Keserakahan membuat semuanya berubah. Manakala kita bukanlah siapa-siapa yang tak
di pandang oleh mereka. Mereka yang menginjak kebebasan. Mereka yang membuat
aturan tak jelas. Keterpihakan mereka terhadap kami, membuat semuanya hancur.
Dua kubu saling bertikai dengan hinaan, cacian, dan kehancuran.
Beberapa waktu yang lalu, kami (golongan mahasiswa)
mendapatkan berita baru dari atasan tertinggi kami, rektor, memberikan
pernyataan yang mengejutkan. Berita ini datang di setiap mading di pojok
kampus. Kami merenung sejenak. Entah ini sadar atau tidak, hati kami menjadi
miris.
Terpampang tulisan besar dengan poster-poster yang menarik,
kata-kata yang menusuk membuat rakyat jelata menangis. Nada-nada uang kembali
muncul walau pernah diredam beberapa tahun yang lalu. Yah tentu saja. Engkau
pasti dapat menebaknya. Jajaran rektorat menghendaki kenaikan biaya SPP yang
dianggap masih kecil dan tidak membantu bagi kemajuan Universitas. Hal serupa
pernah terjadi sebelumnya. Entah berapa tahun, 3 atau 4 tahun yang lalu. Tapi
generasi dulu mengecam tindakan itu dengan keras. Pecah dan hancur menjadi
bukti sebuah perlawanan. Namun tidak sebusuk itu seorang mahasiswa. Tidak
sejahat itu karakter mahasiswa. Engkau tidak tahu. Engkau tidak memahami apa
yang diperbuat. Engkau hanya menilai suatu anarkisme yang brutal. Disinilah aku
memulai. Aku ingin engkau tahu apa yang kami rasakan.
Poster itu sudah menyebar di seantero kampus. Di setiap
sudut-sudut mading, pasti ada. Setiap aku mengalihkan pandanganku, aku pasti
melihat poster menjijikan itu. Aku bukanlah orang kaya yang dengan mudahnya
mengeluarkan uang dengan tanganku sendiri. Aku bukan pula anak dari generasi
konglomerat yang bisa menyalurkan uang, yang bisa memindah tangankan uang dari
orang tua kepada pihak universitas. Aku bukan bagian dari itu. Aku hanyalah
seorang babu yang pengangguran. Kerja sana sini tak bisa karena aku tak punya
titel S1. Aku tak punya motor yang bisa digunakan untuk bekerja keliling.
Bahkan aku tak bisa online dengan lancar karena aku gagap teknologi. Bisakah
engkau memahami keadaanku saat ini?
Kejadian ini membuat kaum mayoritas mahasiswa membicarakan
hal ini dengan serius. Kampus kami kampus yang miskin. Dihuni oleh
golongan-golongan kere yang berasal entah dari mana, negeri antah barantah.
Tapi kami punya semangat. Kami punya tekad. Kami punya cita-cita mulia. Kami siap
mengobarkan kekuatan kami untuk menantang dunia.
Akhirnya golongan mahasiswa berkumpul di pinggir kantin
untuk membicarakan masalah ini. Masalah yang sudah membuat banyak pihak
kebingungan. Dipimpin oleh seseorang yang biasa menjadi provokator massa, kita
berunding. Kita bermusyawarah. Setiap orang menyampaikan pemikirannya,
pandangannya dan semua hal terbuka. Reformasi serasa tumbuh dalam keadaan-keadaan
seperti ini. Bahkan ucapanku pun ditanggapi dengan serius.
Selesai perundingan itu, kami menyetujui untuk melakukan
musyawarah dengan pihak kampus. Dengan diwakili oleh beberapa orang, kami siap
bertemu dengan rektor. Pada hari yang sudah ditentukan, perwakilan kami menuju ke
kantor rektorat dan bertemu langsung dengan bapak rektor, pemimpin tertinggi universitas.
Pihak kami menyampaikan dengan sopan keberatan kami dengan kenaikan harga SPP
kampus. Menyampaikan dengan berbagai data jika seandainya SPP kampus dinaikkan.
Tapi malang, niat baik mahasiswa tidak direspon dengan baik.
Rektor dengan prinsip kerasnya, menyatakan bahwa SPP akan dinaikkan. “Mau tidak
mau, siap tidak siap, mahasiswa harus menerima kebijakan ini,” ungkapnya.
Setelah pertemuan itu gagal, kami mengadakan perundingan
lagi. Dan memutuskan hasil yang kedua, yakni bertemu dengan semua Dekan dari
setiap Fakultas untuk mendukung gerakan mahasiswa. Kami siap dengan waktunya.
Kami siap dengan wakil yang akan kami kirimkan untuk mengumpulkan seluruh
Dekan.
Dan di hari yang sudah ditentukan, hal yang sama terjadi.
Kami yakin seluruh pihak Dekanat sudah dikontrol sepenuhnya oleh pihak
Rektorat. Kami yakin mereka sudah tidak ada harapan lagi untuk berada di pihak
kami.
Dengan kegagalan yang kedua itu, kami kembali mengadakan
pertemuan ketiga. Dengan hasil yang sudah dipertimbangkan secara matang.
Demonstrasi. Dan tentu saja, kami diingatkan oleh senior untuk melakukan
demonstrasi secara damai.
Ribuan mahasiswa dari berbagai fakultas berkumpul di depan
kantor rektorat untuk menyuarakan aspirasinya. Dengan banyak tuntutan khususnya
penolakan kenaikan biaya SPP, mahasiswa terus mengaung layaknya harimau yang
sedang kelaparan. Kami berharap pihak rektorat dapat keluar dari kantornya dan
menyampaikan sepatah atau dua patah kata untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Tapi sayang, sekali lagi harapan kami gagal. Pihak rektorat tidak ada yang
keluar untuk memberikan suatu penjelasan yang real. Kondisi tersebut membuat
keadaan semakin memanas.
Dengan kegagalan yang ke tiga ini, kami kembali lagi
mengadakan pertemuan. Dengan massa yang sekarang sangat banyak, kami berkumpul
di lapangan kampus di sore hari untuk membicarakan langkah selanjutnya. Dan
dengan tegas, senior yang diiringi presiden mahasiswa dan seluruh jajarannya
menyatakan demo besar-besaran. Kami menganggap aspirasi kami tidak didengar.
Setiap jalan sudah kami lalui, tapi tetap buntu. Tidak ada upaya dari pihak
kampus untuk melerai perpecahan ini. Mereka sengaja membuat singa mengamuk di hutan
rimba.
Keesokan harinya, kami berkumpul di suatu lapangan di luar
kampus. Lapangan sepak bola yang begitu luas. Ketika aku masuk ke lapangan itu,
dari ujung ke ujung, hanya kepala manusia yang aku temui. Semua mahasiswa
memiliki prinsip yang sama. Memiliki tujuan yang sama. Memiliki kehendak yang
sama. Kami berkumpul sebagai saudara di bawah desakan diktator. “Satu tujuan,
satu komando,” teriak orator-orator garang sambil membawa toa.
Dengan instruksi khusus dari presiden mahasiswa, kami siap
membumikan universitas. Kami berjalan ke arah kampus dengan tertib. Dikawal
oleh beberapa polisi untuk mengamankan arus di jalanan.
Setelah kami sampai di depan gedung rektorat, kami tidak
menyangka, banyak polisi berjajar di depan gerbang. Ratusan entah ribuan polisi
berjajar di depan kampus. Melihat kondisi ini, kami sudah yakin pikiran
rektorat akan tingkah laku kami. Kami yakin mereka akan melawan. Mereka akan
tetap menaikkan biaya SPP dengan perbandingan biaya yang sangat jauh dari biaya
sebelumnya.
Baru kami menyuarakan saja, hawa panas amarah sudah melekat
di dalam hati kami. Ditambah dengan tawaan dan cemoohan polisi yang sok jago
itu terhadap kami. Memang jumlah kami lebih banyak dari polisi. Tapi
ketangkasan polisi dengan senjatanya yang lengkap, tentu menjadi keunggulan
tersendiri.
Dua jam kami menyuarakan aspirasi, tapi tidak ada yang
keluar. Panas terik matahari membakar ubun-ubun kami. Beberapa mahasiswa ada
yang sudah berani melempar botol minuman ke arah petugas. Kondisi ini semakin
kacau. Bahkan, beberapa mahasiswa sudah mulai melempar batu-batuan. Kondisi
benar-benar sudah tak terkendali. Ditambah polisi yang membalas serangan kami
dan mulai maju untuk membubarkan aksi massa.
Dari sini lah peperangan dimulai. Mahasiswa tidak akan
mundur begitu saja untuk mencapai satu tujuan. Orde baru dapat kami taklukkan
walau dengan nyawa. Kami akan merebut semua harapan bangsa bahkan walau
berhadapan dengan buaya berpistol.
Jumlah kami semakin menit semakin bertambah.
Mahasiswa-mahasiswa yang tadinya tidak ikut demonstrasi demi mengikuti
perkuliahan, dengan semangat solidaritas, mereka bergabung. Ribuan, belasan
ribu dan sampai mendekai angka 20 ribu, berkumpul dan mendesak polisi untuk
mundur. Mungkin ini adalah aksi terbesar di universitas kami sepanjang sejarah.
Bahkan kami dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa pascasarjana yang pemikirannya
sudah matang.
Dalam satu jam setengah kami menyerang polisi, akhirnya
gedung rektorat dapat dilumpuhkan. Ketika kami masuk gedung, semua orang sudah
tiada. Tidak ada satu pun orang yang ada di sana. Petugas rektorat, rektor dan
semua yang biasa ada, sudah lari terbirit-birit.
Dengan kekecewaan kami menghancurkan fasilitas. Semua akal
sehat serasa hilang di pikiran kami. Mobil rektor yang masih terparkir kami
bakar hingga habis. Bunyi-bunyi sirine semakin lama semakin kencang. Ribuan
polisi datang untuk mengambil alih keadaan. Ambulan dan wartawan memadati
lokasi. Kami bubar setelah amarah kami terluapkan.
==============
Ditulis oleh : idikms
12 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar