“Pokoknya ibu tak setuju kamu
berhubungan dengan dia!”
“Tapi bu, aku sudah terlanjur
nyaman dengan dia. Ini masalah cinta bu. Apa ibu sudah lupa bagaimana caranya
mencintai seseorang? Apa ibu lupa ketika mencintai ayah?”
“Cukup Intan! Cukup!”
“Ibu tidak paham bagaimana
mendidik anak! Andai ayah masih ada....”
PLAKKKKK...
Suara tamparan keras terdengar memenuhi
isi ruangan. Ukuran ruangan yang kecil, sekitar 3 x 3 meter ini menjadi sunyi
setelah suara hantaman tangan tadi terjadi. Kedua perempuan yang masih berdiri
di ruangan itu masih tetap saling menatap. Satu tatapan tetap tegar dengan
keputusannya, sementara tatapan yang lain sudah tidak kuat menahan tangis.
Intan, seorang perempuan berumur
21 tahun, mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta ini
merupakan anak satu-satunya dari pasangan Rasyid dan Laila. Ayah Intan, Rasyid,
sudah meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Sepeda motor yang
dikendarai Rasyid menabrak pohon karena menghindari mobil didepannya.
Keluarga kecil ini menjadi tidak
menentu arah setelah ditinggal Rasyid. Laila yang merupakan ibunda Intan,
menjadi satu-satunya orang yang bisa diandalkan untuk membiayai hidup keluarga.
Ditambah pula, biaya perkuliahan Intan di perguruan tinggi negeri ternama di
Yogyakarta, membuat keluarga ini hampir saja terpeleset kedalam lembah
kemiskinan.
Sepeninggal Rasyid, Laila mulai
melamar pekerjaan ke berbagai tempat. Dengan bermodalkan ijazah SMA yang dia
dapat dari SMA 70 Yogyakarta, dia terus berusaha untuk menyambung hidup
keluarganya. Setelah sekian bulan tidak mendapat pekerjaan, akhirnya Laila
menemukan tempat kerja, tidak jauh dari rumahnya, dengan penghasilan seadanya.
Laila menjadi buruh di perusahaan tekstil.
***
Tok tok tok...
“Intan?”, Laila mencoba
membangunkan Intan yang dari tadi malam tidak keluar dari kamar tidurnya.
“Intan? Maafkan ibu...” Laila
membujuk Intan dari luar kamarnya, “Ibu tidak ingin kamu salah dalam memilih
pasangan hidup. Ibu hanya ingin yang terbaik bagi masa depan kamu.”
“Intan?”
Tetap tidak ada jawaban dari
dalam kamar.
“Andre memang anak yang baik,
tapi dia hanya lulusan SMA, nak. Sementara kamu sudah hampir lulus kuliah. Ibu
hanya ingin pasangan kamu orang yang tepat, mengerti keadaan keluarga kita,
yang bisa membahagiakan kamu.”
Berkali-kali Laila mengetuk dan
membujuk Intan, tetap tidak ada jawaban.
Laila memaklumi anaknya yang
mengunci diri di dalam kamar. Mungkin ingin menenangkan pikiran, pikir
Laila.
***
Intan terbangun di emperan masjid
yang sudah dia kenal sebelumnya. Dia terbangun tepat pada subuh hari. Dia pergi
meninggalkan masjid untuk melanjutkan perjalanan. Entah kemana dia akan
melangkah.
Berjam-jam dia terus berjalan
menjauhi rumahnya. Sesekali dia menggunakan angkutan umum antar desa yang dia
temui di jalanan. Kemudian dia beristirahat di masjid-masjid yang dia temui.
Atau kadang dia singgah di warung makan untuk mengisi perut keroncongnya.
Tidak banyak uang yang dia
miliki. Hanya sekian ratus ribu hasil dia menabung selama kuliah. Intan memang
bukan anak yang pandai mengatur uang. Dia selalu hidup dalam keadaan nyaman
ketika ayahnya masih hidup. Dan perilaku itu tak bisa dirumah hanya dalam waktu
dua tahun sejak ayahnya meninggal. Dia tetap pribadi yang boros, keras kepala,
dan sangat egois.
Satu hari dia lalui dengan tegar.
Jauh dari rumah dan keluarga, memang sangat berat bagi setiap orang. Tapi
keputusan itu dia ambil karena merasa kecewa dengan sikap ibunya yang sangat
tradisional. Dia kembali membayangkan situasi berkecukupan ketika ayahnya masih
ada. Dia kembali membayangkan kenangan-kenangan manisnya bersama Andre,
laki-laki yang sangat dia cintai.
Namun kini, Andre menjauhinya.
Ibunya mendatangi rumah Andre dan meminta untuk menjauhi dirinya. Suatu
tindakan yang memang keterlaluan. Seorang ibu tidak seharusnya seperti itu.
Intan terus menerus meyakinkan dirinya bahwa tindakan yang dia lakukan memang
benar.
***
“Halo, Nadia?”
“Iya saya sendiri, ini dengan
siapa yah?”
“Saya ibunya Intan.”
“Oh, ibu. Ada apa bu?”
“Kira-kira Intan dimana yah? Dari
kemarin dia tidak ada dirumah.”
“Saya kurang tahu bu. Memang
Intan kemana bu sebelumnya? Tadi pagi juga dia tidak kuliah.”
“Aduh, gimana ini yah. Coba
hubungi teman-teman Intan, barangkali ada yang tahu keberadaan dia. Ibu takut
dia minggat dari rumah.”
“Minggat? Minggat kenapa bu?”
“Hanya masalah keluarga.”
“Oke bu, saya hubungi semua
teman-teman saya.”
“Makasih ya Nadia.”
“Iya bu sama-sama.”
Tutttt...tuttt.....tuttt....
Sambungan telepon pun terputus.
***
Ini sudah hari ketujuh sejak Intan
pergi dari rumah. Enam hari yang lalu dia masih bisa bertahan. Namun kini,
keadaannya menjadi berbeda. Uang yang menjadi modal dia sehari-hari, sudah
habis sejak tadi malam.
Intan mulai tampak bingung. Ada
sedikit penyesalan di dalam dirinya. Namun masih tetap ada iblis jahat yang
membisikkan kebenaran tindakannya. Intan sudah mengambil keputusan, dia tidak
akan pulang.
Dia mencoba menahan perutnya yang
sudah meminta jatah. Bingung seribu bingung. Disatu sisi dia tidak ingin
kembali ke rumah, tapi disisi yang lain dia tidak bisa hidup dalam keadaan
seperti itu. Ketegaran dirinya sudah mulai bimbang.
Hingga tengah malam, dia belum
makan. Dia sudah tidak tahan dengan penderitaan yang dia buat sendiri. Dia
pantang meminta-minta, tapi kali ini sudah terlanjur terdesak.
Dia mendekati sebuah warung nasi
pinggir jalan yang masih buka. Seorang ibu-ibu terlihat sedang fokus menggoreng
makanan.
“Ibu maaf, boleh saya minta makananannya?
Saya tidak punya uang.”
Ibu-ibu warung itu menoleh
kearahnya. Tampak geram.
“Saya ini pedagang mba, rugi lah
saya jika gratisan!”
“Tapi saya belum makan dari tadi
pagi bu...”, Intan tampak memelas dengan raut muka yang sangat pucat.
“Itu urusan kamu!”
Intan sudah patah harapan. Dia
sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia meninggalkan warung itu.
Namun baru beberapa meter dia
meninggalkan warung, ibu-ibu tadi memenaggilnya.
“Tunggu...”
Intan pun menoleh kearah warung.
“Sini, saya buatkan kamu
makanan.”
Mendengar ucapan itu, Intan
kembali melihat harapan.
Ibu-ibu warung itu kemudian
menggoreng makanan untuk Intan, sementara Intan duduk di depan warung. Sekitar
sepuluh menit berlalu, makanan pun tersaji. Ibu-ibu warung itu memberikan
sepiring makanan kepada Intan, lengkap dengan krupuk dan minumnya.
“Nah makan!”
Intan langsung memakan masakan
ibu-ibu warung itu. Suap demi suap, dia mulai merasa tampak cerah.
Namun beberapa saat kemudian,
tiba-tiba dalam pikirannya muncul sosok ibunya di rumah. Dia ingat bagaimana
ibunya membuatkan makanan setiap pagi. Sepiring nasi goreng, dilengkapi dengan krupuk,
selalu menjadi menu utama ibunya.
Dan saat itu, yang dimakan Intan
juga nasi goreng lengkap dengan krupuk. Suatu dimensi yang menjadi pengingat
akan ibunya.
“Tiga hari yang lalu, ada seorang
ibu-ibu datang ke warung ini, tengah malam”, ibu-ibu warung itu berbicara
kepada Intan sambil mengiris wortel.
“Ibu-ibu itu tampak pucat
wajahnya, sangat murung sekali. Terlihat sekali dia kehilangan harapan. Dia
datang ke sini dan berkata kepada saya bahwa dia sedang mencari anaknya yang
pergi dari rumah.
“Dia berusaha mencari anaknya,
tapi tidak ketemu. Dia pasrah. Dia curhat diwarung ini hingga menangis
tersedu-sedu. Saya tidak tega melihatnya.
“Lalu dia mengambil sebuah foto
dari dalam sakunya, memperlihatkannya kepada saya. Dia bilang, anaknya sangat
suka makan nasi goreng dengan krupuk. Dia meninggalkan uang kepada saya jikalau
suatu saat nanti anaknya mampir di warung ini.
“Dan tahukah siapa yang saya
ceritakan ini?”
Intan masih terdiam. Dia sudah
paham arah pembicaraan ibu-ibu warung itu. Dia sudah mulai menangis. Mengingat
perilakunya yang kurang ajar kepada ibunya.
“Dia ibu kamu, Intan!”, ibu-ibu
warung itu menyebutkan namanya seperti sudah lama kenal.
“Kembalilah ke rumah, ibumu sudah
lama menantimu. Jangan sekali-kali kamu mengecewakan hatinya. Dia yang telah
melahirkan kamu, dia juga yang memperjuangkan kamu hingga sekarang. Jangan
lepaskan, sebelum kamu benar-benar kehilangannya.”
Intan tidak kuat menahan tangisnya.
Dia mendekati ibu-ibu warung itu dan memeluknya dengan erat.
***
==============
Ditulis oleh : idikms
Tidak ada komentar:
Posting Komentar