Para
pekerja yang bekerja di BUM Desa umumnya tidak mendapatkan kepastian hukum
dalam hal upah kerja yang harus diterima, karena dalam
implementasi di lapangan pengupahan terhadap pekerja di lingkungan BUM Desa ditentukan oleh kemampuan BUM Desa itu
sendiri.[1]
Realita pengupahan tersebut tentu tidak memberikan perlindungan bagi para
pekerja karena upah yang diberikan bisa saja di bawah upah minimum sebagaimana
telah ditentukan oleh pemerintah daerah. Hal ini tentu bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Lebih dari itu, tidak adanya satu pasal yang mengatur tentang perlindungan upah
bagi para pekerja BUM Desa baik di Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2015 tentang
BUM Desa maupun di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menyulitkan
bagi para pengurus/pengelola
di BUM Desa dalam mengatur besaran upah yang harus diberikan.
Masalah
esensial lain adalah hubungan hukum diantara para pihak yang juga perlu untuk
ditelaah lebih jauh. Apakah hubungan hukum antara BUM Desa dengan para pekerjanya bisa dikategorikan sebagai
hubungan kerja?
Jika ditarik definisi umum tentang hubungan kerja di Pasal 1 angka
15 UU Ketenagakerjaan,
disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja,
yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah,
dan perintah.
Dalam implementasi di lapangan, pekerjaan yang ditetapkan oleh unit usaha BUM
Desa seringkali bisa dikerjakan di rumah dan
memiliki jam kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU
Ketenagakerjaan. Inkonsistensi antara norma dan realita inilah yang memerlukan penelitian
lebih mendalam tentang hubungan hukum diantara BUM Desa dengan para pekerjanya,
apakah merupakan bentuk hubungan kerja atau merupakan mitra kerja dengan
masyarakat.
Konsep
kemitraan bukan merupakan hubungan kerja karena tidak didasarkan pada perjanjian kerja,
namun didasarkan pada perjanjian kemitraan (partnership agreement). Praktik di
lapangan istilah perjanjian kemitraan dan perjanjian kerja seringkali digunakan
oleh pengusaha dengan tidak tepat, sehingga suatu perjanjian
kerja bisa jadi dalam pandangan hukum masuk kategori perjanjian kemitraan,
begitu sebaliknya. Agus Mulya Karsona berpendapat bahwa
hubungan kemitraan bersifat mutualisme, sehingga posisi para pihak adalah setara.
Hal ini berbeda dengan hubungan kerja dimana posisi pengusaha dan pekerja bersifat atasan-bawahan/subordinasi.[2] Jika
hubungan hukum antara BUM Desa dengan pekerjanya dalam pandangan hukum
dianggap sebagai hubungan kemitraan, maka setiap pengupahan tidak tunduk
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan,
dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan.
Permasalahan-permasalahan di atas
mengenai bidang ketenagakerjaan di BUM Desa terkhusus dalam hal pengupahan menarik
perhatian penulis untuk menelaahnya lebih jauh. Penulis tertarik untuk meneliti
kesesuaian norma yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan,
peraturan perundang-undangan tentang BUM Desa dan juga peraturan tentang pengupahan. Berdasarkan
norma yang ada, penulis meneliti implementasi nyata di lapangan dalam memenuhi
hak-hak pekerja di BUM Desa, utamanya mengenai upah.
Oleh karena itu, penulis meneliti tentang masalah ini dengan mengambil sampel
di BUM Desa X,
di Kecamatan Sewon,
Kabupaten Bantul.
[1]“Penentuan Besaran Gaji untuk Pengelola BUM Desa”,
https://bumdes.id/2018/03/penentuan-besaran-gaji-untuk-pengelola-bum-desa/,
diakses pada tanggal 19 Maret 2019, pukul 10:05.
[2] Letezia Tobing, “Sopir Taksi Karyawan atau Mitra Usaha?”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51d2eb82cc175/sopir-taksi--karyawan-atau-mitra-usaha/,
diakses pada tanggal 14 April 2019, pukul 15:20.
BUKU INI SUDAH BISA ANDA AKSES DI GOOGLE PLAY BOOKS
============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar