Hari itu dimana aku melihat kota Yogyakarta untuk yang
ketiga kalinya. Pertama ketika aku melakukan study tour di saat MTs dulu.
Kemudian aku kembali melihat aroma kesultanan ketika aku mengikuti tes masuk di
salah satu perguruan tinggi di kota budaya ini. Dan sekarang, ketika pengumuman
itu tiba, ketika aku harus mendengar bahwa aku diterima di kampus tersebut, aku
kembali melangkahkan kaki masuk kendaraan umum dari kotaku di Jawa Barat sana
ke kediaman Mataram yang agung.
Minggu pertama aku menginap di rumah saudaraku di Sleman.
Mereka adalah orang-orang yang baik. Aku dan kakakku diizinkan menginap untuk
satu minggu, berhubung aku harus menyelesaikan semua berkas yang harus aku
penuhi untuk masuk di kampus negeri tersebut.
Waktu berjalan begitu cepat. Satu minggu berlalu bagaikan
butiran debu yang diiup angin. Sudah terlalu lama kami merepotkan tuan rumah.
Meskipun sebenarnya mereka tidak keberatan akan kedatangan kami, tapi kami (aku
dan kakakku) merasa tidak enak jika harus bermalam lagi untuk hari ke delapan.
Jadi di hari ke tujuh keberadaan kami di Yogyakarta, kami mencari kos-kosan
yang berada di sekitar kampus.
Kami berjalan dari Sleman dengan menggunakan motor yang
dipinjamkan dari saudara kami. Melaju hingga menembus zona ringroad utara
layaknya jalan bebas hambatan tanpa harus kita beli karcis. Kota ini sangat
mempesona. Kota beribu budaya, kota beribu wisata, kota beribu impian. Kami
melaju hingga sampailah di depan kampus UIN Sunan Kalijaga, kampus baruku di Yogyakarta.
Awalnya kami melakukan pencarian bersama-sama dengan
menggunakan sepeda motor. Tapi setiap kami menanyakan tentang keberadaan
kos-kosan yang kosong, pasti jawabannya selalu sama. “Kosannya sudah pada penuh
mas”. Seperti itu dan selalu seperti itu. Dari satu rumah ke rumah yang lain
kami ketuk, meminta belas kasihan untuk bisa ditampung dikos-kosan milik
mereka. Tapi apa daya, semuanya sepertinya sudah penuh.
Akhirnya kami pulang lagi ke Sleman, dan karena kami belum
mendapatkan kos-kosan untuk kehidupanku di Yogyakarta, setidaknya untuk satu
tahun kedepan, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam satu hari lagi di
Sleman. Oh iya, semua pemberkasan dan masalah kampus sudah diselesaikan dengan
profesional, dan sekarang kami bisa fokus untuk mencari kos-kosan. Satu hal
lagi, aku belum diizinkan untuk membawa motor oleh ayahku, karena masih
dianggap belum siap mengarungi jalanan Yogyakarta yang penuh dengan
kendaraan-kendaraan roda berat. So, aku harus mendapatkan kos-kosan yang dekat
dari kampus, atau aku harus menghabiskan banyak uang setiap bulannya untuk
membiayai transportasi Trans Jogja. Aku juga tahu kondisi keuangan keluarga
saat itu seperti apa. Jadi kami sepakat untuk benar-benar fokus mencari
kos-kosan yang dekat dengan kampus.
Jam 7 pagi kami berangkat dari Sleman. Dan tiba di depan
kampus satu jam setelahnya. Kami kembali mencari-cari kos-kosan hingga ke
belakang kampus, tapi jawabannya tetap sama, penuh. Hingga jam 11 siang, kami
masih belum mendapatkan kos-kosan. Akhirnya dengan terpaksa, kami mencoba
berpencar, aku naik motor, sedangkan kakakku berjalan kaki.
Aku menaiki motor dan masuk ke belakang kampus lewat gang
yang berbeda. Baru aku belok di gang tersebut, sebuah rumah berwarna biru dengan
tulisan di depannya menggunakan spanduk membuat harapan bagiku. “Terima kos
putra dan putri”, itulah tulisan yang tertera dalam spanduk tersebut. Tanpa panjang
lebar, aku masuk dan menemui pemilik kos-kosan tersebut. Dan dengan hati yang
sangat gembira, aku langsung boking tempat tersebut.
Kami pun pulang lagi ke Sleman dan esoknya kami diantarkan
oleh saudara kami di Sleman tempat kos-kosan yang telah aku ceritakan
barusan. Dan ternyata, kos-kosan yang
akan aku tempati ini adalah kos-kosan mahasiswa yang juga untuk belajar bahasa
Inggris. Tutor-tutor di Asrama ini semuanya berasal dari Pare, Kampung Inggris
di Kediri Jawa Timur. Dari situlah aku memiliki harapan baru untuk
mengembangkan pembelajaran bahasa Inggrisku yang kacau balau. Jika kamu tahu,
aku belajar bahasa Inggris dari kelas 4 SD, tapi sampai saat itu, aku belum
bisa menulis satu cerpen-pun dalam bahasa Inggris. Padahal aku memiliki hobi
menulis. Tapi menulis dngan menggunakan bahasa Inggris, membuat imajinasiku
hilang. Yah, aku memiliki pengalaman buruk dengan Bahasa Inggris. Degan mempelajari
Tenses layaknya mempelajari ilmu matematika, guru yang pernah aku temui juga
ada yang galaknya minta ampun. Jadi dari saat itulah aku membenci bahasa
Inggris.
Dengan masuknya aku ke dalam anggota Rumah Inggris Jogja,
itulah sebutan kos-kosan kami, aku memiliki secercah cahaya yang amat terang
untuk memutus kebuntuanku akan bahasa Inggris. Setiap kenanganku akan bahasa
Inggris aku coba untuk melupakannya. Dari rumah Inggris inilah aku percaya,
bahasa Inggris bukanlah monster yang menakutkan.
Hari demi hari aku lalui kursus di Rumah Inggris Jogja. Dan
tidak disangka-sangka, aku menemukan family baru di asrama ini. Ya, Rumah
Inggris Jogja memiliki 4 asrama, dua untuk laki-laki, dua untuk perempuan. Dan
kebetulan, asramaku diberi nama Harvard Dormitory. Dengan jumlah anggota sekitar
10 orang yang ditambah beberapa tutor dan pengurus di dalamnya, kami menemukan
sebuah keluarga baru yang jauh dari rumah kami sendiri. Ada yang dari Lampung,
Jakarta, Jawa Timur, bahkan Aceh. Semua berkumpul membentuk sebuah tatanan
keluarga yang harmonis.
Di tempat ini pula aku menemukan kedamaian. Menemukan
semangat baru untuk menantang masa depan. Dan yang terpenting, aku mendapatkan
pengalaman—pengalaman baru yang sangat berharga. Aku yakin, kesan pertamaku di
Yogya bersama Rumah Inggris Jogja, merupakan pengalaman terbaik selama aku
mengenyam pendidikan di sini.
Setelah satu tahun kami bersama, tibalah saatnya kami
beerpisah. Setiap anak memiliki tempat kos-kosannya masing-masing. Kami
berpisah karena tak mungkin lagi kami bersama di Rumah Inggris Jogja. Materi
bahasa Inggris yang di rancang di kos-kosan ini hanya untuk jangka waaktu satu
tahun. Kalaupun kami bersama, berati kami akan mendapatkan materi yang sama setiap
tahunnya. Dari perpisahan inilah, kami merasa kesepian. Setiap hari yang penuh
keceriaan dan candaan, harus lenyap manakala kami berada di kosan yang sendiri.
===============
Ditulis oleh : idikms
20 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar