Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Selasa, 10 Desember 2019

Fenomena Unik Nahdlatul Ulama



Banyak orang hanya memandang Nahdlatul Ulama sebagai organisasi biasa, sama seperti yang lainnya. Tidak berbeda dengan Muhammadiyah, Persis, FPI, FUI, dan organisasi-organisasi Islam yang lainnya. Alasan mereka sederhana, karena Nahdlatul Ulama memiliki karakteristik keorganisasian yang sempurna. Dengan memiliki struktur organisasi yang lengkap, memiliki Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan keanggotaan resmi, jelas Nahdlatul Ulama hanyalah sebatas organisasi Islam biasa, tidak ada yang spesial.

Tidak salah memang pemikiran mereka, tapi menurut penulis, terlalu terburu-buru jika melihat fenomena Nahdlatul Ulama hanya sebatas organisasi Islam biasa. Ada fenomena unik dalam organisasi Islam di Indonesia yang tidak bisa disimpulkan hanya sekejap mata saja, harus ada kajian khusus. Entah itu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, maupun Hizbut Tahrir Indonesia, semuanya memiliki kehidupan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.


Untuk memperjelas ini, penulis akan membahasnya melalui sudut pandang sejarah. Sudah kita ketahui bersama, bahwa Indonesia pra-Islam menganut agama Hindu dan Buddha, bahkan di beberapa daerah pedalaman, masih meyakini agama lokal, seperti di daerah Sunda dikenal dengan agama Sunda Wiwitan dan di daerah Jawa terdapat agama Kejawen. Hal termudah untuk membuktikan pernyataan ini adalah dengan melihat corak kerajaan-kerajaan di masa silam. Khusus di pulau Jawa kita bisa melihatnya dari sejak mulai kerajaan Tarumanegara hingga Majapahit.

Kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara membuat banyak bangsa datang untuk berdagang dan menjalin kerja sama. Ada bangsa India, Tiongkok, bahkan Arab. Dari bangsa Arab dan India lah, masyarakat Indonesia mengenal agama Islam. Bukan hanya pedagang, strategi dan pola misi Islam juga disebarkan oleh orang-orang yang benar-benar ikhlas mengabdi kepada Tuhan, tidak jauh berbeda dengan realitas misionaris di dunia Kristen. Salah satu diantaranya yang kemudian kita kenal sebagai Wali Songo.

Wali Songo adalah orang-orang yang cerdas. Bukan hanya cerdas dalam masalah agama, tapi juga cerdas dalam membaca realitas di masyarakat. Wali Songo mampu menyampaikan ajaran Islam dengan pendekatan sosiologis. Ini yang membuat masa-masa Wali Songo merupakan masa-masa penyebaran Islam yang sangat pesat di Indonesia, khususnya di daratan Jawa.

Dengan peran Wali Songo, ajaran agama dijadikan sebagai penyempurna kehidupan di masyarakat. Wali Songo tidak menghapus seluruh budaya di Indonesia, tapi membuatnya menjadi penyempurnaan yang Islami. Ini mungkin alasan masyarakat Indonesia sangat tertarik dengan penyampaian Wali Songo. Dengan Islam yang berbudaya, Islam Indonesia lahir dengan gaya yang baru, gaya yang benar-benar berbeda dari daerah asalnya, Arab. Islam pun akhirnya masuk ke wilayah-wilayah kerajaan, dan membuat banyak kerajaan yang tadinya Hindu-Buddha menjadi bercorak Islam, dengan ditandai munculnya Samudera Pasai di Aceh.

Hingga tibalah masanya Barat menguasai dunia. Dengan adanya masa Renaissance di Eropa Barat setelah hancurnya peradaban Islam oleh Mongol, masa Imperialisme pun dimulai. Bangsa-bangsa Eropa, khususnya Eropa Barat, dengan gencar melakukan invasi ke berbagai wilayah di dunia. Hampir seluruh bangsa ditaklukkan. Bangsa Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Portugal, menjadi kapten dari penjajahan Barat terhadap bangsa Timur. Dan akhirnya, Belanda mampu menduduki Indonesia secara politik.

Pengaruh Barat sangat mengganggu keharmonisan masyarakat Islam di seluruh penjuru dunia. Sistem pemikiran Barat yang ditandai dengan rasionalisme dan empirisme, membuat ajaran-ajaran Islam tergeser dan hampir terdegradasi. Melihat dunia Islam terbelakang dan miskin akan ilmu pengetahuan, orang-orang Mesir menyerukan untuk kembali kepada ajaran Al-Quran dan As-Sunnah. Orang Mesir berpendapat, kemunduran Islam disebabkan karena banyak penganutnya terlalu fanatik dengan ajaran madzhab. Mereka menyerukan untuk kembali berpegang teguh terhadap Al-Quran sebagai kalam Ilahi.

Pemikiran ini, disatu sisi mengembalikan kemurnian Islam, tapi disisi yang lain, menghancurkan kehidupan bermadzhab di dunia Islam yang sebelumnya tentram.  Dengan menghalalkan segala cara, kelompok yang kemudian kita kenal dengan sebutan Salafi Wahabi ini melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah, dan dengan perjuangan yang hebat, mereka menguasai daratan Hijaz. Dengan pendudukan inilah, secara resmi kerajaan Saudi terbentuk.

Pemikiran ala Salafi Wahabi menyebar dengan sangat cepat dengan metode-metode Barat. Mengganggu dan menghancurkan keharmonisan umat Islam. Pemikiran ini masuk ke Indonesia dengan ditandai oleh munculnya organisasi Islam pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam. Walau kemudian Sarekat Islam ini hanya fokus di bidang politik, tapi pemikiran pembaharu mereka tidak dapat dilepaskan. Setelah Sarekat Islam, gerakan pembaharu lain juga muncul, yaitu organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta dan Persis di Bandung.

Pendekatan yang dilakukan oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Persis, benar-benar tidak menggunakan pendekatan sosiologis seperti yang dilakukan oleh Wali Songo. Ketiganya sering melakukan kegiatan takfiri terhadap kelompok kiai kampung yang dianggapnya tidak berilmu. Hal ini yang mengakibatkan masyarakat Indonesia secara umum tidak terlalu menyukai ketiganya. Dakwah Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Persis mengalami benturan yang hebat dengan budaya lokal. Rakyat Indonesia tidak terima dengan perlakuan mereka terhadap kiai-kiai mereka. Dengan prakarsa Hasyim Asyari, berdirilah Nahdlatul Ulama.

Sebelum Nahdlatul Ulama berdiri, ada kejadian penting yang juga menjadi latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama. Setelah keluarga As-Saud menjadi pemilik tahta kerajaan sah di Hijaz, banyak aturan yang mereka keluarkan. Aturan bermadzhab secara tegas dilarang. Sontak saja, umat Islam di seluruh penjuru dunia berontak. Tak terkecuali Muslim Nusantara. Mereka mengirim tim khusus untuk bertemu dengan raja Saudi. Tim ini yang kita kenal dengan sebutan Komite Hijaz. Orang-orang di tim inilah yang bisa kita katakan sebagai para pelopor Nahdlatul Ulama.

Secara fakta, Nahdlatul Ulama memang lahir pada tahun 1926, tapi secara prinsip, pemikiran Nahdlatul Ulama telah ada sejak Wali Songo menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Hal ini juga serupa dengan Islam. Secara sejarah, Islam lahir dari mulut Nabi Muhammad—dengan ridha Allah swt., tapi secara hakikat, ajaran Islam telah ada bahkan dari Nabi Adam diutus ke muka bumi.

Maka terlihat jelas disini, Nahdlatul Ulama sangat berbeda dengan organisasi pendahulunya. Nahdlatul Ulama lahir dengan persatuan masyarakat dengan ditandai oleh bersatunya para ulama di tanah Jawa. Berbeda dengan organisasi sebelumnya yang lahir dengan asas ideologi yang jelas, Nahdlatul Ulama berdiri dengan agak carut marut. Maklum saja, didirikan oleh orang kampung yang tidak memiliki pendidikan Barat, bahkan untuk mendirikan organisasi saja, banyak ulama melakukan shalat istikharah. Suatu ritual yang mungkin menurut kaum pembaharu sangat tidak perlu dilakukan.

Nahdlatul Ulama hadir menjadi wadah bagi para kiai dan ulama untuk kembali menyuarakan pemikiran-pemikiran Wali Songo. Dengan berpedoman kepada Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam bidang teologi, bermadzhab kepada salah satu dari 4 madzhab fikih, yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali, serta berkiblat kepada Al-Ghazali dan Al-Junaedi dalam bidang Tasawwuf, Nahdlatul Ulama dicintai oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Gayanya yang tradisional, membuat Nahdlatul Ulama diterima dengan sangat cepat.

Kekalahan blok Jerman atas dominasi blok Sekutu,  membuat Jepang harus angkat kaki dari Nusantara. Melihat kondisi yang menguntungkan, Bung Karno dan Bung Hatta secara tegas memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Tapi masalah muncul dikemudian hari. Pihak Sekutu mendatangi seluruh wilayah bekas pendudukan Jerman dan Jepang. Dengan dikomandoi Belanda, Indonesia pun kembali diincar oleh singa yang lapar. Melihat situasi yang akan terjadi, pada 22 Oktober, Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad untuk seluruh umat Muslim di Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Dan memang terbukti, pada 10 November, tentara Sekutu datang untuk kembali menjajah Indonesia. Dengan semangat jihad, Indonesia dapat memukul mundur Belanda dan sekutunya. Nahdlatul Ulama pun menutup pesta kemerdekaan dengan sangat gemilang.

Merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, justru membuat Nahdlatul Ulama masuk di era yang baru. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi negara, banyak kalangan Islam yang tidak setuju, termasuk Nahdlatul Ulama. Tapi dengan kehebatan Bung Hatta yang sangat cemerlang, beliau dapat memberikan penjelasan kepada golongan Islam. Seluruh golongan Islam pun setuju Pancasila dijadikan sebagai ideologi negara, karena mengingat akan diselenggarakan pemilu dalam beberapa tahun berikutnya.

Dengan kesadaran akan persatuan Islam, seluruh organisasi Islam, entah itu Nahdlatul Ulama, Muhammdiyah maupun Sarekat Islam, bersatu di bawah satu bendera, yaitu Masyumi. Dengan memenangkan pemilu, golongan Islam berharap akan ditegakkan Syariat Islam di Nusantara. Tapi kembali ke-egoisan kaum pembaharu muncul. Menganggap kaum Nahdlatul Ulama sebagai golongan yang kolot, akhirnya mereka mengabaikan suara Nahdlatul Ulama sebagai golongan mayoritas. Terbukti, seluruh jajaran dewan pengurus Masyumi tidak ada satu pun yang diambil dari Nahdlatul Ulama. Mereka hanya menjadikan Hasyim Asyari sebagai ketua dewan penasihat.

Melihat dirinya diperlakukan tidak adil, Nahdlatul Ulama menyatakan hengkang dari Masyumi dan membuat partai baru, yaitu partai Nahdlatul Ulama. Ini hebatnya Nahdlatul Ulama. Dipercaya atau tidak, dalam 3 tahun saja dari sejak menyatakan keluar dari Masyumi, Nahdlatul Ulama memperoleh suara yang hampir sama dengan Masyumi, hanya beda 2,5 persen saja. Melihat seterunya berhasil dengan gemilang, golongan-golongan pembaharu di Masyumi terjadi perdebatan hebat, hingga akhirnya Masyumi pun hancur lebur di telan sejarah.

Gemilangnya Nahdlatul Ulama di pentas politik juga memunculkan ide baru. Ideologi Pancasila yang sebelumnya ditentang, akhirnya diterima sebagai asas negara. Perlu diperhatikan disini, sesuai dengan muktamar di Situbondo, Pancasila hanya diakui sebagai asas negara, bukan asas agama. Walau bagaimanapun, Pancasila sama sekali tidak bisa menggantikan kedudukan agama.

Tapi ternyata keterlibatan Nahdlatul Ulama dikancah politik Nasional tidak berlangsung lama. Karena melihat situasi politik yang sudah pulih, terutama melihat golongan pembaharu tidak berkutik melawan golongan Tradisional dan golongan Nasionalis Sekuler, akhirnya pada tahun 1983 dilakukan Munas dan menyatakan diri kembali ke khittah 1926 sebagai Jam’iyah Diniyah. Itu artinya, Nahdlatul Ulama tidak lagi berpolitik praktis. Nahdlatul Ulama akhirnya meleburkan diri menjadi PPP. Di kemudian hari, warga Nahdlatul Ulama yang tidak bisa terlepas dari dunia politik, kembali membuat partai baru beratas nama Nahdlatul Ulama, yaitu PKB. Dengan ditandai Abdurrahman Wahid sebagai presiden Indonesia, membuat Nahdlatul Ulama tidak bisa lagi diragukan sebagai golongan mayoritas di negeri ini.

Dari setiap langkah yang dilakukan Nahdlatul Ulama, lihat bagaimana organisasi ini masuk di berbagai era, masuk di berbagai latar belakang, masuk ke berbagai dunia, tapi organisasi ini tetap kokoh, bahkan memiliki pendukung yang begitu besar. Pendukung organisasi ini bukan hanya dari golongan Muslim, tapi juga dari non-Muslim. Para pendeta Kristen, agamawan Hindu, Buddha, lebih mendukung orang-orang Nahdlatul Ulama sebagai partner sosial ketimbang organisasi pembaharu.

Nahdlatul Ulama memiliki tugas untuk memperkuat ajaran Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia, dipadukan dengan ajaran Wali Songo yang cinta budaya, dan merangkul seluruh kalangan untuk mempertahankan keutuhan negara, membuat Nahdlatul Ulama bukan hanya sebagai organisasi biasa. Terbukti, banyak orang yang secara formal tidak terdaftar di kepengurusan Nahdlatul Ulama, tapi mereka mengakui dirinya warga Nahdlatul Ulama. Mereka adalah para pendukung yang siap membela Nahdlatul Ulama dalam keadaan apapun.

Perlu dipahami lebih jauh, hanya Nahdlatul Ulama (organisasi besar) yang menyerukan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia. Dengan kenyataan ini, banyak orang mengidentikkan Nahdlatul Ulama sebagai miniatur dari Ahlussunnah wal Jamaah. Makanya, ketika ada orang yang ingin mendalami ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, mereka akan mendatangi Nahdlatul Ulama. Banyak orang malah menyatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah merupakan Nahdlatul Ulama itu sendiri atau Nahdlatul Ulama adalah Ahlussunnah wal Jamaah itu sendiri. Kenyataan inilah yang membuat Nahdlatul Ulama sangat unik. Di satu sisi, Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi, tapi di sisi yang lain dianggap merupakan sebuah aliran yang menjadi kepanjangan tangan dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Wallahu a’lam.

Referensi Buku dan Artikel :
NU dan Pancasila (Einar Martahan), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Harun Nasution), Gerakan Modern (Noer), Dinamika Kaum Santri (Yusuf), Pertumbuhan dan Perkembangan (Anam), Al-Maghfurlah (Bisri Syansuri), Tradisi Pesantren (Dhofier), Kebangkitan Ulama (Machfoeds), Muslim di Tengah Pergumulan (Abdurrahman Wahid), Islam Militan (G.H. Jansen), Partai Islam (Noer), Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (Karya Santri NU), Ensiklopedia Muhammadiyah (Karya Pengurus Muhammadiyah).

Referensi Database Nahdlatul Ulama :
Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo, Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1983, Keputusan Muktamar 27 Nahdlatul Ulama, Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama.




==============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.

Tidak ada komentar: