Sudah menjadi hal biasa bagi kehidupan kita, manakala ketika
kita berkumpul dan bertatap muka dengan sahabat-sahabat atau teman dalam satu
ruangan, kita memiliki ke-eratan yang tak bisa digambarkan dengan pena. Semua
naluri serasa berkumpul antara semua anggota yang dekat dengan kita. Kita
membuat tujuan yang sama, landasan yang sama, hingga prinsip yang sama.
Sehingga kita menganggap anggota yang berada di pihak kita sebagai suatu
keluarga baru yang tak terpisahkan.
Layaknya sebuah keluarga, ketika yang satu sakit, maka yang
lainnya akan merasakan sedih. Ini kondisi organisasi yang menjadi budaya umum
kita. Atas dasar satu organisasi, kita membela apa yang menjadi milik kita.
Walau kita tidak tahu, yang kita pegang adalah racun yang berbisa.
Kisah ini menjadi kisah penting bagiku. Kisah dimana aku
kehilangan banyak teman, bahkan sahabat. Aku dimusuhi oleh banyak orang karena
merenggut kediaman sebuah perkumpulan. Mereka menghinaku, mereka menyepelekanku,
mereka memusuhiku, dan sekarang, mungkin mereka siap membunuhku.
Aku adalah mantan anggota salah satu perguruan silat di kotaku. Nama perguruannya
ialah Indang Sanata, sering disingkat IS. Indang Sanata merupakan perguruan
silat yang memiliki berjuta-juta paham, bukan hanya sebuah perguruan silat yang
hanya mengajarkan beladiri, tapi lebih dari itu. Ketika pertama aku masuk ke
perguruan tersebut, sejak awal aku sudah tahu ketidak beresan dengan pemahaman
mereka. Mereka pemercaya alien yang jauh disana, dan menganggap kelompok mereka
lebih unggul dari kelompok lain. Bahkan mereka mengatakan bahwa penyelamat
agama ini berasal dari kelompoknya.
Mereka mendoktrin seluruh anggotanya dengan doktrin-doktrin
teknologi yang kelihatan ilmiah. Mereka mengklaim dapat menentukan tanggal
sendiri tanpa harus dibantu oleh hilalnya Majelis Ulama Indonesia. Mereka menerbitkan
sebuah buku novel yang menceritakan seorang kesatria hebat yang berasal dari
bangsa dengan tingkat kekuatan 40%. Perlu kau ketahui, kita-kita ini sebagai
manusia biasa, hanya memiliki kekuatan 2,5% saja. Sedangkan kelompok mereka,
dengan ritual-ritual mereka yang dianggap ilmiah, mereka mengklaim memiliki
kekuatan 5%. Angka 5% ini dapat memukul besi hingga patah dengan mudah, walau
kemudian aku baru menyadari bahwa mematahkan besi bukanlah hal yang sulit.
Dari sejak awal aku sudah ragu dengan kelompok ini. Tapi aku
tetap bertahan untuk menyelidiki lebih jauh, seberapa konyol perguruan silat
ini hidup. Mereka mempunyai guru utama yang masih muda, dia dianggap memiliki
kekuatan super layaknya power rangers, dan siap membela keselamatan umat dari
godaan setan yang terkutuk. Orang inilah yang kemudian di dewakan oleh seluruh
anggota Indang Sanata. Dia adalah kesatria yang beberapa kali mengalahkan guru
utama dari perguruan silat yang lain. Hebat, benar-benar hebat. Aku kagum
kepadanya. Kagum akan kekuatannya, kagum akan nalurinya, kagum akan
kecerdasannya membuat sebuah kitab suci.
What? Yeah, mereka bahkan memiliki kitab sendiri yang telah aku sebutkan
sebelumnya, sebuah buku yang memuat kisah-kisah kesatria di zaman dahulu yang
justru lebih tinggi dan agung dari bangsa Atlantis yang kita percayai sebagai
bangsa yang hebat.
Beberapa kali aku sempat merenung. Setiap hari aku disuguhi
dengan kaidah-kaidah konyol yang tak masuk akal, meskipun sebenarnya mereka
membuatnya seakan-akan ilmiah dan modern, tapi sebenarnya jauh dari rasio.
Mereka hanya menyambungkan fakta-fakta
yang sudah diteliti oleh NASA dan dihubungkan dengan sejarah suku kami
yang justru pernah dijajah oleh Majapahit, suku Sunda. Entah apa yang berada
dalam benak mereka, tapi yang jelas mereka mengagungkan Sunda sebagai bagian
dari kehidupan modern di masa lalu, dan menganggap bahwa nenek moyang kita
adalah orang-orang canggih yang dapat menerbangkan pesawat hingga ke Arsy sana,
tempat bersemayamnya Tuhan. Setidaknya mereka ingin melampaui kehendak dan
kekuatan Tuhan, itulah maksudku.
Semakin hari aku bergabung di klub ini, semakin bimbang
hatiku akan kebenaran. Dimana kebenaran yang nyata itu? Dari ustad yang
mengajar di pesantren yang memiliki sanad bersambung hingga nabi, atau dari
orang sakti yang memiliki kekuatan supranatural yang bisa memprediksi
terjadinya gempa dan dapat menahan gempa tersebut? Aku tidak tahu. Aku tak
punya jawabannya. Aku tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Kebimbanganku akan
menghancurkan setiap dimensi kehidupan yang aku jalani.
Esoknya, aku mulai membuka target baru untuk mengungkap
sebuah kebenaran. Aku datangi guru ngajiku yang sudah aku anggap sebagai ayahku
sendiri. Aku bertanya tentang arti kebenaran yang sesungguhnya. Kami berbicara
panjang lebar, dan tak disangka-sangka, beliau mengatakan hal yang mengejutkan.
“Perguruan silatmu itu sudah tidak waras, nak!”
Aku kaget. Aku bingung. Berita itu bagaikan bom atom yang
menghancurkan Hirosima dan Nagasaki. Perguruan silat yang aku geluti selama dua
tahun itu harus aku dengar kebobrokannya dari guru ngajiku sendiri. Ini
membuatku tambah bingung.
Dari sinilah aku semakin giat bertanya kesana kemari,
mencari jawaban atas kegundahanku. Dan semua orang yang aku tanyai, setidaknya
mereka mengerti agama, jawabannya sama dengan apa yang dikatakan guru ngajiku.
“Tinggalkan organisasi itu, bawa lari orang-orang yang bisa kamu selamatkan”.
Itu salah satu pepatah dari Kang Haji Rosyid, salah satu sesepuh di kampungku.
Dari sinilah aku kembali yakin. Ketika kebenaran serempak
dikatakan oleh banyak orang, maka kebenaran itu akan meneguhkan hati kita. Aku
adalah orang yang keras kepala, lebih keras dari batu yang ada di sungai-sungai.
Aku dengan lantang mengatakan keluar dari organisasi tersebut dan mengatakan
kelompok tersebut menyimpang dari aturan agama.
Tentu saja respon mereka tidak sebaik yang aku bayangkan.
Mereka malah balik menyerangku. Mereka menganggap aku sebagai orang yang bodoh.
Orang idiot, orang gila yang menyebarkan permusuhan. Orang gila layaknya Nabi
Karim Muhammad yang menyerukan bahwa dirinya seorang Nabi. Aku menerima balasan
kejam itu. Aku terus menerus di tindih dengan cercaan.
Tak cukup dari itu. Teman-teman lamaku yang sudah aku anggap
sebagai sahabat, sedikit demi sedikit meninggalkanku. Bahkan ada yang mengancam
membunuhku karena telah berani menyudutkan perguruan silatnya. Aku tidak
mengerti sikap mereka. Aku orang yang mengingatkan mereka dengan bimbingan kiyai
yang mumpuni dibidangnya, tapi mereka membantahnya. Mereka sudah terlanjur
terdoktrin dengan aturan-aturan yang diberikan guru utama. Mereka layaknya anak
ayam yang mengikuti jejak induknya. Ketika induknya memasuki lubang, siapa
sangka mereka akan selamat? Hanya bebek-lah yang mungkin akan menyelamatkan
mereka, binatang yang berada di luar kelompok mereka. Aku-lah bebek itu yang
seharusnya perlu dipertimbangkan apa yang aku tuduhkan kepada mereka. Aku
memiliki bukti, aku memiliki saksi, dan aku memiliki alasan kuat akan hal itu.
Tapi kembali pada masalah. Fanatisme telah membutakan mata
mereka. Telah membutakan mata hati mereka. Mereka tidak dapat mengenali mana
yang benar dan mana yang salah. Mereka sudah berada dalam sebuah jembatan
khusus yang sudah dirancang dengan teknologi yang canggih, untuk bisa
memanjakan tubuh mereka. Kehidupan mereka sudah sangat enjoy dengan jembatan
itu, padahal mereka tidak tahu jembatan tersebut sedang mengarah ke mana. Dan
kini, aku terdiam sendiri melihat diriku kehilangan mereka tanpa aku bisa
berbuat apa-apa.
Sementara aku menghilang, 3 tahun kemudian aku mendengar
melalui berita online bahwa perguruan silat tempatku belajar dulu membubarkan
diri karena banyaknya desakan dari mantan anggota nya. Berita itu memiliki dua
arti, satu membuktikan bahwa aku berada dalam kebenaran, namun di sisi lain aku
tetap kehilangan teman-teman ku yang dulu. Aku tak tahu harus berbuat apa,
namun yang pasti waktu terus menerus berjalan menghabisi umur kita. Aku siap
menyongsong masa depan bersama teman-teman yang baru.
===============
Ditulis oleh : idikms
18 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar