Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Rabu, 11 Desember 2019

Babak Belur


Kuliah merupakan rutinitas mahasiswa yang membosankan. Kau tahu, keseharian kuliah sangat berbeda dengan keseharian ketika kita duduk di kursi abu, biru maupun merah. Kuliah benar-benar serasa membosankan. Mengapa tidak? Kau harus memikirkan kekonyolan ini. Jadwal yang diberikan di bangku kuliah tidak berurut seperti halnya di SMA dulu. Jam 7 pagi ada kuliah sampe jam setengah sembilan, kuliah lagi selepas dzuhur hingga ashar. Coba tebak, pekerjaan apa yang harus aku lakukan antara jam setengah sembilan sampai masuknya waktu dzuhur? Kembali ke kosan? Tentu tidak mungkin, itu membuat rongga-rongga tubuh ini malas untuk kembali ke pelataran ilmu. Membangun bisnis? Jujur saja itu ide yang konyol, mana ada bisnis dilakukan hanya 3 jam saja?  Benar-benar membosankan, seperti inilah perasaanku saat ini sebagai mahasiswa baru di salah satu kampus negeri di Yogyakarta.


Pikiranku kacau, arah tujuanku kalut tertutup abu vulkanik yang menutupi arah mata angin. Aku bosan sebosan-bosannya. Aku seorang pengelana yang hebat, jauh-jauh kuliah dari Kuningan Jawa Barat ke Yogyakarta hanya untuk menuntut ilmu yang sebenarnya dapat aku lakukan di provinsiku sendiri, ada Cirebon, ada Bandung, ada Bogor, bahkan jarak ke ibukota lebih dekat daripada ke kota budaya ini. Entah mengapa juga aku memilih Jogja, mungkin takdir memilihku untuk mengenal kota ini. Tapi ok, itu bukan permasalahan yang ingin aku angkat disini.

Kau tahu, aku hampir pernah mengunjungi kota-kota besar di pulau Jawa, Jakarta, yeah area Jabodetabek, semua pernah aku singgahi. Bandung, aku juga pernah. Cirebon, itu kota mainanku. Semarang, setidaknya aku pernah menghirup udaranya. Dan Yogyakarta, ini sudah menjadi bagian sejarah hidupku. Aku merenung di perpustakaan di lantai 4, memikirkan kekacauan pikiranku saat ini. Haruskah aku akhiri masa kuliah ini? Atau memang aku tidak cocok dengan kampus yang saat ini aku jalani? Entah mana yang benar, yang jelas ketika aku mencari hal-hal tidak berguna tentang kota wisata di internet menggunakan wifi gratis yang disediakan di kampus, aku menemukan sesuatu hal yang menarik. Yah, satu kota besar lagi yang belum aku kunjungi di pulau Jawa ini, tentu saja, Surabaya. Kota yang katanya menjunjung tinggi kebebasan itu mungkin akan memberikan pengalaman berharga bagiku.

Selepas duduk-duduk lama di perpustakaan, aku langsung pergi ke Indomaret untuk membeli tiket kereta api jurusan Surabaya. Aku paling tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Ketika pikiranku menuju pada satu titik, maka titik itu akan aku raih. Setelah Surabaya hinggap dipikiranku, aku langsung memburunya.
***

Hari keberangkatanku ke Surabaya sudah tiba. Masalah perizinan kampus, aku yakin kau juga sudah tahu. Hanya dengan mengandalkan surat izin saja, kita bisa berpuas-puas ria diluar sana tanpa harus menghadapi masalah absensi dikemudian hari. Mungkin ini salah satu kebebasan kita ketika kuliah. Jauh dari orang tua, jauh dari pengawasan dosen, semua kehendak menjadi milik kita. Dunia serasa berada di genggaman kita.

Tot tot, kereta api Legowo mengeluarkan bunyi khasnya, pertanda baik bahwa perjalanan sudah sampai. Stasiun Gubeng, yah itulah namanya. Aku turun dan pada saat itulah pertama kali aku merasakan udara hangat Surabaya.

Hari pertamaku di Surabaya berjalan dengan normal. Aku menginap di warung teman lamaku yang berjualan di sekitar UIN Sunan Ampel Surabaya. Aku meminjam motornya dan berkeliling kota pahlawan bahkan hingga Madura. Aku merasakan pemandangan Suramadu yang indah dan berkelas. Berdiri layaknya jembatan Kalifornia yang berada di Amerika. Kesana kemari aku tak mendapatkan masalah apapun.

Hari kedua terjadi musibah yang tak disangka-sangka. Gunung Kelud yang berada di Kediri meletus dan menimbulkan hujan abu yang cukup parah di jumat pagi. Tapi untunglah, selepas Jum’atan, hujan deras mengguyur kota buaya. Buaya dan hiu-pun riang gembira karenanya.

Di hari ketiga-lah kesialan itu muncul. Ketika aku mengendarai mio temanku dengan kelengkapan yang sempurna, SIM, STNK, dan semua bagian di motor sudah ditata dengan lengkap, ketika melaju di jalan Ahmad Yani, dari depan seorang berbaju cokelat dengan rompi berwarna kuning menghentikan laju motorku dengan garang. Haah, why? Apa yang salah?

“Anda kami tilang karena tidak menggunakan lampu di siang hari?”
“Shit, apa-apaan ini? Teori macam apa ini?”, gertakku dalam hati.

Tanpa panjang lebar, dengan memberikan dua option, “ditilang atau denda”, aku mengambil denda karena lebih ringan, baik biayanya maupun prosedurnya. Aku tidak paham, apakah memang benar denda yang dimaksud itu memang ada. Aku tidak memikirkan hal itu. Aku tak akan mengatakan nominal uangnya, tapi yang jelas, uangku ludes di jam 8 pagi.

Aku bersalaman dengan polisi yang agak tua untuk berpamitan dari sarang berwarna biru itu, sikapnya yang ramah membuatku agak tidak marah padanya ketika dia meminta uang kepadaku. Kau harus tahu fakta ini, bahwa urusanku dengan polantas saat itu merupakan urusanku yang pertama seumur hidupku. Aku bergegas pergi hendak menikmati kota Surabaya, dan melupakan masalah gila seperti itu.

Tidak sampai lima belas menit, aku kena tilang untuk yang kedua kalinya setelah aku menerobos jalan yang seharusnya digunakan oleh roda 4. Shit, padahal dua hari sebelumnya banyak kendaraan motor yang lewat jalan sana. Aku tak melihat rambu-rambu yang mengatakan bahwa jalan itu khusus roda 4. Aku berdalih atas keluguan dan ketidaktahuan diriku, tapi polisi tak mau mendengarnya. Perlu kau ketahui, uang disakuku tinggal 20.000 lagi, sudah habis dipungut di tilang yang pertama. Polisi itu kembali mengatakan, “tilang atau denda?”, aku jawab aku tak punya uang. Jadi kami sepakat, STNK motor teman ku di pegang dulu olehnya, sementara aku mencari ATM untuk mengambil uang. Di pinggir jalan sana yang aku lihat, seorang pengendara mobil yang masuk area proboden, dia dilepaskan begitu saja, bahkan polisi memberikan salam hormat kepadanya. Kau tahu karena apa? Karena plat nomor mobil itu berwarna merah. Dasar...

Ketika aku kembali ke tempat semula dari arah yang berlawanan, polisi yang lain justru ingin menilangku. “Hey mas, kalau nyalip itu jangan dari kiri!”, bentaknya.
“Pak, saya mau nebus STNK pak.”
“Oh iya silahkan mas”. Sikapnya langsung berubah 180 derajat.
Aku mengambil STNK itu dengan uang yang jauh lebih besar dari tilangan pertama, bayangkan, dua kali lipat. Tapi ok, daripada STNK itu harus diambil oleh temanku ke pengadilan, karena sorenya aku harus kembali ke Yogyakarta.

Baru setelah aku kembali ke Yogyakarta, seorang dosenku mengatakan bahwa tindakan seperti itu merupakan ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Uang yang aku berikan, kemungkinaan besar tidak akan masuk ke dalam kas negara, tapi masuk ke kantong pribadinya. Sial, mereka mempermainkanku. Aku tidak benci instransi polisi, sama sekali tidak. Aku hanya benci terhadap oknum-oknum yang lintah itu. Coba kau pikirkan, hanya karena beberapa oknum yang ada di Surabaya, aku sempat berpikir bahwa semua instansi polisi bermata duitan. Hanya karena satu atau dua orang, citra instansi bisa hancur berantakan.

Dari kejadian itulah, aku memutuskan untuk semangat kuliah, kebetulan aku menggeluti prodiku yang sangat angker, Ilmu Hukum. Dengan banyaknya ketidak-adilan di negeri ini, minimal aku akan memberikan kontribusi besar terhadap penegakan hukum di Indonesia, dan memperbaiki hukum yang ada agar bisa sesuai dengan kehendak rakyat. Rakyat tetaplah raja. Pemimpin eksekutif, legislatif dan yudikatif  hanyalah babu rakyat. Ingat itu!



==============
Ditulis oleh : idikms
17 Februari 2014

Tidak ada komentar: