Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Rabu, 11 Desember 2019

Tak Ada Jalan


Keserakahan membuat semuanya berubah.  Manakala kita bukanlah siapa-siapa yang tak di pandang oleh mereka. Mereka yang menginjak kebebasan. Mereka yang membuat aturan tak jelas. Keterpihakan mereka terhadap kami, membuat semuanya hancur. Dua kubu saling bertikai dengan hinaan, cacian, dan kehancuran. 

Beberapa waktu yang lalu, kami (golongan mahasiswa) mendapatkan berita baru dari atasan tertinggi kami, rektor, memberikan pernyataan yang mengejutkan. Berita ini datang di setiap mading di pojok kampus. Kami merenung sejenak. Entah ini sadar atau tidak, hati kami menjadi miris.


Terpampang tulisan besar dengan poster-poster yang menarik, kata-kata yang menusuk membuat rakyat jelata menangis. Nada-nada uang kembali muncul walau pernah diredam beberapa tahun yang lalu. Yah tentu saja. Engkau pasti dapat menebaknya. Jajaran rektorat menghendaki kenaikan biaya SPP yang dianggap masih kecil dan tidak membantu bagi kemajuan Universitas. Hal serupa pernah terjadi sebelumnya. Entah berapa tahun, 3 atau 4 tahun yang lalu. Tapi generasi dulu mengecam tindakan itu dengan keras. Pecah dan hancur menjadi bukti sebuah perlawanan. Namun tidak sebusuk itu seorang mahasiswa. Tidak sejahat itu karakter mahasiswa. Engkau tidak tahu. Engkau tidak memahami apa yang diperbuat. Engkau hanya menilai suatu anarkisme yang brutal. Disinilah aku memulai. Aku ingin engkau tahu apa yang kami rasakan.

Poster itu sudah menyebar di seantero kampus. Di setiap sudut-sudut mading, pasti ada. Setiap aku mengalihkan pandanganku, aku pasti melihat poster menjijikan itu. Aku bukanlah orang kaya yang dengan mudahnya mengeluarkan uang dengan tanganku sendiri. Aku bukan pula anak dari generasi konglomerat yang bisa menyalurkan uang, yang bisa memindah tangankan uang dari orang tua kepada pihak universitas. Aku bukan bagian dari itu. Aku hanyalah seorang babu yang pengangguran. Kerja sana sini tak bisa karena aku tak punya titel S1. Aku tak punya motor yang bisa digunakan untuk bekerja keliling. Bahkan aku tak bisa online dengan lancar karena aku gagap teknologi. Bisakah engkau memahami keadaanku saat ini?

Kejadian ini membuat kaum mayoritas mahasiswa membicarakan hal ini dengan serius. Kampus kami kampus yang miskin. Dihuni oleh golongan-golongan kere yang berasal entah dari mana, negeri antah barantah. Tapi kami punya semangat. Kami punya tekad. Kami punya cita-cita mulia. Kami siap mengobarkan kekuatan kami untuk menantang dunia.

Akhirnya golongan mahasiswa berkumpul di pinggir kantin untuk membicarakan masalah ini. Masalah yang sudah membuat banyak pihak kebingungan. Dipimpin oleh seseorang yang biasa menjadi provokator massa, kita berunding. Kita bermusyawarah. Setiap orang menyampaikan pemikirannya, pandangannya dan semua hal terbuka. Reformasi serasa tumbuh dalam keadaan-keadaan seperti ini. Bahkan ucapanku pun ditanggapi dengan serius.

Selesai perundingan itu, kami menyetujui untuk melakukan musyawarah dengan pihak kampus. Dengan diwakili oleh beberapa orang, kami siap bertemu dengan rektor. Pada hari yang sudah ditentukan, perwakilan kami menuju ke kantor rektorat dan bertemu langsung dengan  bapak rektor, pemimpin tertinggi universitas. Pihak kami menyampaikan dengan sopan keberatan kami dengan kenaikan harga SPP kampus. Menyampaikan dengan berbagai data jika seandainya SPP kampus dinaikkan.

Tapi malang, niat baik mahasiswa tidak direspon dengan baik. Rektor dengan prinsip kerasnya, menyatakan bahwa SPP akan dinaikkan. “Mau tidak mau, siap tidak siap, mahasiswa harus menerima kebijakan ini,” ungkapnya.

Setelah pertemuan itu gagal, kami mengadakan perundingan lagi. Dan memutuskan hasil yang kedua, yakni bertemu dengan semua Dekan dari setiap Fakultas untuk mendukung gerakan mahasiswa. Kami siap dengan waktunya. Kami siap dengan wakil yang akan kami kirimkan untuk mengumpulkan seluruh Dekan.

Dan di hari yang sudah ditentukan, hal yang sama terjadi. Kami yakin seluruh pihak Dekanat sudah dikontrol sepenuhnya oleh pihak Rektorat. Kami yakin mereka sudah tidak ada harapan lagi untuk berada di pihak kami.

Dengan kegagalan yang kedua itu, kami kembali mengadakan pertemuan ketiga. Dengan hasil yang sudah dipertimbangkan secara matang. Demonstrasi. Dan tentu saja, kami diingatkan oleh senior untuk melakukan demonstrasi secara damai.

Ribuan mahasiswa dari berbagai fakultas berkumpul di depan kantor rektorat untuk menyuarakan aspirasinya. Dengan banyak tuntutan khususnya penolakan kenaikan biaya SPP, mahasiswa terus mengaung layaknya harimau yang sedang kelaparan. Kami berharap pihak rektorat dapat keluar dari kantornya dan menyampaikan sepatah atau dua patah kata untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tapi sayang, sekali lagi harapan kami gagal. Pihak rektorat tidak ada yang keluar untuk memberikan suatu penjelasan yang real. Kondisi tersebut membuat keadaan semakin memanas.

Dengan kegagalan yang ke tiga ini, kami kembali lagi mengadakan pertemuan. Dengan massa yang sekarang sangat banyak, kami berkumpul di lapangan kampus di sore hari untuk membicarakan langkah selanjutnya. Dan dengan tegas, senior yang diiringi presiden mahasiswa dan seluruh jajarannya menyatakan demo besar-besaran. Kami menganggap aspirasi kami tidak didengar. Setiap jalan sudah kami lalui, tapi tetap buntu. Tidak ada upaya dari pihak kampus untuk melerai perpecahan ini. Mereka sengaja membuat singa mengamuk di hutan rimba.

Keesokan harinya, kami berkumpul di suatu lapangan di luar kampus. Lapangan sepak bola yang begitu luas. Ketika aku masuk ke lapangan itu, dari ujung ke ujung, hanya kepala manusia yang aku temui. Semua mahasiswa memiliki prinsip yang sama. Memiliki tujuan yang sama. Memiliki kehendak yang sama. Kami berkumpul sebagai saudara di bawah desakan diktator. “Satu tujuan, satu komando,” teriak orator-orator garang sambil membawa toa.

Dengan instruksi khusus dari presiden mahasiswa, kami siap membumikan universitas. Kami berjalan ke arah kampus dengan tertib. Dikawal oleh beberapa polisi untuk mengamankan arus di jalanan.

Setelah kami sampai di depan gedung rektorat, kami tidak menyangka, banyak polisi berjajar di depan gerbang. Ratusan entah ribuan polisi berjajar di depan kampus. Melihat kondisi ini, kami sudah yakin pikiran rektorat akan tingkah laku kami. Kami yakin mereka akan melawan. Mereka akan tetap menaikkan biaya SPP dengan perbandingan biaya yang sangat jauh dari biaya sebelumnya.

Baru kami menyuarakan saja, hawa panas amarah sudah melekat di dalam hati kami. Ditambah dengan tawaan dan cemoohan polisi yang sok jago itu terhadap kami. Memang jumlah kami lebih banyak dari polisi. Tapi ketangkasan polisi dengan senjatanya yang lengkap, tentu menjadi keunggulan tersendiri.

Dua jam kami menyuarakan aspirasi, tapi tidak ada yang keluar. Panas terik matahari membakar ubun-ubun kami. Beberapa mahasiswa ada yang sudah berani melempar botol minuman ke arah petugas. Kondisi ini semakin kacau. Bahkan, beberapa mahasiswa sudah mulai melempar batu-batuan. Kondisi benar-benar sudah tak terkendali. Ditambah polisi yang membalas serangan kami dan mulai maju untuk membubarkan aksi massa.

Dari sini lah peperangan dimulai. Mahasiswa tidak akan mundur begitu saja untuk mencapai satu tujuan. Orde baru dapat kami taklukkan walau dengan nyawa. Kami akan merebut semua harapan bangsa bahkan walau berhadapan dengan buaya berpistol.

Jumlah kami semakin menit semakin bertambah. Mahasiswa-mahasiswa yang tadinya tidak ikut demonstrasi demi mengikuti perkuliahan, dengan semangat solidaritas, mereka bergabung. Ribuan, belasan ribu dan sampai mendekai angka 20 ribu, berkumpul dan mendesak polisi untuk mundur. Mungkin ini adalah aksi terbesar di universitas kami sepanjang sejarah. Bahkan kami dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa pascasarjana yang pemikirannya sudah matang.

Dalam satu jam setengah kami menyerang polisi, akhirnya gedung rektorat dapat dilumpuhkan. Ketika kami masuk gedung, semua orang sudah tiada. Tidak ada satu pun orang yang ada di sana. Petugas rektorat, rektor dan semua yang biasa ada, sudah lari terbirit-birit.

Dengan kekecewaan kami menghancurkan fasilitas. Semua akal sehat serasa hilang di pikiran kami. Mobil rektor yang masih terparkir kami bakar hingga habis. Bunyi-bunyi sirine semakin lama semakin kencang. Ribuan polisi datang untuk mengambil alih keadaan. Ambulan dan wartawan memadati lokasi. Kami bubar setelah amarah kami terluapkan.




==============
Ditulis oleh : idikms
12 Maret 2014

Tidak ada komentar: