sikap seperti itu. Menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah, ayat tersebut wajib di tafsirkan lebih jauh. Mengapa? Karena ayat ini bersifat ambigu, memiliki makna yang kompleks. Ada substansi makna yang ingin disampaikan oleh Allah melalui ayat ini. Dengan hanya memahami ayat tersebut tanpa adanya kajian atau tafsir, maka justru akan membuat hakikat Allah semakin tidak jelas.

Sudah kita pelajari sebelumnya bahwa salah satu sifat Allah adalah Mukhalafatu lil hawadits, berbeda dengan makhlukNya.

Kita ketahui bersama bahwa dimensi ruang dan waktu merupakan kaidah yang hanya berlaku bagi makhluk. Setiap makhluk Allah, entah itu yang nyata maupun yang ghaib, tentu akan dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Pembaca yang sekarang sedang membaca tulisan ini, pasti sedang berada di suatu tempat (dimensi ruang) dan pada saat yang bersamaan, jam dinding terus berputar (dimensi waktu).

Tapi hal ini berbeda dengan Allah. Menurut ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah, Allah tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan dua dimensi yang tidak bisa dipisahkan. Jika suatu benda dipengaruhi oleh ruang, maka secara otomatis benda tersebut juga dipengaruhi oleh waktu.

Begitupun dengan Allah. Andaikan Allah bersemayam di atas Arsy, itu artinya Allah dipengaruhi oleh dimensi ruang. Jika hal itu terjadi, secara otomatis Allah juga dipengaruhi oleh dimensi waktu. Jika Allah sudah dipengaruhi oleh waktu, maka Allah memiliki awal dan memiliki akhir. Sementara hal itu mustahil bagi Allah.

Lagi pula, kita mempercayai bahwa Arsy adalah sesuatu hal yang baru, sesuatu hal yang diciptakan Allah. Andaikan Allah bersemayam di atas Arsy, lalu dimana posisi Allah sebelum Arsy diciptakan? Hal ini jauh dari logika. Orang-orang Salafi Wahabi memang hanya mengenal dalil naqli, dan menghilangkan fungsi akal.

Maka ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah menafsirkan bahwa ayat yang mengatakan Allah bersemayam di atas Arsy, merupakan visualisasi akan ketinggian dan ke-maha kuasaan Allah. Allah merupakan khalik yang memiliki derajat yang jauh lebih tinggi ketimbang makhlukNya. Maka dari itu, ayat ini wajib hukumnya di tafsir, karena jika tidak, justru akan membuat dzat Allah semakin tidak jelas.

Tapi penulis juga tidak menyangkal, ada beberapa ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang mengakui bersemayamnya Allah di atas Arsy. Hanya saja ulama-ulama tersebut tidak meyakini Allah akan bersemayam di atas Arsy selamanya. Di dalam ayat tersebut juga diceritakan, setelah Allah menciptakan alam raya ini, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Itu artinya, kalaupun Allah bersemayam di atas Arsy, Allah akan bersemayam selama Arsy itu ada. Sementara kita tahu Arsy hanyalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Jadi pada intinya, Arsy bukanlah sebuah sandaran yang hak bagi Allah, karena Allah diatas segala sesuatu. Bahkan Arsy hanyalah bagian terkecil saja dari ciptaan Allah. Allah mampu menciptakan hal yang jauh lebih hebat ketimbang Arsy.


  • H.    Allah Berbeda dengan MakhlukNya

Selain ayat diatas, ayat lain yang juga menjadi salah satu kebodohan orang-orang Salafi Wahabi adalah ayat 10 surat al-Fath. Disebutkan disana bahwa “Tangan Allah di atas tangan mereka”. Lagi-lagi orang Salafi Wahabi tidak mau menafsirkan ayat-ayat semacam ini. Alhasil mereka mempercayai bahwa Allah itu memiliki tangan. Hal yang secara logika tidak masuk akal.

Maka Ahlussunnah wal Jamaah langsung memberikan tafsir terhadap ayat-ayat semacam ini. Tafsiran ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah biasanya membuat generalisasi terhadap ayat tersebut agar membuat maknanya menjadi luas. Istilah “tangan” merupakan kata yang maknaya sempit. Maka Ahlussunnah wal Jamaah menafsirkan kata “tangan” dalam ayat tersebut dengan istilah “kekuasaan”.
Tafsiran yang jauh lebih rinci adalah “Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud “tangan Allah di atas mereka” ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.”


  • I.       Allah Maha Perkasa

Dengan membatasi Allah hanya sebagai Tuhan yang bersemayam di atas Arsy (dipengaruhi oleh dimensi ruang), juga membatasi Allah sebagai Tuhan yang memiliki tangan (sama dengan makhlukNya), maka secara tidak langsung, golongan semacam ini meragukan ke-maha kuasaan Allah.

Dalil naqli memang penting, karena al-Qur’an adalah satu-satunya sumber yang paling autentik dari Tuhan. Tapi kita juga harus paham bahwa Tuhan memiliki bahasa komunikasi yang sangat indah, sehingga menggunakan kaidah-kaidah sastra. Istilah bersemayam di atas Arsy, kemudian istilah tangan, merupakan bagian dari komunikasi Allah untuk menggambarkan diriNya sebagai Tuhan Yang Maha Perkasa. Wallahu A’lam.




=============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih 🙏