Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Rabu, 11 Desember 2019

Ratapan Buta

 
Hari itu, aku mengajak ibu dan ayahku untuk pergi ke kota Bandung. Kota dimana segala pernak-pernik dipajang di sepanjang jalan. Kota dengan julukan si kota mode. Kota yang menjunjung tinggi keindahan dan kebebasan.

Kami ke Bandung degan mobil baruku yang baru ku beli beberapa minggu yang lalu. Kami menempuh perjalanan yang cukup lama untuk sampai di ibu kota Jawa Barat itu. Setidaknya kami menikmati setiap detik jalan yang kami lewati. Majalengka, Subang, Sumedang, merupakan 3 kabupaten yang kami lewati. Kami melihat ciri khas setiap kota yang mereka miliki. Sungguh mempesona. Beberapa kali kami mampir di rumah makan untuk mengisi perut yang keroncongan.


Dan tibalah kami di Bandung, pusat dari semua pusat keindahan di pulau jawa. Paris van Java. Aku langsung menuju tempat saudara kami di Cigondewahilir, wilayah Bandung bagian pojok yang jauh dari keramain kota. Dari pusat kota saja kita membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menuju ke rumah saudaraku itu. Perjalanan ini sungguh melelahkan.

Kami sampai di rumah mang Maksum, saudaraku yang memiliki hubungan dari keluarga ibuku. Jadi beliau adalah anak dari kakak ayahnya ibuku. Sulit juga untuk menjelaskan hal ini, karena jujur saja, aku juga tidak begitu mengerti dengan yang namanya nasab keluarga. Sing penting, ketika ibu atau ayah mengatakan itu saudara, berarti itu saudara. Begitulah pemikiran seorang mahasiswa yang tidak memiliki minat untuk mempelajari kehidupan keluarga besar yang ternyata keluarga besarku menyebar di semua penjuru di pulau Jawa, jika seandainya aku mau merunut semuanya.

Kami istirahat di rumah mang Maksum. Rumah yang relatif sederhana, tapi terkesan nyaman bagi mereka yang berkunjung. Tidak ada aroma kesombongan di dalam rumah ini. Adem. Ditambah kondisi yang jauh dari kota, jauh dari kebisingan, jauh dari polusi, jauh dari tindak-tanduk preman yang merajai setiap kawasan dipenjuru kota. Rumah ini nyaman sekali untuk ditinggali.

Keesokan harinya, aku dan ayahku menuju ke kota untuk membeli sesuatu, membeli makanan untuk kami dan juga untuk mang Maksum dan keluarganya. Tidak enak rasanya, kita menumpang tanpa memberikan sesuatu kepada mereka. Kemarin sempat memberikan makanan khas Kuningan, tapi kami rasa itu tidaklah cukup. Jadi kami memutuskan untuk ke kota Bandung membeli sesuatu hal yang berguna.. ibuku tidak ikut, karena ingin membantu bi Oyah, istri mang Maksum, untuk membuat makan siang selama kami pergi.

Tibalah aku di kota bandung, kota yang megah dalam hal ukurannya. Gedung menjulang dan spanduk-spanduk berjajar membentangkan setiap iklan. Setiap penjuru kota tampak ramai dengan kerumunan orang yang begitu banyak.

Aku dan ayahku membeli beberapa perlengkapan untuk diberikan kepada mang Maksum, dan juga membeli persediaan makan untuk kami, karena kami berniat bermalam selama tiga hari.

Ketika aku dan ayahku hendak pulang ke rumah mang Maksum, di tengah-tengah jalan, banyak gerombolan mobil densus dan polisi yang membunyikan sirine dan menuju ke jalan yang sama dengan jalan yang akan aku lewati. Banyak sekali. Polisi dari semua satuan, dan terlebih khusus densus 88 yang terkenal itu.

Dan ketika aku masuk di wilayah Cigondewahilir, semua orang berkerumun. Dor dar bunyi tembakan membuat semuanya takut. Menuju rumah mang Maksum sudah tinggal 300 meter lagi, tapi laju mobil kami terhenti karena bannyaknya gerombolan orang di sana. Gerombolan orang dengan mobil dan motor terparkir disisi kanan dan kiri jalan. Jalan tersebut sudah tidak bisa dilewati, dan memang tidak boleh dilewati, karena polisi menjaganya.

“Ada apa pak?”, tanya ayahku kepada polisi yang menghalau jalan.
“Ada teroris. Sekarang sedang dalam penyerbuan.”
“Kami mau ke rumah saudara kami  pak, mang Maksum.”
“Mang maksum?”
“Iya pak.”
“Waduh, teroris yang saya maksud itu sedang menyandera orang-orang yang ada di rumah mang Maksum. Empat orang katanya, mang maksum, dua orang ibu-ibu, sama satu lagi anaknnya mang Maksum yang masih umur 12 tahun.”

Mendengar ucapan itu, tubuh kami mulai tak karuan. Aku panik. Begitupun ayahku. Kami keluar mobil dan mencoba menerobos kerumunan orang yang sedang menyaksikan pertempuran sengit antara densus 88 dengan teroris yang menyandera rumah mang Maksum.

Kenapa harus rumah itu yang disandera ya Allah? Tanyaku dalam hati.
Ketika kami sudah dekat dengan Tempat Kejadian Perkara, lima orang polisi menyeret kami agar menjauhi zona bahaya. Aku berdua menangis. Tak tahan dengan kondisi yang melanda kami waktu itu.

Dan aku pun pingsan.
***

Setelah terbangun semuanya tampak seperti biasa. Aku sudah terbangun dari mimpi burukku. Tapi aneh. Benar-benar aneh. Banyak kerumunan orang keluar masuk rumah mang Maksum tanpa permisi. Mereka berkerudung dan berkopeah, membawa beras sambil mendengar kata-kata Innalillahi. Dengan situasi itu pula, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Teroris sialan. Brengsek. Kalian merenggut ibuku dengan sadis. Akan aku balaskan dendamku ini.

Tapi tiba-tiba ayahku datang dan merangkulku. Dia berbisik.
“Alhamdulillah ibumu selamat. Dia sedang dibawa ke rumah sakit. Kita harus kesana sekarang, setelah almarhum mang Maksum dikebumikan.”




 ==============
Ditulis oleh : idikms

28 Februari 2014


Tidak ada komentar: