Islam yang disebarkan dan berkembang di Indonesia dari zaman dahulu
adalah Islam bercorak Sunni, bukan corak yang lain. Pendekatan yang dilakukan
oleh para pedagang dan da’i dari Timur Tengah dan Asia Selatan yang datang ke
Indonesia adalah pendekatan sufistik. Tidak heran, Nusantara bisa di Islamkan
hingga hampir 90% tanpa peperangan. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan
banyaknya ajaran Islam di Indonesia yang ternyata tidak memiliki dalil dalam
kajian Fikih, karena ternyata ajaran-ajaran tersebut merupakan amaliyah
yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Sementara dalam masalah fikih, umat Islam
di Indonesia cenderung taklid atau ittiba’ terhadap madzhab
Syafi’i. Lalu bagaimana dengan akidah?
Sebelum melangkah kesana, kita pahami bersama bahwa Islam mengalami
perpecahan yang sangat radikal di akhir pemerintahan khalifah Ali. Perpecahan
Islam ini merupakan suatu sunnatullah yang tidak bisa kita hindari.
Rasulullah banyak menyebutkan bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan,
dan hanya satu yang akan selamat. Pertanyaan pertama muncul, siapakah golongan
yang selamat itu?
Banyak ulama yang menyandarkan pendapatnya terhadap hadits berikut untuk
menjawab pertanyaan diatas, yang berbunyi:
فمن اراد منكم بحبحة الجنة فليلزم الجماعة
Maka barang siapa diantara kamu menghendaki surga, hendaklah ia
berkomitmen bersama al-Jamaah.
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Istilah al-Jamaah dalam hadits tersebut diterjemahkan oleh
para ulama menjadi beberapa kategori, yaitu:
- 1. Generasi sahabat nabi;
- 2. Para ahli ilmu, baik ilmu fikih, hadits, maupun tafsir;
- 3. As-Sawadul A’zham (mayoritas umat Islam).
Penulis kira, penafsiran istilah al-Jamaah pada poin satu
dan dua dapat diterima oleh seluruh golongan dalam Islam. Maka dari itu,
penulis lebih tertarik untuk meneliti poin yang ketiga, yaitu siapa golongan
mayoritas umat Islam?
Melihat kenyataan yang ada, dari sejak zaman Tabi’in hingga
sekarang, kelompok mayoritas umat Islam
merupakan golongan Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni) yang persentasenya
sekitar 80-90%. Namun permasalahan baru tiba-tiba muncul, ada dua klaim yang
menyatakan dirinya paling Ahlussunnah, yaitu madzhab Asya’ari-Maturidi
dan madzhab Ibnu Taimiyah. Keduanya memiliki paham akidah yang berbeda kontras
sekali. Keduanya juga memiliki konsep yang berbeda dalam memahami Allah. Madzhab
Asy’ari memperkenalkan sifat wajib 20 bagi Allah, sementara Ibnu Taimiyah
membagi tauhid menjadi 3, yaitu Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma
was Sifat. Implikasi dari keduanya sangat keras sekali, madzhab Asy’ari
dengan teologinya menyimpulkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat, sementara
Ibnu Taimiyah menetapkan Allah bersemayam di atas ‘Arsy sesuai dengan firmanNya
dalam surat al-A’raf ayat 54.
Jika kita kaji dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, dapat
kita lihat dengan jelas bahwasanya corak Islam yang disebarkan oleh para ulama
kita dahulu merupakan Islam Ahlussunnah wal Jamaah bercorak Asy’ariyah.
Hal ini dapat dibuktikan dengan konsep sifat wajib 20 bagi Allah yang diajarkan
hampir diseluruh wilayah di Indonesia. Fakta ini juga diperkuat dengan
pernyataan Dr. Tsuroya Kiswati, tokoh perempuan Muhammadiyah dalam bukunya Al-Juwaini
Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam yang mengatakan bahwa corak Ahlussunnah
di Indonesia adalah Asy’ariyah.
Paham madzhab Asya’ri ini juga menjadi mayoritas umat Islam di
dunia. Hampir seluruh negara mengenal konsep sifat wajib 20 bagi Allah.
Artinya, Asya’iroh memang menjadi mayoritas umat Islam sesuai dengan
hadits nabi. Bahkan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni az-Zabidi mengatakan
bahwa:
إِذَا
أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ الأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِدِيَّةُ
Apabila disebut golongan Ahlussunnah wal Jamaah, maka maksudnya
ialah orang-orang yang mengikuti rumusan paham Asy’ari dan paham Maturidi.
===============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar