A.
Latar Belakang
Indiana Auto Ltd (”Indiana Auto”), sebuah perusahaan
automotif berskala internasional yang berbadan hukum India telah menjalin
kesepakatan kerjasama dengan mitranya di Indonesia yaitu PT Indo Auto (”Indo Auto”) yang berbadan hukum Indonesia,
berdomisili di Jakarta Selatan, bergerak dalam bidang industri kendaraan
bermotor. Bentuk kerjasama tersebut berupa pemberian hak eksklusif untuk
menjual dan merakit produk milik Indiana Auto yang berbentuk kendaraan
komersial berupa truk beserta suku cadangnya. Untuk mengatur kerjasama tersebut
pada tanggal 2 Juni 2006 para pihak telah menandatangani perjanjian-perjanjian
sebagai berikut:
1.
Distributorship Agreement yang
pada pokoknya mengatur mengenai penunjukkan pihak Indo Auto menjadi distributor
eksklusif untuk menjual produk-produk milik Indiana Auto di seluruh wilayah Indonesia.
2.
Technical License Agreement yang
pada pokoknya mengatur mengenai pemberian hak dan lisensi dari Indiana Auto
kepada Indo Auto untuk memproduksi di Indonesia produk-produk berlisensi milik
Indiana Auto dengan cara merakit komponen dari kendaraan-kendaraan yang
diekspor ke Indonesia dalam bentuk komponen completely
knock down (CKD) oleh Indo Auto bersama komponen-komponen lain yang berasal
dari Indonesia (komponen lokal) sesuai dengan petunjuk dan informasi yang
diberikan oleh Indiana Auto kepada Indo
Auto.
3.
Supply Agreement yang
pada pokoknya mengatur mengenai adanya kesepakatan antara Indiana Auto dengan
Indo Auto dimana Indiana Auto akan menyediakan komponen knock down parts yaitu suku cadang kendaraan yang dikirim ke
Indonesia sekaligus memberikan hak eksklusif kepada Indo Auto untuk menjual
kepada distributor dan dealer-dealer di seluruh wilayah Indonesia.
Ketiga perjanjian tersebut berlaku
selama 1 (satu) tahun sejak ditandatangani para pihak dan otomatis diperpanjang
untuk tahun berikutnya sampai ada pemberitahuan pengakhiran perjanjian yang
dilakukan minimal 9 (sembilan) bulan sebelum perjanjian diakhiri. Untuk ketiga
perjanjian tersebut para pihak sepakat bahwa pilihan hukumnya adalah
menggunakan Hukum Negara Republik India dan forum penyelesaian sengketa yang
disepakati apabila timbul sengketa dikemudian hari akan diselesaikan melalui Indian
Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di
ICA, India.
Bahwa untuk memenuhi hak dan
kewajibannya sebagaimana diatur dalam perjanjian sebagai agen tunggal di
Indonesia, Indo Auto telah mendapatkan izin keagenan berupa Surat Pengakuan
Keagenan Kendaraan Bermotor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian
Republik Indonesia. Disamping itu Indo Auto juga telah mengeluarkan biaya-biaya
investasi berupa:
a)
pembelian
lahan pabrik serta pembangunannya yang terletak di Jl. Jeruk Manis No.1
Karawang, Jawa Barat senilai Rp. 80.000.000.000,- (delapan
puluh milyar Rupiah);
b)
pembelian
mesin-mesin dan alat pendukung penjualan serta perakitan produk-produk di
Indonesia yaitu (i) mesin untuk peralatan berat forklift senilai Rp.
52.000.000.000,- (lima puluh dua milyar), (ii) kendaraan operasional untuk penjualan dan mengantarkan truk
kepada dealer senilai 3.000.000.000,- (tiga milyar Rupiah), (iii) peralatan untuk merakit
produk-produk dan
alat-alat kantor senilai
11.000.000.000,-
(sebelas milyar Rupiah).
Disamping pengeluaran untuk
investasi dan produksi tersebut pihak Indo Auto juga telah mengeluarkan
biaya-biaya promosi dan komisi penjualan untuk dealer-dealer di seluruh wilayah Indonesia dengan tujuan agar
produk-produk Indiana Auto hasil rakitan di Indonesia dapat bersaing dengan
kompetitor yang telah menguasai pasar truk di Indonesia. Biaya promosi dan
komisi yang telah dikeluarkan adalah senilai Rp. 520.000.000.000,- (lima ratus dua puluh
milyar Rupiah).
Setelah perjanjian kerjasama
tersebut berjalan kurang lebih selama 5 tahun, tiba-tiba pihak Indiana Auto
selaku prinsipal di India menghentikan kerjasama dengan pihak Indo Auto dengan
jalan memutuskan sepihak perjanjian-perjanjian yang pernah dibuat yaitu Distributorship Agreement, Supply Agreement dan
Technical License Agreement melalui
surat dari Indiana Auto tertanggal 1 Oktober 2011. Terhadap tindakan
Indiana Auto yang telah secara sepihak mengakhiri perjanjian-perjanjian, Indo
Auto telah beberapa kali berusaha untuk menghubungi Indiana Auto baik secara
lisan maupun tertulis guna bertemu agar dapat melakukan negosiasi dengan
harapan agar Indiana Auto bersedia untuk membatalkan pengakhiran atas
perjanjian-perjanjian. Upaya-upaya Indo Auto untuk menghubungi Indiana Auto
telah dilakukan melalui surat masing-masing tertanggal 3 Oktober 2011 dan 20
Oktober 2011 namun tidak mendapat tanggapan memuaskan dari Indiana Auto. Dalam
surat tersebut Indo Auto menjelaskan kerugian yang dialami Indo Auto sebagai
akibat diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh Indiana, yaitu terkait dengan
biaya-biaya investasi yang telah dikeluarkannya dan hilangnya proyeksi
keuntungan yang diharapkan apabila perjanjian-perjanjian dapat berlangsung
lebih lama. Indo Auto telah berusaha untuk membujuk, merayu Indiana Auto agar
mau membuka negosiasi terkait dengan pengakhiran perjanjian.
Sebaliknya Indiana Auto bukan tanpa
alasan mengakhiri perjanjian-perjanjian yang pernah dibuatnya dengan Indo Auto.
Indiana Auto beralasan bahwa pengakhiran tersebut karena Indiana Auto menilai
bahwa kinerja (performance) dari Indo
Auto sebagai agen tunggal yang menjual, merakit dan menyalurkan produk-produk
Indiana Auto tidak memenuhi target yang ditetapkan dalam Distributorship dan Supply
Agreement. Dalam Distributorship dan
Supply Agreement telah diatur
mengenai batas jumlah pesanan minimum yang harus dipenuhi oleh Indo Auto yaitu
untuk tahun pertama sejumlah 3.000 unit truk, tahun kedua sejumlah 5.000 unit
truk, tahun ketiga sejumlah 7.000 unit truk dan tahun ke empat sejumlah 9.000
unit truk. Namun realisasinya ternyata Indo Auto hanya bisa menjual, merakit
dan mendistribusikan di bawah dari target yang telah ditetapkan prinsipal.
Selain itu produk-produk hasil rakitan Indo Auto ternyata tidak memenuhi standar
kualitas untuk sebuah truk sehingga kurang laku di pasaran Indonesia. Hal ini
disebabkan karena Indo Auto menggunakan beberapa komponen KW2 tanpa
sepengetahuan Indiana Auto sebagai prinsipal karena ingin menekan ongkos produksi.
Dalam perjanjian disebutkan bahwa
prinsipal (Indiana Auto) berhak untuk mengakhiri perjanjian apabila mitra usaha
(Indo Auto) tidak memenuhi target pesanan minimum (minimum order) dengan ketentuan pemberitahuan dilakukan dalam waktu
9 (sembilan) bulan sebelum pengakhiran perjanjian, yang mana hal itu telah
dilakukan oleh Indiana Auto.
Selain itu terdapat aturan bahwa prinsipal berhak untuk mengakhiri perjanjian
apabila mitra usaha tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh pihak
prinsipal.
Karena target pesanan minimum yang
tidak tercapai dalam kurun waktu 4 tahun sejak perjanjian ditandatangani dan
adanya kualitas hasil rakitan Indo Auto yang tidak memenuhi standar kualitas
untuk sebuah truk karena menggunakan komponen KW2, pihak Indiana Auto mencatat
kerugian sejumlah USD.5.000.000,- (lima juta Dolar Amerika Serikat) yaitu berupa target ekspor
yang tidak tercapai, persediaan truk dan kompenen CKD, suku cadang menumpuk di
gudang penyimpanan yang menimbulkan biaya gudang menjadi tinggi dan potensi
penyusutan barang dalam persediaan. Indiana Auto juga dirugikan nama baiknya
dengan beredarnya truk merk Indiana Auto di pasaran Indonesia namun dengan
kualitas yang tidak memenuhi standar dari prinsipal di India. Indiana Auto
harus bersusah payah untuk mencari pangsa pasar ke negara lain agar produknya
bisa terserap pasar. Atas kerugian-kerugian yang dideritanya, Indiana Auto pada
tanggal 1 November 2011 telah mengajukan permohonan arbitrase di Indian Council of Arbitration (ICA) dengan peraturan dan
prosedur yang berlaku. Setelah melalui proses persidangan selama kurang lebih 6
bulan, Majelis Arbitrase pada ICA telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya
mengabulkan permohonan arbitrase Indiana Auto selaku Pemohon, dimana Indo Auto
selaku Termohon dihukum untuk membayar ganti kerugian yang diderita Pemohon
sebesar USD. 5.000.000,- (lima juta Dolar Amerika Serikat).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apabila
Saudara dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indo Auto:
a. Apakah gugatan kepada Indiana Auto
akibat pengakhiran perjanjian secara sepihak dapat diajukan ke Pengadilan di
Indonesia? Jika dapat, Pengadilan Negeri mana yang memiliki kompetensi untuk
mengadili sengketa tersebut?
b. Apakah dasar gugatan yang akan saudara
ajukan? wanprestasi atau perbuatan melawan hukum?
c.
Apakah
ketentuan-ketentuan pasal 1266 dan 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta
pasal 25 dan 26 Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 295/M/SK/7/1982 tanggal 7
Juli 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan tentang Keagenan Tunggal dapat dijadikan
dasar gugatan di Pengadilan Indonesia?
d.
Apakah
Indo Auto dapat mengajukan tuntutan ganti rugi akibat kehilangan keuntungan
yang diharapkan?
e.
Jika
Indo Auto menolak putusan arbitrase ICA, apakah dapat dilakukan upaya-upaya
hukum terhadap putusan arbitrase ICA tersebut?
2.
Apabila
Saudara dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum
Indiana Auto.
a.
Putusan
arbitrase ICA adalah putusan arbitrase internasional dan tidak mencantumkan
titel eksekutorial berupa: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Apakah putusan arbitrase ICA dapat dieksekusi di Indonesia?
b.
Upaya-upaya
hukum apa yang akan saudara tempuh untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase
ICA di Indonesia?
c.
Apa
persyaratan-persyaratan yang harus dipersiapkan/dipenuhi untuk dapat
mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia?
d.
Apakah
ada batas waktu untuk eksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia?
e.
Jika
Indo Auto memiliki harta berupa tanah dan bangunan di Denpasar, Makassar dan
Palembang, apakah harta kekayaan tersebut dapat disita? Jika dapat, bagaimana
teknis penyitaannya?
C. Pembahasan
1.
Apabila kami dalam posisi sebagai Advokat yang akan
membela kepentingan hukum Indo Auto:
a. Gugatan kepada Indiana Auto akibat
pengakhiran perjanjian secara sepihak tidak dapat diajukan ke Pengadilan di
Indonesia.
Indiana
Auto dan Indo Auto (selanjutnya disebut “para pihak”) telah menandatangani
perjanjian-perjanjian yaitu Distributorship
Agreement, Technical License
Agreement dan Supply Agreement. Untuk
ketiga perjanjian tersebut para pihak sepakat bahwa pilihan hukumnya adalah
menggunakan Hukum Negara Republik India dan forum penyelesaian sengketa yang
disepakati apabila timbul sengketa dikemudian hari akan diselesaikan melalui Indian Council of Arbitration (ICA)
dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India.
Berdasarkan
hal tersebut, gugatan kepada Indiana Auto akibat pengakhiran perjanjian secara
sepihak tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (Undang-Undang
Arbitrase) mengatur ketentuan bahwa Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang
Arbitrase. Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak
para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
yang termuat dalam perjanjiannya ke
Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Arbitrase. Oleh
sebab itu, pertanyaan b dan c dalam rumusan masalah yakni:
b. Apakah dasar gugatan yang akan saudara
ajukan? Wanprestasi atau perbuatan melawan hukum?
c. Apakah ketentuan-ketentuan Pasal 1266
dan 1365 KUHPerdata, serta Pasal 25 dan 26 Kepmenperin dapat dijadikan dasar
gugatan di Pengadilan Indonesia?
Tidak perlu
diuraikan jawabannya. Hal ini karena para pihak sepakat bahwa pilihan hukumnya adalah
menggunakan Hukum Negara Republik India dan forum penyelesaian sengketa yang
disepakati apabila timbul sengketa dikemudian hari akan diselesaikan melalui Indian Council of Arbitration (ICA)
dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India.
d. Indo Auto dapat mengajukan tuntutan
ganti rugi akibat kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Indo
Auto (penggugat) dapat mengajukan tuntutan ganti rugi akibat kehilangan
keuntungan yang diharapkan (ganti rugi immaterial), disamping gugatan materil
berupa biaya-biaya investasi yang telah dikeluarkan penggugat. Kerugian
immateriil adalah kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima oleh
pemohon dikemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin
diterima oleh pemohon di kemudian hari. Kerugian materiil adalah kerugian yang
nyata-nyata ada diderita pemohon.[1]
Akan
tetapi, apabila merujuk pada yurisprudensi yang ada, yakni dalam Putusan Perkara Peninjauan Kembali No.
650/PK/Pdt/1994, Hakim MA menentukan bahwa berdasarkan Pasal 1370, Pasal 1371,
dan Pasal 1372 KUHPerdata, ganti kerugian immaterial hanya dapat diberikan
dalam hal-hal tertentu saja, seperti perkara kematian, luka berat, dan
penghinaan. Namun demikian perlu diingat bahwa tuntutan ganti rugi akibat
kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh Indo Auto tersebut harus diajukan
melalui Indian Council of Arbitration (ICA)
dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India.
e. Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh Indo Auto terhadap putusan arbitrase ICA jika Indo Auto menolak putusan
arbitrase ICA.
Indo
Auto dapat menolak putusan arbitrase ICA dengan cara melakukan upaya hukum. Hal
tersebut berdasarkan Article V (1) e of
Convention on the Recogniton and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (“New York Convention 1958”):
1.
Recognition and enforcement of the award may be refused,
at the request of the party against whom it is invoked, only if that party
furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is
sought, proof that:
e) The
award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or
supended by a competent authority of the country in which, or under the law of
which, that award was made.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e New York Convention 1958
tersebut, maka Indo Auto dapat mengajukan upaya hukum pembatalan putusan
arbitrase asing (ICA) berdasarkan hukum yang berlaku di India. Oleh karena itu,
permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase ICA tersebut juga harus
diajukan di lembaga pengadilan India yang ditunjuk/berwenang membatalkan
putusan-putusan arbitrase ICA.
Selain
itu, Indo Auto dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat agar Putusan Arbitrase ICA tidak mendapatkan eksekuatur dari
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini berdasarkan Penjelasan Pasal 66
huruf d Undang-Undang Arbitrase, yang mengatur ketentuan bahwa suatu Putusan
Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).
2.
Apabila kami dalam posisi sebagai Advokat yang akan
membela kepentingan hukum Indiana Auto:
a. Putusan arbitrase ICA adalah putusan
arbitrase internasional dan tidak mencantumkan titel eksekutorial berupa: “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Setiap
putusan pengadilan harus berisikan kepala putusan. Pada bagian atas putusan
haruslah mempunyai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan.[2]
Hal ini berarti bahwa suatu putusan peradilan Indonesia baru dapat dieksekusi
apabila didalamnya terdapat titel demi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Putusan
arbitrase ICA adalah putusan arbitrase internasional yang dijatuhan oleh
lembaga internasional di luar wilayah hukum Republik Indonesia, maka dengan
demikian dalam putusannya tidak mengenal irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, putusan arbitrase ICA tidak memiliki
kekuatan eksekutorial secara langsung sehingga membutuhkan pemberian kekuatan
eksekutorial. Putusan arbitrase ICA yang tidak mencantumkan irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat memiliki kekuatan
eksekutorial apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang
Arbitrase. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase diatur bahwa:
Putusan Arbitrase Internasional
hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia,
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Putusan
Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional;
b. Putusan
Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan;
c. Putusan
Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
d. Putusan
Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan
Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 66 huruf d tersebut diatas, putusan arbitrase internasional
yang tidak mencantumkan titel eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” tetap dapat dilaksanakan di Indonesia jika telah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena eksekuatur
tersebut memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan arbitrase internasional
sehingga dapat dieksekusi di Indonesia.
b. Upaya-upaya hukum yang akan kami tempuh
untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia
Pasal
1 angka 9 Undang-Undang Arbitrase mengartikan putusan arbitrase internasional
sebagai putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik
Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Berdasarkan
pengertian tersebut maka putusan arbitrase ICA merupakan putusan arbitrase
Internasional.
Untuk
dapat mengeksekusi putusan arbitrase internasional harus dilakukan upaya-upaya
yang diatur dalam Undang-Undang Arbitrase. Adapun upaya-upaya hukum yang akan
kami lakukan adalah sebagai berikut:
1) Melakukan pendaftaran putusan arbitrase
ICA kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendaftaran kami lakukan
berdasarkan surat kuasa yang telah diberikan oleh arbiter, karena berdasarkan
Pasal 67 Undang-Undang Arbitrase harus didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya.
2) Setelah melakukan pendaftaran kami akan
mengajukan permohonan eksekuatur kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
dengan menyertakan berkas-berkas yang disyaratkan oleh Pasal 67 ayat (2)
Undang-Undang Arbitrase.
3) Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase ICA,
maka kami akan melakukan upaya hukum kasasi. Upaya hukum
kasasi ini kami lakukan berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang
Arbitrase yang mengatur bahwa terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional,
dapat diajukan kasasi.
c. Persyaratan-persyaratan yang harus
dipersiapkan/dipenuhi untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di Indonesia
Putusan
arbitrase internasional agar dapat dieksekusi di Indonesia harus memenuhi
persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Arbitrase.
Persyaratan-persyaratan tersebut telah diatur dalam Pasal 65, 66 dan 67 Undang-Undang
Arbitrase. Pasal 66 mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
diantaranya:
1) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional.
2)
Putusan Arbitrase Internasional menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
3)
Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum;
4)
Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
5)
Putusan Arbitrase Internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia
sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh eksekuatur dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Putusan
arbitrase ICA dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoeh eksekuatur dari
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang
Arbitrase. Untuk mendapatkan eksekuatur tersebut, maka harus dipenuhi
persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Arbitrase,
yaitu:
1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
dilakukan setelah putusan tersebut
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional harus
disertai dengan:
a)
Lembar asli atau salinan otentik Putusan
Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan
perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa
Indonesia;
b)
Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai
ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya
dalam bahasa Indonesia; dan
c)
Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik
Indonesia di negara tempat Putusan
Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara
pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral
dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional.
d. Ketentuan batas waktu untuk eksekusi
putusan arbitrase ICA di Indonesia
Pengaturan
mengenai putusan arbitrase internasional dalam Undang-Undang Arbitrase diatur
dalam Pasal 65 hingga Pasal 69. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut tidak ada
yang mengatur secara eksplisit maupun implisit mengena batas waktu pelaksanaan
putusan arbitrase internasioal di Indonesia. Pasal 69 Undang-Undang Arbitrase hanya
mengatur mengenai pelimpahan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif
berwenang melaksanakan putusan perintah eksekusi, sita eksekusi dan tata cara
penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan
dengan Hukum Acara Perdata.
Hukum
Acara Perdata yang berlaku di Indonesia adalah HIR dan RBg, dalam HIR dan RBg
juga tidak mengatur mengenai batas waktu eksekusi putusan dilaksanakan. Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka tidak ada batas waktu untuk eksekusi putusan arbitrase
ICA di Indonesia.
e. Teknis penyitaan terhadap harta berupa
tanah dan bangunan di Denpasar, Makasar dan Palembang.
Majelis
Arbitrase ICA telah menjatuhkan putusan menghukum hukum Indo Auto untuk
membayar ganti kerugian yang diderita Indiana Auto sebesar USD. 5.000.000,-
(lima juta Dolar Amerika Serikat). Putusan hakim ini merupakan putusan yang
bersifat Condemnator yaitu menghukum
pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi.[3]
Prestasi yang harus dipenuhi oleh Indo Auto adalah ganti kerugian sebesar USD
5.000.000,-
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 66 huruf c Undang-Undang Arbitrase, putusan ICA ini
dapat dilaksanakan apabila sudah mendapat eksekuatur dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya karena harta kekayaan Indo Auto berada di
Denpasar, Makasar dan Palembang, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase,
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melimpahkan pelaksanaan eksekusi kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya yaitu Ketua
Pengadilan Negeri Denpasar, Ketua Pengadilan Negeri Makasar dan Ketua Pengadilan Negeri Palembang.
Ketika putusan arbitrase ICA tersebut telah
mendapatkan eksekuatur ,maka Indo Auto harus melaksanakan putusan Arbitrase ICA
secara sukarela. Apabila dalam hal ini Indo Auto tidak melaksanakan putusan
secara suka rela maka dapat dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaannya.
Penyitaan ini dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang
Arbitrase yang mengatur bahwa sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan
serta barang milik termohon eksekusi. Berkaitan dengan teknis penyitaan tidak
diatur secara rinci dalam Undang-Undang Arbitrase, namun Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang
Arbitrase mengatur bahwa tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan
mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.
Dalam
kasus ini harta kekayaan dari Indo Auto berada di Denpasar, Makasar dan
Palembang, maka sesuai dengan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Arbitrase, hukum
acara perdata yang berlaku adalah Rechtreglement
voor de Buitengewesten (RBg) yakni hukum acara perdata Indonesia untuk
wilayah luar Jawa dan Madura.
Berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 206 ayat (3), Pasal 207 ayat (1), Pasal 207
ayat (2) dan 208 RBg, teknis atau tata cara melakukan sita eksekusi terhadap
harta kekayaaan milik termohon eksekusi dimulai dengan cara memanggil termohon
eksekusi agar bersedia memenuhi isi putusan arbitrase secara sukarela. Dalam
hal ini, apabila termohon eksekusi bersedia memenuhi isi putusan arbitrase
internasional secara sukarela, maka tidak perlu dilakukan eksekusi secara
paksa. Dalam keadaaan Indo Auto tidak
bersedia memenuhi isi putusan arbitrase internasional secara sukarela, maka
kepadanya dapat disampaikan Aanmaning atau teguran. Apabila hingga
batas waktu yang diatur dalam Aanmaning tersebut Indo Auto tidak melaksanakan
putusan arbitrase internasional, maka dapat dilakukan sita eksekusi (executorial beslag) oleh Jurusita
Pengadilan Negeri setempat terhadap harta kekayaan milik Indo Auto yang
terdapat di Denpasar, Makasar dan Palembang.
Berdasarkan
penjelasan tersebut diatas, maka terhadap harta Kekayaan milik Indo Auto dapat
dilakukan sita eksekusi apabila pihak Indo Auto tidak melaksanakan putusan
arbitrase internasional secara suka rela, dan setelah dilakukan teguran tetap
tidak melaksanakan putusan arbitrase internasional yang telah diberikan
eksekuatur.
D.
Kesimpulan
1.
Apabila
kami dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indo Auto:
Indiana
Auto dan Indo Auto telah menandatangani perjanjian-perjanjian yaitu Distributorship Agreement, Technical License Agreement dan Supply Agreement. Untuk ketiga
perjanjian tersebut para pihak sepakat bahwa pilihan hukumnya adalah
menggunakan Hukum Negara Republik India dan forum penyelesaian sengketa yang
disepakati apabila timbul sengketa dikemudian hari akan diselesaikan melalui Indian Council of Arbitration (ICA)
dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India. Oleh karena itu,
berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Undang-Undang Arbitrase)
mengatur ketentuan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Berdasarkan hal tersebut, gugatan
kepada Indiana Auto akibat pengakhiran perjanjian secara sepihak tidak dapat
diajukan ke Pengadilan di Indonesia.
Indo
Auto (penggugat) dapat mengajukan tuntutan ganti rugi akibat kehilangan
keuntungan yang diharapkan (ganti rugi immaterial), disamping gugatan materil
berupa biaya-biaya investasi yang telah dikeluarkan penggugat. Tuntutan ganti
rugi akibat kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh Indo Auto tersebut harus
diajukan melalui Indian Council of
Arbitration (ICA) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di ICA, India.
Upaya-upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh Indo Auto terhadap putusan arbitrase ICA jika
Indo Auto menolak putusan arbitrase ICA adalah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e New York Convention 1958. Indo Auto dapat mengajukan upaya hukum
pembatalan putusan arbitrase asing (ICA) berdasarkan hukum yang berlaku di
India dan diajukan di lembaga pengadilan India yang ditunjuk/berwenang
membatalkan putusan-putusan arbitrase ICA.
Selain itu, Indo Auto dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat agar Putusan Arbitrase ICA tidak mendapatkan eksekuatur
dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini berdasarkan Penjelasan
Pasal 66 huruf d Undang-Undang Arbitrase, yang mengatur ketentuan bahwa suatu
Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).
2. Apabila kami dalam posisi sebagai
Advokat yang akan membela kepentingan hukum Indiana Auto:
Putusan
arbitrase ICA yang tidak mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat memiliki kekuatan eksekutorial apabila telah
memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 66 huruf d Undang-Undang Arbitrase.
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 huruf d Undang-Undang Arbitrase, putusan arbitrase
internasional yang tidak mencantumkan titel eksekutorial “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tetap dapat dilaksanakan di Indonesia jika
telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena
eksekuatur tersebut memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan arbitrase
internasional sehingga dapat dieksekusi di Indonesia.
Upaya-upaya
hukum yang akan kami tempuh untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA di
Indonesia adalah melakukan pendaftaran putusan arbitrase ICA kepada Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah melakukan pendaftaran kami akan
mengajukan permohonan eksekuatur kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menolak untuk mengakui dan melaksanakan
Putusan Arbitrase ICA,
maka kami akan melakukan upaya hukum kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat
(2) Undang-Undang Arbitrase.
Persyaratan-persyaratan
yang harus dipersiapkan/dipenuhi untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase ICA
di Indonesia adalah berdasarkan dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang
telah diatur dalam Pasal 65, 66 dan 67 Undang-Undang Arbitrase. Terhadap harta
kekayaan Indo Auto berupa tanah dan bangunan di Denpasar, Makasar dan Palembang
dapat dilakukan penyitaan. Dasar hukum penyitaan terhadap harta tersebut diatur
dalam Pasal 69 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Arbitrase. Tata cara atau
teknis penyitaan berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang
Arbitrase dilaksanakan berdasarkan Hukum Acara Perdata Indonesia. Dalam kasus
ini harta kekayaan Indo Auto berada di Denpasar, Makasar dan Palembang, maka yang
berlaku adalah Rechtreglement voor de
Buitengewesten (RBg).
disusun
oleh :
Bobtian
Sijabat (422084)
Etty
Indrawati (422090)
Idik
Saeful Bahri (422094)
Muhammad
Adham Muhaimin (422101)
N.
P. Ari Setyaningsih (422103)
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sugeng,
Bambang dan Sujayadi, 2013, Pengantar
Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi, Kencana, Jakarta.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3872).
New York Convention on The Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958.
Internet
Bimo
Prasetio dan Rizky Dwinanto, 2011, “Di
Mana Pengaturan Kerugian Konsekuensi dalam Hukum Indonesia”, https://www.hukumonline.com, (diakses pada tanggal 6 Mei 2019)
[1]Bimo Prasetio dan
Rizky Dwinanto, 2011, Di Mana Pengaturan Kerugian Konsekuensi dalam Hukum
Indonesia?, dalam https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4da27259c45b9/di-mana-pengaturan-kerugian-konsekuensial-dalam-hukum-indonesia-,
(diakses pada Tanggal 6 Mei Tahun 2019).
[2] Bambang Sugeng dan
Sujayadi, 2013, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi, Kencana,
Jakarta, hlm. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar