Kuliah merupakan rutinitas mahasiswa
yang membosankan. Kau tahu, keseharian kuliah sangat berbeda dengan keseharian
ketika kita duduk di kursi abu, biru maupun merah. Kuliah benar-benar serasa
membosankan. Mengapa tidak? Kau harus memikirkan kekonyolan ini. Jadwal yang
diberikan di bangku kuliah tidak berurut seperti halnya di SMA dulu. Jam 7 pagi
ada kuliah sampe jam setengah sembilan, kuliah lagi selepas dzuhur hingga
ashar. Coba tebak, pekerjaan apa yang harus aku lakukan antara jam setengah
sembilan sampai masuknya waktu dzuhur? Kembali ke kosan? Tentu tidak mungkin,
itu membuat rongga-rongga tubuh ini malas untuk kembali ke pelataran ilmu.
Membangun bisnis? Jujur saja itu ide yang konyol, mana ada bisnis dilakukan
hanya 3 jam saja? Benar-benar
membosankan, seperti inilah perasaanku saat ini sebagai mahasiswa baru di salah
satu kampus negeri di Yogyakarta.
Pikiranku kacau, arah tujuanku kalut
tertutup abu vulkanik yang menutupi arah mata angin. Aku bosan sebosan-bosannya.
Aku seorang pengelana yang hebat, jauh-jauh kuliah dari Kuningan Jawa Barat ke
Yogyakarta hanya untuk menuntut ilmu yang sebenarnya dapat aku lakukan di
provinsiku sendiri, ada Cirebon, ada Bandung, ada Bogor, bahkan jarak ke
ibukota lebih dekat daripada ke kota budaya ini. Entah mengapa juga aku memilih
Jogja, mungkin takdir memilihku untuk mengenal kota ini. Tapi ok, itu bukan permasalahan
yang ingin aku angkat disini.
Kau tahu, aku hampir pernah
mengunjungi kota-kota besar di pulau Jawa, Jakarta, yeah area Jabodetabek,
semua pernah aku singgahi. Bandung, aku juga pernah. Cirebon, itu kota
mainanku. Semarang, setidaknya aku pernah menghirup udaranya. Dan Yogyakarta,
ini sudah menjadi bagian sejarah hidupku. Aku merenung di perpustakaan di
lantai 4, memikirkan kekacauan pikiranku saat ini. Haruskah aku akhiri masa
kuliah ini? Atau memang aku tidak cocok dengan kampus yang saat ini aku jalani?
Entah mana yang benar, yang jelas ketika aku mencari hal-hal tidak berguna
tentang kota wisata di internet menggunakan wifi gratis yang disediakan di
kampus, aku menemukan sesuatu hal yang menarik. Yah, satu kota besar lagi yang
belum aku kunjungi di pulau Jawa ini, tentu saja, Surabaya. Kota yang katanya
menjunjung tinggi kebebasan itu mungkin akan memberikan pengalaman berharga
bagiku.
Selepas duduk-duduk lama di perpustakaan,
aku langsung pergi ke Indomaret untuk membeli tiket kereta api jurusan
Surabaya. Aku paling tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Ketika pikiranku
menuju pada satu titik, maka titik itu akan aku raih. Setelah Surabaya hinggap
dipikiranku, aku langsung memburunya.
***
Hari keberangkatanku ke Surabaya
sudah tiba. Masalah perizinan kampus, aku yakin kau juga sudah tahu. Hanya
dengan mengandalkan surat izin saja, kita bisa berpuas-puas ria diluar sana
tanpa harus menghadapi masalah absensi dikemudian hari. Mungkin ini salah satu
kebebasan kita ketika kuliah. Jauh dari orang tua, jauh dari pengawasan dosen,
semua kehendak menjadi milik kita. Dunia serasa berada di genggaman kita.
Tot tot, kereta api Legowo
mengeluarkan bunyi khasnya, pertanda baik bahwa perjalanan sudah sampai.
Stasiun Gubeng, yah itulah namanya. Aku turun dan pada saat itulah pertama kali
aku merasakan udara hangat Surabaya.
Hari pertamaku di Surabaya berjalan
dengan normal. Aku menginap di warung teman lamaku yang berjualan di sekitar
UIN Sunan Ampel Surabaya. Aku meminjam motornya dan berkeliling kota pahlawan
bahkan hingga Madura. Aku merasakan pemandangan Suramadu yang indah dan
berkelas. Berdiri layaknya jembatan Kalifornia yang berada di Amerika. Kesana
kemari aku tak mendapatkan masalah apapun.
Hari kedua terjadi musibah yang tak
disangka-sangka. Gunung Kelud yang berada di Kediri meletus dan menimbulkan
hujan abu yang cukup parah di jumat pagi. Tapi untunglah, selepas Jum’atan,
hujan deras mengguyur kota buaya. Buaya dan hiu-pun riang gembira karenanya.
Di hari ketiga-lah kesialan itu
muncul. Ketika aku mengendarai mio temanku dengan kelengkapan yang sempurna,
SIM, STNK, dan semua bagian di motor sudah ditata dengan lengkap, ketika melaju
di jalan Ahmad Yani, dari depan seorang berbaju cokelat dengan rompi berwarna
kuning menghentikan laju motorku dengan garang. Haah, why? Apa yang salah?
“Anda kami tilang karena tidak
menggunakan lampu di siang hari?”
“Shit, apa-apaan ini? Teori macam
apa ini?”, gertakku dalam hati.
Tanpa panjang lebar, dengan
memberikan dua option, “ditilang atau denda”, aku mengambil denda karena lebih
ringan, baik biayanya maupun prosedurnya. Aku tidak paham, apakah memang benar
denda yang dimaksud itu memang ada. Aku tidak memikirkan hal itu. Aku tak akan
mengatakan nominal uangnya, tapi yang jelas, uangku ludes di jam 8 pagi.
Aku bersalaman dengan polisi yang
agak tua untuk berpamitan dari sarang berwarna biru itu, sikapnya yang ramah
membuatku agak tidak marah padanya ketika dia meminta uang kepadaku. Kau harus
tahu fakta ini, bahwa urusanku dengan polantas saat itu merupakan urusanku yang
pertama seumur hidupku. Aku bergegas pergi hendak menikmati kota Surabaya, dan
melupakan masalah gila seperti itu.
Tidak sampai lima belas menit, aku
kena tilang untuk yang kedua kalinya setelah aku menerobos jalan yang seharusnya
digunakan oleh roda 4. Shit, padahal dua hari sebelumnya banyak kendaraan motor
yang lewat jalan sana. Aku tak melihat rambu-rambu yang mengatakan bahwa jalan
itu khusus roda 4. Aku berdalih atas keluguan dan ketidaktahuan diriku, tapi
polisi tak mau mendengarnya. Perlu kau ketahui, uang disakuku tinggal 20.000
lagi, sudah habis dipungut di tilang yang pertama. Polisi itu kembali
mengatakan, “tilang atau denda?”, aku jawab aku tak punya uang. Jadi kami
sepakat, STNK motor teman ku di pegang dulu olehnya, sementara aku mencari ATM
untuk mengambil uang. Di pinggir jalan sana yang aku lihat, seorang pengendara
mobil yang masuk area proboden, dia dilepaskan begitu saja, bahkan polisi
memberikan salam hormat kepadanya. Kau tahu karena apa? Karena plat nomor mobil
itu berwarna merah. Dasar...
Ketika aku kembali ke tempat semula
dari arah yang berlawanan, polisi yang lain justru ingin menilangku. “Hey mas,
kalau nyalip itu jangan dari kiri!”, bentaknya.
“Pak, saya mau nebus STNK pak.”
“Oh iya silahkan mas”. Sikapnya
langsung berubah 180 derajat.
Aku mengambil STNK itu dengan uang
yang jauh lebih besar dari tilangan pertama, bayangkan, dua kali lipat. Tapi
ok, daripada STNK itu harus diambil oleh temanku ke pengadilan, karena sorenya
aku harus kembali ke Yogyakarta.
Baru setelah aku kembali ke
Yogyakarta, seorang dosenku mengatakan bahwa tindakan seperti itu merupakan
ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Uang yang aku berikan, kemungkinaan
besar tidak akan masuk ke dalam kas negara, tapi masuk ke kantong pribadinya.
Sial, mereka mempermainkanku. Aku tidak benci instransi polisi, sama sekali
tidak. Aku hanya benci terhadap oknum-oknum yang lintah itu. Coba kau pikirkan,
hanya karena beberapa oknum yang ada di Surabaya, aku sempat berpikir bahwa semua
instansi polisi bermata duitan. Hanya karena satu atau dua orang, citra
instansi bisa hancur berantakan.
Dari kejadian itulah, aku memutuskan
untuk semangat kuliah, kebetulan aku menggeluti prodiku yang sangat angker,
Ilmu Hukum. Dengan banyaknya ketidak-adilan di negeri ini, minimal aku akan
memberikan kontribusi besar terhadap penegakan hukum di Indonesia, dan
memperbaiki hukum yang ada agar bisa sesuai dengan kehendak rakyat. Rakyat
tetaplah raja. Pemimpin eksekutif, legislatif dan yudikatif hanyalah babu rakyat. Ingat itu!
==============
Ditulis oleh : idikms
17 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar