Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Rabu, 11 Desember 2019

Rumah Inggris

 
Hari itu dimana aku melihat kota Yogyakarta untuk yang ketiga kalinya. Pertama ketika aku melakukan study tour di saat MTs dulu. Kemudian aku kembali melihat aroma kesultanan ketika aku mengikuti tes masuk di salah satu perguruan tinggi di kota budaya ini. Dan sekarang, ketika pengumuman itu tiba, ketika aku harus mendengar bahwa aku diterima di kampus tersebut, aku kembali melangkahkan kaki masuk kendaraan umum dari kotaku di Jawa Barat sana ke kediaman Mataram yang agung.

Minggu pertama aku menginap di rumah saudaraku di Sleman. Mereka adalah orang-orang yang baik. Aku dan kakakku diizinkan menginap untuk satu minggu, berhubung aku harus menyelesaikan semua berkas yang harus aku penuhi untuk masuk di kampus negeri tersebut.

Waktu berjalan begitu cepat. Satu minggu berlalu bagaikan butiran debu yang diiup angin. Sudah terlalu lama kami merepotkan tuan rumah. Meskipun sebenarnya mereka tidak keberatan akan kedatangan kami, tapi kami (aku dan kakakku) merasa tidak enak jika harus bermalam lagi untuk hari ke delapan. Jadi di hari ke tujuh keberadaan kami di Yogyakarta, kami mencari kos-kosan yang berada di sekitar kampus.

Kami berjalan dari Sleman dengan menggunakan motor yang dipinjamkan dari saudara kami. Melaju hingga menembus zona ringroad utara layaknya jalan bebas hambatan tanpa harus kita beli karcis. Kota ini sangat mempesona. Kota beribu budaya, kota beribu wisata, kota beribu impian. Kami melaju hingga sampailah di depan kampus UIN Sunan Kalijaga, kampus baruku di Yogyakarta.

Awalnya kami melakukan pencarian bersama-sama dengan menggunakan sepeda motor. Tapi setiap kami menanyakan tentang keberadaan kos-kosan yang kosong, pasti jawabannya selalu sama. “Kosannya sudah pada penuh mas”. Seperti itu dan selalu seperti itu. Dari satu rumah ke rumah yang lain kami ketuk, meminta belas kasihan untuk bisa ditampung dikos-kosan milik mereka. Tapi apa daya, semuanya sepertinya sudah penuh.

Akhirnya kami pulang lagi ke Sleman, dan karena kami belum mendapatkan kos-kosan untuk kehidupanku di Yogyakarta, setidaknya untuk satu tahun kedepan, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam satu hari lagi di Sleman. Oh iya, semua pemberkasan dan masalah kampus sudah diselesaikan dengan profesional, dan sekarang kami bisa fokus untuk mencari kos-kosan. Satu hal lagi, aku belum diizinkan untuk membawa motor oleh ayahku, karena masih dianggap belum siap mengarungi jalanan Yogyakarta yang penuh dengan kendaraan-kendaraan roda berat. So, aku harus mendapatkan kos-kosan yang dekat dari kampus, atau aku harus menghabiskan banyak uang setiap bulannya untuk membiayai transportasi Trans Jogja. Aku juga tahu kondisi keuangan keluarga saat itu seperti apa. Jadi kami sepakat untuk benar-benar fokus mencari kos-kosan yang dekat dengan kampus.

Jam 7 pagi kami berangkat dari Sleman. Dan tiba di depan kampus satu jam setelahnya. Kami kembali mencari-cari kos-kosan hingga ke belakang kampus, tapi jawabannya tetap sama, penuh. Hingga jam 11 siang, kami masih belum mendapatkan kos-kosan. Akhirnya dengan terpaksa, kami mencoba berpencar, aku naik motor, sedangkan kakakku berjalan kaki.

Aku menaiki motor dan masuk ke belakang kampus lewat gang yang berbeda. Baru aku belok di gang tersebut, sebuah rumah berwarna biru dengan tulisan di depannya menggunakan spanduk membuat harapan bagiku. “Terima kos putra dan putri”, itulah tulisan yang tertera dalam spanduk tersebut. Tanpa panjang lebar, aku masuk dan menemui pemilik kos-kosan tersebut. Dan dengan hati yang sangat gembira, aku langsung boking tempat tersebut.

Kami pun pulang lagi ke Sleman dan esoknya kami diantarkan oleh saudara kami di Sleman tempat kos-kosan yang telah aku ceritakan barusan.  Dan ternyata, kos-kosan yang akan aku tempati ini adalah kos-kosan mahasiswa yang juga untuk belajar bahasa Inggris. Tutor-tutor di Asrama ini semuanya berasal dari Pare, Kampung Inggris di Kediri Jawa Timur. Dari situlah aku memiliki harapan baru untuk mengembangkan pembelajaran bahasa Inggrisku yang kacau balau. Jika kamu tahu, aku belajar bahasa Inggris dari kelas 4 SD, tapi sampai saat itu, aku belum bisa menulis satu cerpen-pun dalam bahasa Inggris. Padahal aku memiliki hobi menulis. Tapi menulis dngan menggunakan bahasa Inggris, membuat imajinasiku hilang. Yah, aku memiliki pengalaman buruk dengan Bahasa Inggris. Degan mempelajari Tenses layaknya mempelajari ilmu matematika, guru yang pernah aku temui juga ada yang galaknya minta ampun. Jadi dari saat itulah aku membenci bahasa Inggris.

Dengan masuknya aku ke dalam anggota Rumah Inggris Jogja, itulah sebutan kos-kosan kami, aku memiliki secercah cahaya yang amat terang untuk memutus kebuntuanku akan bahasa Inggris. Setiap kenanganku akan bahasa Inggris aku coba untuk melupakannya. Dari rumah Inggris inilah aku percaya, bahasa Inggris bukanlah monster yang menakutkan.

Hari demi hari aku lalui kursus di Rumah Inggris Jogja. Dan tidak disangka-sangka, aku menemukan family baru di asrama ini. Ya, Rumah Inggris Jogja memiliki 4 asrama, dua untuk laki-laki, dua untuk perempuan. Dan kebetulan, asramaku diberi nama Harvard Dormitory. Dengan jumlah anggota sekitar 10 orang yang ditambah beberapa tutor dan pengurus di dalamnya, kami menemukan sebuah keluarga baru yang jauh dari rumah kami sendiri. Ada yang dari Lampung, Jakarta, Jawa Timur, bahkan Aceh. Semua berkumpul membentuk sebuah tatanan keluarga yang harmonis.

Di tempat ini pula aku menemukan kedamaian. Menemukan semangat baru untuk menantang masa depan. Dan yang terpenting, aku mendapatkan pengalaman—pengalaman baru yang sangat berharga. Aku yakin, kesan pertamaku di Yogya bersama Rumah Inggris Jogja, merupakan pengalaman terbaik selama aku mengenyam pendidikan di sini.

Setelah satu tahun kami bersama, tibalah saatnya kami beerpisah. Setiap anak memiliki tempat kos-kosannya masing-masing. Kami berpisah karena tak mungkin lagi kami bersama di Rumah Inggris Jogja. Materi bahasa Inggris yang di rancang di kos-kosan ini hanya untuk jangka waaktu satu tahun. Kalaupun kami bersama, berati kami akan mendapatkan materi yang sama setiap tahunnya. Dari perpisahan inilah, kami merasa kesepian. Setiap hari yang penuh keceriaan dan candaan, harus lenyap manakala kami berada di kosan yang sendiri.




===============
Ditulis oleh : idikms

20 Februari 2014


Tidak ada komentar: