Banyak orang hanya memandang Nahdlatul Ulama sebagai organisasi
biasa, sama seperti yang lainnya. Tidak berbeda dengan Muhammadiyah, Persis,
FPI, FUI, dan organisasi-organisasi Islam yang lainnya. Alasan mereka
sederhana, karena Nahdlatul Ulama memiliki karakteristik keorganisasian yang
sempurna. Dengan memiliki struktur organisasi yang lengkap, memiliki Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan keanggotaan resmi, jelas Nahdlatul Ulama
hanyalah sebatas organisasi Islam biasa, tidak ada yang spesial.
Tidak salah memang pemikiran mereka, tapi menurut penulis, terlalu
terburu-buru jika melihat fenomena Nahdlatul Ulama hanya sebatas organisasi
Islam biasa. Ada fenomena unik dalam organisasi Islam di Indonesia yang tidak
bisa disimpulkan hanya sekejap mata saja, harus ada kajian khusus. Entah itu
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, maupun Hizbut Tahrir Indonesia, semuanya
memiliki kehidupan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Untuk memperjelas ini, penulis akan membahasnya melalui sudut
pandang sejarah. Sudah kita ketahui bersama, bahwa Indonesia pra-Islam menganut
agama Hindu dan Buddha, bahkan di beberapa daerah pedalaman, masih meyakini
agama lokal, seperti di daerah Sunda dikenal dengan agama Sunda Wiwitan dan di daerah
Jawa terdapat agama Kejawen. Hal termudah untuk membuktikan pernyataan ini
adalah dengan melihat corak kerajaan-kerajaan di masa silam. Khusus di pulau
Jawa kita bisa melihatnya dari sejak mulai kerajaan Tarumanegara hingga Majapahit.
Kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara membuat banyak bangsa
datang untuk berdagang dan menjalin kerja sama. Ada bangsa India, Tiongkok,
bahkan Arab. Dari bangsa Arab dan India lah, masyarakat Indonesia mengenal
agama Islam. Bukan hanya pedagang, strategi dan pola misi Islam juga disebarkan
oleh orang-orang yang benar-benar ikhlas mengabdi kepada Tuhan, tidak jauh
berbeda dengan realitas misionaris di dunia Kristen. Salah satu diantaranya
yang kemudian kita kenal sebagai Wali Songo.
Wali Songo adalah orang-orang yang cerdas. Bukan hanya cerdas dalam
masalah agama, tapi juga cerdas dalam membaca realitas di masyarakat. Wali
Songo mampu menyampaikan ajaran Islam dengan pendekatan sosiologis. Ini yang
membuat masa-masa Wali Songo merupakan masa-masa penyebaran Islam yang sangat
pesat di Indonesia, khususnya di daratan Jawa.
Dengan peran Wali Songo, ajaran agama dijadikan sebagai penyempurna
kehidupan di masyarakat. Wali Songo tidak menghapus seluruh budaya di
Indonesia, tapi membuatnya menjadi penyempurnaan yang Islami. Ini mungkin
alasan masyarakat Indonesia sangat tertarik dengan penyampaian Wali Songo.
Dengan Islam yang berbudaya, Islam Indonesia lahir dengan gaya yang baru, gaya
yang benar-benar berbeda dari daerah asalnya, Arab. Islam pun akhirnya masuk ke
wilayah-wilayah kerajaan, dan membuat banyak kerajaan yang tadinya Hindu-Buddha
menjadi bercorak Islam, dengan ditandai munculnya Samudera Pasai di Aceh.
Hingga tibalah masanya Barat menguasai dunia. Dengan adanya masa
Renaissance di Eropa Barat setelah hancurnya peradaban Islam oleh Mongol, masa
Imperialisme pun dimulai. Bangsa-bangsa Eropa, khususnya Eropa Barat, dengan
gencar melakukan invasi ke berbagai wilayah di dunia. Hampir seluruh bangsa ditaklukkan.
Bangsa Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Portugal, menjadi kapten dari
penjajahan Barat terhadap bangsa Timur. Dan akhirnya, Belanda mampu menduduki
Indonesia secara politik.
Pengaruh Barat sangat mengganggu keharmonisan masyarakat Islam di
seluruh penjuru dunia. Sistem pemikiran Barat yang ditandai dengan rasionalisme
dan empirisme, membuat ajaran-ajaran Islam tergeser dan hampir terdegradasi.
Melihat dunia Islam terbelakang dan miskin akan ilmu pengetahuan, orang-orang
Mesir menyerukan untuk kembali kepada ajaran Al-Quran dan As-Sunnah. Orang
Mesir berpendapat, kemunduran Islam disebabkan karena banyak penganutnya
terlalu fanatik dengan ajaran madzhab. Mereka menyerukan untuk kembali
berpegang teguh terhadap Al-Quran sebagai kalam Ilahi.
Pemikiran ini, disatu sisi mengembalikan kemurnian Islam, tapi
disisi yang lain, menghancurkan kehidupan bermadzhab di dunia Islam yang
sebelumnya tentram. Dengan menghalalkan
segala cara, kelompok yang kemudian kita kenal dengan sebutan Salafi Wahabi ini
melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah, dan dengan perjuangan yang
hebat, mereka menguasai daratan Hijaz. Dengan pendudukan inilah, secara resmi
kerajaan Saudi terbentuk.
Pemikiran ala Salafi Wahabi menyebar dengan sangat cepat dengan
metode-metode Barat. Mengganggu dan menghancurkan keharmonisan umat Islam.
Pemikiran ini masuk ke Indonesia dengan ditandai oleh munculnya organisasi
Islam pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam. Walau kemudian Sarekat Islam
ini hanya fokus di bidang politik, tapi pemikiran pembaharu mereka tidak dapat
dilepaskan. Setelah Sarekat Islam, gerakan pembaharu lain juga muncul, yaitu
organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta dan Persis di Bandung.
Pendekatan yang dilakukan oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan
Persis, benar-benar tidak menggunakan pendekatan sosiologis seperti yang
dilakukan oleh Wali Songo. Ketiganya sering melakukan kegiatan takfiri terhadap
kelompok kiai kampung yang dianggapnya tidak berilmu. Hal ini yang
mengakibatkan masyarakat Indonesia secara umum tidak terlalu menyukai
ketiganya. Dakwah Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Persis mengalami benturan
yang hebat dengan budaya lokal. Rakyat Indonesia tidak terima dengan perlakuan
mereka terhadap kiai-kiai mereka. Dengan prakarsa Hasyim Asyari, berdirilah
Nahdlatul Ulama.
Sebelum Nahdlatul Ulama berdiri, ada kejadian penting yang juga
menjadi latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama. Setelah keluarga As-Saud
menjadi pemilik tahta kerajaan sah di Hijaz, banyak aturan yang mereka
keluarkan. Aturan bermadzhab secara tegas dilarang. Sontak saja, umat Islam di
seluruh penjuru dunia berontak. Tak terkecuali Muslim Nusantara. Mereka
mengirim tim khusus untuk bertemu dengan raja Saudi. Tim ini yang kita kenal
dengan sebutan Komite Hijaz. Orang-orang di tim inilah yang bisa kita katakan
sebagai para pelopor Nahdlatul Ulama.
Secara fakta, Nahdlatul Ulama memang lahir pada tahun 1926, tapi
secara prinsip, pemikiran Nahdlatul Ulama telah ada sejak Wali Songo
menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Hal ini juga serupa dengan Islam. Secara
sejarah, Islam lahir dari mulut Nabi Muhammad—dengan ridha Allah swt., tapi
secara hakikat, ajaran Islam telah ada bahkan dari Nabi Adam diutus ke muka bumi.
Maka terlihat jelas disini, Nahdlatul Ulama sangat berbeda dengan
organisasi pendahulunya. Nahdlatul Ulama lahir dengan persatuan masyarakat
dengan ditandai oleh bersatunya para ulama di tanah Jawa. Berbeda dengan
organisasi sebelumnya yang lahir dengan asas ideologi yang jelas, Nahdlatul
Ulama berdiri dengan agak carut marut. Maklum saja, didirikan oleh orang
kampung yang tidak memiliki pendidikan Barat, bahkan untuk mendirikan
organisasi saja, banyak ulama melakukan shalat istikharah. Suatu ritual yang
mungkin menurut kaum pembaharu sangat tidak perlu dilakukan.
Nahdlatul Ulama hadir menjadi wadah bagi para kiai dan ulama untuk
kembali menyuarakan pemikiran-pemikiran Wali Songo. Dengan berpedoman kepada
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam bidang teologi, bermadzhab kepada salah satu
dari 4 madzhab fikih, yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali, serta berkiblat
kepada Al-Ghazali dan Al-Junaedi dalam bidang Tasawwuf, Nahdlatul Ulama
dicintai oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Gayanya yang tradisional, membuat
Nahdlatul Ulama diterima dengan sangat cepat.
Kekalahan blok Jerman atas dominasi blok Sekutu, membuat Jepang harus angkat kaki dari
Nusantara. Melihat kondisi yang menguntungkan, Bung Karno dan Bung Hatta secara
tegas memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Tapi masalah
muncul dikemudian hari. Pihak Sekutu mendatangi seluruh wilayah bekas
pendudukan Jerman dan Jepang. Dengan dikomandoi Belanda, Indonesia pun kembali
diincar oleh singa yang lapar. Melihat situasi yang akan terjadi, pada 22
Oktober, Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad untuk seluruh umat Muslim di
Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Dan memang terbukti, pada 10 November,
tentara Sekutu datang untuk kembali menjajah Indonesia. Dengan semangat jihad,
Indonesia dapat memukul mundur Belanda dan sekutunya. Nahdlatul Ulama pun
menutup pesta kemerdekaan dengan sangat gemilang.
Merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, justru membuat Nahdlatul
Ulama masuk di era yang baru. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi
negara, banyak kalangan Islam yang tidak setuju, termasuk Nahdlatul Ulama. Tapi
dengan kehebatan Bung Hatta yang sangat cemerlang, beliau dapat memberikan
penjelasan kepada golongan Islam. Seluruh golongan Islam pun setuju Pancasila
dijadikan sebagai ideologi negara, karena mengingat akan diselenggarakan pemilu
dalam beberapa tahun berikutnya.
Dengan kesadaran akan persatuan Islam, seluruh organisasi Islam,
entah itu Nahdlatul Ulama, Muhammdiyah maupun Sarekat Islam, bersatu di bawah
satu bendera, yaitu Masyumi. Dengan memenangkan pemilu, golongan Islam berharap
akan ditegakkan Syariat Islam di Nusantara. Tapi kembali ke-egoisan kaum
pembaharu muncul. Menganggap kaum Nahdlatul Ulama sebagai golongan yang kolot, akhirnya
mereka mengabaikan suara Nahdlatul Ulama sebagai golongan mayoritas. Terbukti,
seluruh jajaran dewan pengurus Masyumi tidak ada satu pun yang diambil dari
Nahdlatul Ulama. Mereka hanya menjadikan Hasyim Asyari sebagai ketua dewan
penasihat.
Melihat dirinya diperlakukan tidak adil, Nahdlatul Ulama menyatakan
hengkang dari Masyumi dan membuat partai baru, yaitu partai Nahdlatul Ulama.
Ini hebatnya Nahdlatul Ulama. Dipercaya atau tidak, dalam 3 tahun saja dari
sejak menyatakan keluar dari Masyumi, Nahdlatul Ulama memperoleh suara yang
hampir sama dengan Masyumi, hanya beda 2,5 persen saja. Melihat seterunya
berhasil dengan gemilang, golongan-golongan pembaharu di Masyumi terjadi
perdebatan hebat, hingga akhirnya Masyumi pun hancur lebur di telan sejarah.
Gemilangnya Nahdlatul Ulama di pentas politik juga memunculkan ide
baru. Ideologi Pancasila yang sebelumnya ditentang, akhirnya diterima sebagai
asas negara. Perlu diperhatikan disini, sesuai dengan muktamar di Situbondo,
Pancasila hanya diakui sebagai asas negara, bukan asas agama. Walau
bagaimanapun, Pancasila sama sekali tidak bisa menggantikan kedudukan agama.
Tapi ternyata keterlibatan Nahdlatul Ulama dikancah politik
Nasional tidak berlangsung lama. Karena melihat situasi politik yang sudah pulih,
terutama melihat golongan pembaharu tidak berkutik melawan golongan Tradisional
dan golongan Nasionalis Sekuler, akhirnya pada tahun 1983 dilakukan Munas dan
menyatakan diri kembali ke khittah 1926 sebagai Jam’iyah Diniyah. Itu artinya,
Nahdlatul Ulama tidak lagi berpolitik praktis. Nahdlatul Ulama akhirnya
meleburkan diri menjadi PPP. Di kemudian hari, warga Nahdlatul Ulama yang tidak
bisa terlepas dari dunia politik, kembali membuat partai baru beratas nama
Nahdlatul Ulama, yaitu PKB. Dengan ditandai Abdurrahman Wahid sebagai presiden
Indonesia, membuat Nahdlatul Ulama tidak bisa lagi diragukan sebagai golongan
mayoritas di negeri ini.
Dari setiap langkah yang dilakukan Nahdlatul Ulama, lihat bagaimana
organisasi ini masuk di berbagai era, masuk di berbagai latar belakang, masuk
ke berbagai dunia, tapi organisasi ini tetap kokoh, bahkan memiliki pendukung
yang begitu besar. Pendukung organisasi ini bukan hanya dari golongan Muslim,
tapi juga dari non-Muslim. Para pendeta Kristen, agamawan Hindu, Buddha, lebih
mendukung orang-orang Nahdlatul Ulama sebagai partner sosial ketimbang
organisasi pembaharu.
Nahdlatul Ulama memiliki tugas untuk memperkuat ajaran Ahlussunnah
wal Jamaah di Indonesia, dipadukan dengan ajaran Wali Songo yang cinta budaya,
dan merangkul seluruh kalangan untuk mempertahankan keutuhan negara, membuat
Nahdlatul Ulama bukan hanya sebagai organisasi biasa. Terbukti, banyak orang
yang secara formal tidak terdaftar di kepengurusan Nahdlatul Ulama, tapi mereka
mengakui dirinya warga Nahdlatul Ulama. Mereka adalah para pendukung yang siap
membela Nahdlatul Ulama dalam keadaan apapun.
Perlu dipahami lebih jauh, hanya Nahdlatul Ulama (organisasi besar)
yang menyerukan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia. Dengan kenyataan
ini, banyak orang mengidentikkan Nahdlatul Ulama sebagai miniatur dari
Ahlussunnah wal Jamaah. Makanya, ketika ada orang yang ingin mendalami ajaran
Ahlussunnah wal Jamaah, mereka akan mendatangi Nahdlatul Ulama. Banyak orang
malah menyatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah merupakan Nahdlatul Ulama itu
sendiri atau Nahdlatul Ulama adalah Ahlussunnah wal Jamaah itu sendiri.
Kenyataan inilah yang membuat Nahdlatul Ulama sangat unik. Di satu sisi,
Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi, tapi di sisi yang lain dianggap
merupakan sebuah aliran yang menjadi kepanjangan tangan dari ajaran Ahlussunnah
wal Jamaah. Wallahu a’lam.
Referensi Buku dan Artikel :
NU dan Pancasila (Einar Martahan), Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya (Harun Nasution), Gerakan Modern (Noer), Dinamika Kaum Santri (Yusuf),
Pertumbuhan dan Perkembangan (Anam), Al-Maghfurlah (Bisri Syansuri), Tradisi
Pesantren (Dhofier), Kebangkitan Ulama (Machfoeds), Muslim di Tengah Pergumulan
(Abdurrahman Wahid), Islam Militan (G.H. Jansen), Partai Islam (Noer), Ensiklopedia
Nahdlatul Ulama (Karya Santri NU), Ensiklopedia Muhammadiyah (Karya Pengurus
Muhammadiyah).
Referensi Database Nahdlatul Ulama :
Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo, Keputusan Musyawarah
Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1983, Keputusan Muktamar 27 Nahdlatul
Ulama, Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama.
==============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar