Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Senin, 13 Januari 2020

Kasus Keagenan Tunggal Antara Indiana Auto dan Indo Auto



A.  Latar Belakang
Indiana Auto Ltd (”Indiana Auto”), sebuah perusahaan automotif berskala internasional yang berbadan hukum India telah menjalin kesepakatan kerjasama dengan mitranya di Indonesia yaitu PT Indo Auto (”Indo Auto”) yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Jakarta Selatan, bergerak dalam bidang industri kendaraan bermotor. Bentuk kerjasama tersebut berupa pemberian hak eksklusif untuk menjual dan merakit produk milik Indiana Auto yang berbentuk kendaraan komersial berupa truk beserta suku cadangnya. Untuk mengatur kerjasama tersebut pada tanggal 2 Juni 2006 para pihak telah menandatangani perjanjian-perjanjian sebagai berikut:

1.          Distributorship Agreement yang pada pokoknya mengatur mengenai penunjukkan pihak Indo Auto menjadi distributor eksklusif untuk menjual produk-produk milik Indiana Auto di seluruh wilayah Indonesia.
2.          Technical License Agreement yang pada pokoknya mengatur mengenai pemberian hak dan lisensi dari Indiana Auto kepada Indo Auto untuk memproduksi di Indonesia produk-produk berlisensi milik Indiana Auto dengan cara merakit komponen dari kendaraan-kendaraan yang diekspor ke Indonesia dalam bentuk komponen completely knock down (CKD) oleh Indo Auto bersama komponen-komponen lain yang berasal dari Indonesia (komponen lokal) sesuai dengan petunjuk dan informasi yang diberikan oleh Indiana Auto kepada  Indo Auto.
3.          Supply Agreement yang pada pokoknya mengatur mengenai adanya kesepakatan antara Indiana Auto dengan Indo Auto dimana Indiana Auto akan menyediakan komponen knock down parts yaitu suku cadang kendaraan yang dikirim ke Indonesia sekaligus memberikan hak eksklusif kepada Indo Auto untuk menjual kepada distributor dan dealer-dealer di seluruh wilayah Indonesia.
Ketiga perjanjian tersebut berlaku selama 1 (satu) tahun sejak ditandatangani para pihak dan otomatis diperpanjang untuk tahun berikutnya sampai ada pemberitahuan pengakhiran perjanjian yang dilakukan minimal 9 (sembilan) bulan sebelum perjanjian diakhiri. Untuk ketiga perjanjian tersebut para pihak sepakat bahwa pilihan hukumnya adalah menggunakan Hukum Negara Republik India dan forum penyelesaian sengketa yang disepakati apabila timbul sengketa dikemudian hari akan diselesaikan  melalui Indian Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India.

Bahwa untuk memenuhi hak dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam perjanjian sebagai agen tunggal di Indonesia, Indo Auto telah mendapatkan izin keagenan berupa Surat Pengakuan Keagenan Kendaraan Bermotor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Disamping itu Indo Auto juga telah mengeluarkan biaya-biaya investasi berupa:
a)       pembelian lahan pabrik serta pembangunannya yang terletak di Jl. Jeruk Manis No.1 Karawang, Jawa Barat senilai Rp. 80.000.000.000,- (delapan puluh milyar Rupiah);
b)       pembelian mesin-mesin dan alat pendukung penjualan serta perakitan produk-produk di Indonesia yaitu (i) mesin untuk peralatan berat forklift senilai Rp. 52.000.000.000,- (lima puluh dua milyar), (ii) kendaraan operasional untuk penjualan dan mengantarkan truk kepada dealer senilai 3.000.000.000,- (tiga milyar Rupiah), (iii) peralatan untuk merakit produk-produk dan alat-alat kantor senilai 11.000.000.000,- (sebelas milyar Rupiah).
Disamping pengeluaran untuk investasi dan produksi tersebut pihak Indo Auto juga telah mengeluarkan biaya-biaya promosi dan komisi penjualan untuk dealer-dealer di seluruh wilayah Indonesia dengan tujuan agar produk-produk Indiana Auto hasil rakitan di Indonesia dapat bersaing dengan kompetitor yang telah menguasai pasar truk di Indonesia. Biaya promosi dan komisi yang telah dikeluarkan adalah senilai Rp. 520.000.000.000,- (lima ratus dua puluh milyar Rupiah).
Setelah perjanjian kerjasama tersebut berjalan kurang lebih selama 5 tahun, tiba-tiba pihak Indiana Auto selaku prinsipal di India menghentikan kerjasama dengan pihak Indo Auto dengan jalan memutuskan sepihak perjanjian-perjanjian yang pernah dibuat yaitu Distributorship Agreement, Supply Agreement dan Technical License Agreement melalui surat dari Indiana Auto tertanggal 1 Oktober 2011. Terhadap tindakan Indiana Auto yang telah secara sepihak mengakhiri perjanjian-perjanjian, Indo Auto telah beberapa kali berusaha untuk menghubungi Indiana Auto baik secara lisan maupun tertulis guna bertemu agar dapat melakukan negosiasi dengan harapan agar Indiana Auto bersedia untuk membatalkan pengakhiran atas perjanjian-perjanjian. Upaya-upaya Indo Auto untuk menghubungi Indiana Auto telah dilakukan melalui surat masing-masing tertanggal 3 Oktober 2011 dan 20 Oktober 2011 namun tidak mendapat tanggapan memuaskan dari Indiana Auto. Dalam surat tersebut Indo Auto menjelaskan kerugian yang dialami Indo Auto sebagai akibat diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh Indiana, yaitu terkait dengan biaya-biaya investasi yang telah dikeluarkannya dan hilangnya proyeksi keuntungan yang diharapkan apabila perjanjian-perjanjian dapat berlangsung lebih lama. Indo Auto telah berusaha untuk membujuk, merayu Indiana Auto agar mau membuka negosiasi terkait dengan pengakhiran perjanjian.
Sebaliknya Indiana Auto bukan tanpa alasan mengakhiri perjanjian-perjanjian yang pernah dibuatnya dengan Indo Auto. Indiana Auto beralasan bahwa pengakhiran tersebut karena Indiana Auto menilai bahwa kinerja (performance) dari Indo Auto sebagai agen tunggal yang menjual, merakit dan menyalurkan produk-produk Indiana Auto tidak memenuhi target yang ditetapkan dalam Distributorship dan Supply Agreement. Dalam Distributorship dan Supply Agreement telah diatur mengenai batas jumlah pesanan minimum yang harus dipenuhi oleh Indo Auto yaitu untuk tahun pertama sejumlah 3.000 unit truk, tahun kedua sejumlah 5.000 unit truk, tahun ketiga sejumlah 7.000 unit truk dan tahun ke empat sejumlah 9.000 unit truk. Namun realisasinya ternyata Indo Auto hanya bisa menjual, merakit dan mendistribusikan di bawah dari target yang telah ditetapkan prinsipal. Selain itu produk-produk hasil rakitan Indo Auto ternyata tidak memenuhi standar kualitas untuk sebuah truk sehingga kurang laku di pasaran Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indo Auto menggunakan beberapa komponen KW2 tanpa sepengetahuan Indiana Auto sebagai prinsipal karena ingin menekan ongkos produksi.
Dalam perjanjian disebutkan bahwa prinsipal (Indiana Auto) berhak untuk mengakhiri perjanjian apabila mitra usaha (Indo Auto) tidak memenuhi target pesanan minimum (minimum order) dengan ketentuan pemberitahuan dilakukan dalam waktu 9 (sembilan) bulan sebelum pengakhiran perjanjian, yang mana hal itu telah dilakukan oleh Indiana Auto. Selain itu terdapat aturan bahwa prinsipal berhak untuk mengakhiri perjanjian apabila mitra usaha tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh pihak prinsipal.
Karena target pesanan minimum yang tidak tercapai dalam kurun waktu 4 tahun sejak perjanjian ditandatangani dan adanya kualitas hasil rakitan Indo Auto yang tidak memenuhi standar kualitas untuk sebuah truk karena menggunakan komponen KW2, pihak Indiana Auto mencatat kerugian sejumlah USD.5.000.000,- (lima juta Dolar  Amerika Serikat) yaitu berupa target ekspor yang tidak tercapai, persediaan truk dan kompenen CKD, suku cadang menumpuk di gudang penyimpanan yang menimbulkan biaya gudang menjadi tinggi dan potensi penyusutan barang dalam persediaan. Indiana Auto juga dirugikan nama baiknya dengan beredarnya truk merk Indiana Auto di pasaran Indonesia namun dengan kualitas yang tidak memenuhi standar dari prinsipal di India. Indiana Auto harus bersusah payah untuk mencari pangsa pasar ke negara lain agar produknya bisa terserap pasar. Atas kerugian-kerugian yang dideritanya, Indiana Auto pada tanggal 1 November 2011 telah mengajukan permohonan arbitrase di Indian Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku. Setelah melalui proses persidangan selama kurang lebih 6 bulan, Majelis Arbitrase pada ICA telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya mengabulkan permohonan arbitrase Indiana Auto selaku Pemohon, dimana Indo Auto selaku Termohon dihukum untuk membayar ganti kerugian yang diderita Pemohon sebesar USD. 5.000.000,- (lima juta Dolar Amerika Serikat).

B.  Rumusan Masalah
1.          Apabila Saudara dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indo Auto:
a.       Apakah gugatan kepada Indiana Auto akibat pengakhiran perjanjian secara sepihak dapat diajukan ke Pengadilan di Indonesia? Jika dapat, Pengadilan Negeri mana yang memiliki kompetensi untuk mengadili sengketa tersebut?
b.      Apakah dasar gugatan yang akan saudara ajukan? wanprestasi atau perbuatan melawan hukum?
c.       Apakah ketentuan-ketentuan pasal 1266 dan 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta pasal 25 dan 26 Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 295/M/SK/7/1982 tanggal 7 Juli 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan tentang Keagenan Tunggal dapat dijadikan dasar gugatan di Pengadilan Indonesia?
d.      Apakah Indo Auto dapat mengajukan tuntutan ganti rugi akibat kehilangan keuntungan yang diharapkan?
e.       Jika Indo Auto menolak putusan arbitrase ICA, apakah dapat dilakukan upaya-upaya hukum terhadap putusan arbitrase ICA tersebut?
2.          Apabila Saudara dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indiana Auto.
a.    Putusan arbitrase ICA adalah putusan arbitrase internasional dan tidak mencantumkan titel eksekutorial berupa: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apakah putusan arbitrase ICA dapat dieksekusi di Indonesia?
b.    Upaya-upaya hukum apa yang akan saudara tempuh untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia?
c.    Apa persyaratan-persyaratan yang harus dipersiapkan/dipenuhi untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia?
d.   Apakah ada batas waktu untuk eksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia?
e.    Jika Indo Auto memiliki harta berupa tanah dan bangunan di Denpasar, Makassar dan Palembang, apakah harta kekayaan tersebut dapat disita? Jika dapat, bagaimana teknis penyitaannya?

C. Pembahasan
1.      Apabila kami dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indo Auto:
a.       Gugatan kepada Indiana Auto akibat pengakhiran perjanjian secara sepihak tidak dapat diajukan ke Pengadilan di Indonesia.
Indiana Auto dan Indo Auto (selanjutnya disebut “para pihak”) telah menandatangani perjanjian-perjanjian yaitu Distributorship Agreement, Technical License Agreement dan Supply Agreement. Untuk ketiga perjanjian tersebut para pihak sepakat bahwa pilihan hukumnya adalah menggunakan Hukum Negara Republik India dan forum penyelesaian sengketa yang disepakati apabila timbul sengketa dikemudian hari akan diselesaikan melalui Indian Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India. 
Berdasarkan hal tersebut, gugatan kepada Indiana Auto akibat pengakhiran perjanjian secara sepihak tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Undang-Undang Arbitrase) mengatur ketentuan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Arbitrase. Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Arbitrase. Oleh sebab itu, pertanyaan b dan c dalam rumusan masalah yakni:
b.    Apakah dasar gugatan yang akan saudara ajukan? Wanprestasi atau perbuatan melawan hukum?
c.     Apakah ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1365 KUHPerdata, serta Pasal 25 dan 26 Kepmenperin dapat dijadikan dasar gugatan di Pengadilan Indonesia?
Tidak perlu diuraikan jawabannya. Hal ini karena para pihak sepakat bahwa pilihan hukumnya adalah menggunakan Hukum Negara Republik India dan forum penyelesaian sengketa yang disepakati apabila timbul sengketa dikemudian hari akan diselesaikan melalui Indian Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India. 

d.      Indo Auto dapat mengajukan tuntutan ganti rugi akibat kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Indo Auto (penggugat) dapat mengajukan tuntutan ganti rugi akibat kehilangan keuntungan yang diharapkan (ganti rugi immaterial), disamping gugatan materil berupa biaya-biaya investasi yang telah dikeluarkan penggugat. Kerugian immateriil adalah kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima oleh pemohon dikemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh pemohon di kemudian hari. Kerugian materiil adalah kerugian yang nyata-nyata ada diderita pemohon.[1]
Akan tetapi, apabila merujuk pada yurisprudensi yang ada, yakni  dalam Putusan Perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994, Hakim MA menentukan bahwa berdasarkan Pasal 1370, Pasal 1371, dan Pasal 1372 KUHPerdata, ganti kerugian immaterial hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja, seperti perkara kematian, luka berat, dan penghinaan. Namun demikian perlu diingat bahwa tuntutan ganti rugi akibat kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh Indo Auto tersebut harus diajukan melalui Indian Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India. 

e.       Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Indo Auto terhadap putusan arbitrase ICA jika Indo Auto menolak putusan arbitrase ICA.
Indo Auto dapat menolak putusan arbitrase ICA dengan cara melakukan upaya hukum. Hal tersebut berdasarkan Article V (1) e of Convention on the Recogniton and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (“New York Convention 1958”):
1.  Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that:
e) The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or supended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e New York Convention 1958 tersebut, maka Indo Auto dapat mengajukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase asing (ICA) berdasarkan hukum yang berlaku di India. Oleh karena itu, permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase ICA tersebut juga harus diajukan di lembaga pengadilan India yang ditunjuk/berwenang membatalkan putusan-putusan arbitrase ICA.
Selain itu, Indo Auto dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar Putusan Arbitrase ICA tidak mendapatkan eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini berdasarkan Penjelasan Pasal 66 huruf d Undang-Undang Arbitrase, yang mengatur ketentuan bahwa suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).

2.      Apabila kami dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indiana Auto:
a.    Putusan arbitrase ICA adalah putusan arbitrase internasional dan tidak mencantumkan titel eksekutorial berupa: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Setiap putusan pengadilan harus berisikan kepala putusan. Pada bagian atas putusan haruslah mempunyai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan.[2] Hal ini berarti bahwa suatu putusan peradilan Indonesia baru dapat dieksekusi apabila didalamnya terdapat titel demi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Putusan arbitrase ICA adalah putusan arbitrase internasional yang dijatuhan oleh lembaga internasional di luar wilayah hukum Republik Indonesia, maka dengan demikian dalam putusannya tidak mengenal irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, putusan arbitrase ICA tidak memiliki kekuatan eksekutorial secara langsung sehingga membutuhkan pemberian kekuatan eksekutorial. Putusan arbitrase ICA yang tidak mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat memiliki kekuatan eksekutorial apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Arbitrase. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase diatur bahwa:
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b.    Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c.    Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d.   Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e.    Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 66 huruf d tersebut diatas, putusan arbitrase internasional yang tidak mencantumkan titel eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tetap dapat dilaksanakan di Indonesia jika telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena eksekuatur tersebut memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan arbitrase internasional sehingga dapat dieksekusi di Indonesia.

b.    Upaya-upaya hukum yang akan kami tempuh untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Arbitrase mengartikan putusan arbitrase internasional sebagai putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Berdasarkan pengertian tersebut maka putusan arbitrase ICA merupakan putusan arbitrase Internasional.
Untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase internasional harus dilakukan upaya-upaya yang diatur dalam Undang-Undang Arbitrase. Adapun upaya-upaya hukum yang akan kami lakukan adalah sebagai berikut:
1)   Melakukan pendaftaran putusan arbitrase ICA kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendaftaran kami lakukan berdasarkan surat kuasa yang telah diberikan oleh arbiter, karena berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Arbitrase harus didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya.
2)   Setelah melakukan pendaftaran kami akan mengajukan permohonan eksekuatur kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan menyertakan berkas-berkas yang disyaratkan oleh Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase.
3)   Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase ICA, maka kami akan melakukan upaya hukum kasasi. Upaya hukum kasasi ini kami lakukan berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase yang mengatur bahwa terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi.

c.    Persyaratan-persyaratan yang harus dipersiapkan/dipenuhi untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia
Putusan arbitrase internasional agar dapat dieksekusi di Indonesia harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Arbitrase. Persyaratan-persyaratan tersebut telah diatur dalam Pasal 65, 66 dan 67 Undang-Undang Arbitrase. Pasal 66 mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya:
1)   Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
2)   Putusan Arbitrase Internasional menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
3)   Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
4)   Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
5)   Putusan Arbitrase Internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan arbitrase ICA dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoeh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase. Untuk mendapatkan eksekuatur tersebut, maka harus dipenuhi persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Arbitrase, yaitu:
1)   Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2)   Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional harus disertai dengan:
a)    Lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b)   Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c)    Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

d.   Ketentuan batas waktu untuk eksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia
Pengaturan mengenai putusan arbitrase internasional dalam Undang-Undang Arbitrase diatur dalam Pasal 65 hingga Pasal 69. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut tidak ada yang mengatur secara eksplisit maupun implisit mengena batas waktu pelaksanaan putusan arbitrase internasioal di Indonesia. Pasal 69 Undang-Undang Arbitrase hanya mengatur mengenai pelimpahan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakan putusan perintah eksekusi, sita eksekusi dan tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dengan Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia adalah HIR dan RBg, dalam HIR dan RBg juga tidak mengatur mengenai batas waktu eksekusi putusan dilaksanakan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka tidak ada batas waktu untuk eksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia.

e.    Teknis penyitaan terhadap harta berupa tanah dan bangunan di Denpasar, Makasar dan Palembang.
Majelis Arbitrase ICA telah menjatuhkan putusan menghukum hukum Indo Auto untuk membayar ganti kerugian yang diderita Indiana Auto sebesar USD. 5.000.000,- (lima juta Dolar Amerika Serikat). Putusan hakim ini merupakan putusan yang bersifat Condemnator yaitu menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi.[3] Prestasi yang harus dipenuhi oleh Indo Auto adalah ganti kerugian sebesar USD 5.000.000,-
Sesuai dengan ketentuan Pasal 66 huruf c Undang-Undang Arbitrase, putusan ICA ini dapat dilaksanakan apabila sudah mendapat eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya karena harta kekayaan Indo Auto berada di Denpasar, Makasar dan Palembang, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melimpahkan pelaksanaan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya yaitu Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, Ketua Pengadilan Negeri Makasar dan Ketua Pengadilan Negeri Palembang.
 Ketika putusan arbitrase ICA tersebut telah mendapatkan eksekuatur ,maka Indo Auto harus melaksanakan putusan Arbitrase ICA secara sukarela. Apabila dalam hal ini Indo Auto tidak melaksanakan putusan secara suka rela maka dapat dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaannya. Penyitaan ini dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase yang mengatur bahwa sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Berkaitan dengan teknis penyitaan tidak diatur secara rinci dalam Undang-Undang Arbitrase, namun Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Arbitrase mengatur bahwa tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.
Dalam kasus ini harta kekayaan dari Indo Auto berada di Denpasar, Makasar dan Palembang, maka sesuai dengan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Arbitrase, hukum acara perdata yang berlaku adalah Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) yakni hukum acara perdata Indonesia untuk wilayah luar Jawa dan Madura.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 206 ayat (3), Pasal 207 ayat (1), Pasal 207 ayat (2) dan 208 RBg, teknis atau tata cara melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaaan milik termohon eksekusi dimulai dengan cara memanggil termohon eksekusi agar bersedia memenuhi isi putusan arbitrase secara sukarela. Dalam hal ini, apabila termohon eksekusi bersedia memenuhi isi putusan arbitrase internasional secara sukarela, maka tidak perlu dilakukan eksekusi secara paksa.  Dalam keadaaan Indo Auto tidak bersedia memenuhi isi putusan arbitrase internasional secara sukarela, maka kepadanya dapat disampaikan  Aanmaning atau teguran. Apabila hingga batas waktu yang diatur dalam Aanmaning tersebut Indo Auto tidak melaksanakan putusan arbitrase internasional, maka dapat dilakukan sita eksekusi (executorial beslag) oleh Jurusita Pengadilan Negeri setempat terhadap harta kekayaan milik Indo Auto yang terdapat di Denpasar, Makasar dan Palembang.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka terhadap harta Kekayaan milik Indo Auto dapat dilakukan sita eksekusi apabila pihak Indo Auto tidak melaksanakan putusan arbitrase internasional secara suka rela, dan setelah dilakukan teguran tetap tidak melaksanakan putusan arbitrase internasional yang telah diberikan eksekuatur.

D.      Kesimpulan
1.    Apabila kami dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indo Auto:
Indiana Auto dan Indo Auto telah menandatangani perjanjian-perjanjian yaitu Distributorship Agreement, Technical License Agreement dan Supply Agreement. Untuk ketiga perjanjian tersebut para pihak sepakat bahwa pilihan hukumnya adalah menggunakan Hukum Negara Republik India dan forum penyelesaian sengketa yang disepakati apabila timbul sengketa dikemudian hari akan diselesaikan melalui Indian Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Undang-Undang Arbitrase) mengatur ketentuan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Berdasarkan hal tersebut, gugatan kepada Indiana Auto akibat pengakhiran perjanjian secara sepihak tidak dapat diajukan ke Pengadilan di Indonesia.
Indo Auto (penggugat) dapat mengajukan tuntutan ganti rugi akibat kehilangan keuntungan yang diharapkan (ganti rugi immaterial), disamping gugatan materil berupa biaya-biaya investasi yang telah dikeluarkan penggugat. Tuntutan ganti rugi akibat kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh Indo Auto tersebut harus diajukan melalui Indian Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India. 

Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Indo Auto terhadap putusan arbitrase ICA jika Indo Auto menolak putusan arbitrase ICA adalah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e New York Convention 1958. Indo Auto dapat mengajukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase asing (ICA) berdasarkan hukum yang berlaku di India dan diajukan di lembaga pengadilan India yang ditunjuk/berwenang membatalkan putusan-putusan arbitrase ICA. Selain itu, Indo Auto dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar Putusan Arbitrase ICA tidak mendapatkan eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini berdasarkan Penjelasan Pasal 66 huruf d Undang-Undang Arbitrase, yang mengatur ketentuan bahwa suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).

2.      Apabila kami dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indiana Auto:
Putusan arbitrase ICA yang tidak mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat memiliki kekuatan eksekutorial apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 66 huruf d Undang-Undang Arbitrase. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 huruf d Undang-Undang Arbitrase, putusan arbitrase internasional yang tidak mencantumkan titel eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tetap dapat dilaksanakan di Indonesia jika telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena eksekuatur tersebut memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan arbitrase internasional sehingga dapat dieksekusi di Indonesia.
Upaya-upaya hukum yang akan kami tempuh untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia adalah melakukan pendaftaran putusan arbitrase ICA kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah melakukan pendaftaran kami akan mengajukan permohonan eksekuatur kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.  Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase ICA, maka kami akan melakukan upaya hukum kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase.

Persyaratan-persyaratan yang harus dipersiapkan/dipenuhi untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia adalah berdasarkan dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 65, 66 dan 67 Undang-Undang Arbitrase. Terhadap harta kekayaan Indo Auto berupa tanah dan bangunan di Denpasar, Makasar dan Palembang dapat dilakukan penyitaan. Dasar hukum penyitaan terhadap harta tersebut diatur dalam Pasal 69 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Arbitrase. Tata cara atau teknis penyitaan berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Arbitrase dilaksanakan berdasarkan Hukum Acara Perdata Indonesia. Dalam kasus ini harta kekayaan Indo Auto berada di Denpasar, Makasar dan Palembang, maka yang berlaku adalah Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg).


 ===================================================


disusun oleh :
Bobtian Sijabat (422084)
Etty Indrawati (422090)
Idik Saeful Bahri (422094)
Muhammad Adham Muhaimin (422101)
N. P. Ari Setyaningsih (422103)



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019











==================================================== 




DAFTAR PUSTAKA

Buku
Sugeng, Bambang dan Sujayadi, 2013, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi, Kencana, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872).

New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958.

Internet
Bimo Prasetio dan Rizky Dwinanto, 2011, Di Mana Pengaturan Kerugian Konsekuensi dalam Hukum Indonesia”, https://www.hukumonline.com, (diakses pada tanggal 6 Mei 2019)



                                     




[1]Bimo Prasetio dan Rizky Dwinanto, 2011, Di Mana Pengaturan Kerugian Konsekuensi dalam Hukum Indonesia?, dalam https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4da27259c45b9/di-mana-pengaturan-kerugian-konsekuensial-dalam-hukum-indonesia-,  (diakses pada Tanggal 6 Mei Tahun 2019).
[2] Bambang Sugeng dan Sujayadi, 2013,  Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi, Kencana, Jakarta, hlm. 85.
[3] Ibid, hlm. 87.

Tidak ada komentar: