Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Senin, 13 Januari 2020

Kasus Terkait Kapal Keruk Sumatera



  • A.  Latar Belakang

Perjanjian Sewa Kapal Keruk Sumatera antara PT Biru Laut dan AAA Co.Ltd Pada tanggal 9 Juni 2008, AAA Co. Ltd (”AAA”) sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Singapura dan berkedudukan di Singapura menandatangani Perjanjian Penyewaan Kapal (”Perjanjian Sewa”) dengan PT Biru Laut (”PT BL”), sebuah perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. Dalam Perjanjian Sewa, AAA sepakat untuk menyewa Kapal Keruk Sumatera berkapasitas 6000M3 milik PT BL yang akan dipergunakan untuk proyek pengerukan pelabuhan di Thailand. Harga sewa sebesar USD.5.500.000,-/tahun (dibayar diawal setiap 6 bulan). Forum penyelesaian sengketa yang disepakati PT BL dan AAA dalam hal timbul sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase di Badan Arbitrase Maritim Indonesia (BAMI) dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di BAMI serta hukum yang mengaturnya adalah menggunakan Hukum Negara Republik Indonesia. Dalam Perjanjian Sewa para pihak juga sepakat untuk mengesampingkan (waiver) ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata.

Sebelum Kapal Keruk Sumatera dioperasikan oleh AAA telah disepakati bahwa AAA bertanggung jawab untuk melaksanakan perbaikan/ docking repair terlebih dahulu atas Kapal Keruk Sumatera di galangan perbaikan kapal milik PT Merah Delima (”PT MD”), sebuah perusahaan yang berdomisili di Jakarta Utara. AAA juga bertanggung jawab untuk pengadaan suku cadang dan biaya-biaya perbaikan/ docking repair atas Kapal Keruk Sumatera tersebut.
Hal-hal yang diatur dalam Perjanjian Sewa antara PT BL dan AAA antara lain:
1.    AAA bertanggung jawab terhadap Kapal Keruk Sumatera sejak tanggal penyerahan.
2.    Jangka waktu maksimum perbaikan/ docking repair Kapal Keruk Sumatera disepakati adalah 120 hari kerja sejak penyerahan Kapal Keruk Sumatera. Apabila jangka waktu perbaikan/ docking repair lebih dari 120 hari, maka sewa mulai berlaku sejak tanggal berakhirnya waktu perbaikan/ docking repair maksimum tersebut atau sewa Kapal Keruk Sumatera mulai berlaku setelah 120 hari sejak penyerahan Kapal Keruk Sumatera.
3.    AAA dan PT BL sepakat bahwa tidak akan ada perpanjangan waktu perbaikan/ docking repair dan bila perbaikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan 120 hari, maka sewa berlaku sejak hari perbaikan/ docking repair selesai.
4.    Setelah perbaikan dilakukan, maka akan dilakukan sea trial yaitu uji coba/uji kelayakan Kapal Keruk Sumatera di laut guna memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Biro Klasifikasi Maritim Indonesia.
Adapun jadwal pembayaran biaya sewa Kapal Keruk Sumatera disepakati sebagai berikut:
Jadwal Pembayaran Sewa Kapal Keruk Sumatera
Tahun
Periode Sewa
Biaya Sewa
Tahun 1
27 Desember 2008 - 27 Juni 2009
USD. 2.750.000

27 Juni 2009 - 27 Desember 2009
USD. 2.750.000
Tahun 2
27 Desember 2009 - 27 Juni 2010
USD. 2.750.000

27 Juni 2010 - 27 Desember 2010
USD. 2.750.000
Tahun 3
27 Desember 2010 – 27 Juni 2011
USD. 2.750.000

27 Juni 2011 – 27 Desember 2011
USD. 2.750.000
Penyerahan dan Perbaikan Kapal Keruk Sumatera terjadi pada tanggal 27 Agustus 2008 Kapal Keruk Sumatera diserahkan oleh PT BL kepada AAA sesuai dokumen Protocol of Delivery and Acceptance yang ditandatangani kedua belah pihak Selanjutnya AAA berkewajiban melaksanakan perbaikan/ docking repair selama 120 hari kalender terhitung sejak tanggal penyerahan Kapal Keruk Sumatera tersebut. Sebelumnya pada tanggal 22 Agustus 2008 antara PT MD dan AAA telah ditandatangani Perjanjian Perbaikan Kapal Keruk Sumatera (” Perjanjian Perbaikan Kapal ”), tanpa melibatkan PT BL sebagai pemilik/ owner dari Kapal Keruk Sumatera. Forum penyelesaian sengketa yang disepakati AAA dan PT MD dalam hal timbul sengketa akan diselesaikan melalui Singapore International Arbitration Centre ( SIAC ) dan hukum yang mengaturnya adalah menggunakan Hukum Negara Republik Singapura.
Ternyata dalam proses perbaikan/ docking repair Kapal Keruk Sumatera (setelah dilakukan pembongkaran lantai dasar/dek kapal) ditemukan juga bagian-bagian kerusakan lain yang sebelumnya tidak diperkirakan oleh para pihak (AAA dan PT BL). Hal ini mengakibatkan waktu perbaikan menjadi lebih lama dan melampaui jangka waktu maksimum perbaikan/ docking repair selama 120 hari. Hal lain yang mengakibatkan keterlambatan perbaikan/ docking repair karena AAA tidak menyediakan suku cadang secara tepat waktu yang menjadi tanggung jawabnya. AAA juga tidak membayar sebagian lain biaya perbaikan/ docking repair kepada PT MD.
Karena telah melampaui waktu 120 hari, PT BL merasa berhak untuk menagih sewa sesuai Perjanjian Sewa. Namun setelah ditagih beberapa kali oleh PT BL atas biaya sewa Kapal Keruk Sumatera untuk 6 (enam) bulan pertama sewa (periode 27 Desember 2008 - 27 Juni 2009), AAA belum juga melakukan pembayaran biaya sewa Kapal Keruk Sumatera kepada PT BL. Dalam suratnya tanggal 12 Maret 2009, AAA meminta penundaan pembayaran sewa kepada PT BL dengan alasan bahwa AAA mengalami dampak dari krisis ekonomi global yang mempengaruhi kemampuan AAA untuk membayar sewa sesuai dengan jadwal yang tertera dalam Perjanjian. Setelah melakukan pembicaraan secara intensif, maka tercapailah kesepakatan antara AAA dan PT BL untuk mengubah skema pembayaran antara lain sebagai berikut:
1.    AAA tidak dapat melakukan pembayaran sewa atas Kapal Keruk Sumatera dari tanggal 27 Desember 2008 sampai dengan 27 Juni 2009 sejumlah USD.2.750.000,- (dua juta tujuh ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat) ditambah bunga 5%/tahun (bunga keterlambatan);
2.    AAA akan melakukan pembayaran sewa setiap 2 (dua) bulan dimuka sejumlah USD.916.667,-.
Pemutusan Perjanjian Sewa tanggal 9 Juni 2008. Karena AAA tidak juga melakukan pembayaran sewa Kapal Keruk Sumatera kepada PT BL dan setelah diperingati beberapa kali melalui surat, maka pada tanggal 1 Juli 2009 PT BL mengirim surat yang menyatakan bahwa AAA telah wanprestasi ( notice of default ) atas pembayaran sewa Kapal Keruk Sumatera dan berdasarkan Paragraf 5 dan 6 Pasal 18 Perjanjian Sewa, PT BL berhak untuk menarik kembali Kapal Keruk Sumatera dari AAA serta PT BL berhak memutus Perjanjian apabila AAA wanprestasi dalam skema pembayaran. Akhirnya pada tanggal 8 Desember 2009 PT BL melakukan pemutusan Perjanjian. Menanggapi pemutusan tersebut, AAA sangat berkeberatan dan tidak menerima sehingga mengajukan permohonan arbitrase terhadap PT BL di BAMI. Dalam persidangan yang berlangsung selama kurang lebih 6 (enam) bulan, Majelis Arbitrase BAMI pada tanggal 3 Oktober 2010 telah menjatuhkan putusan yang amar putusannya antara lain berbunyi sebagai berikut:
1.    Menyatakan bahwa Perjanjian Kapal Keruk Sumatera tetap berlaku secara sah dan mengikat untuk dilaksanakan oleh para pihak.
2.    Mewajibkan Pemohon (AAA) untuk menyelesaikan pembayaran kepada PT Merah Delima sebagaimana yang diperjanjikan antara PT Merah Delima dengan Pemohon (AAA).
3.    Mewajibkan bahwa ” sea trial ” harus dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah keputusan ini berlaku oleh Pemohon.
4.    Menetapkan bahwa Pemohon (AAA) berhak untuk menyewa Kapal Keruk Sumatera untuk operasional selama 3 (tiga) tahun setelah sea trial.
5.    Mewajibkan Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan ini diucapkan.
6.    Menyatakan putusan arbitrase ini adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir serta mengikat kedua belah pihak.
Tanggal 27 Oktober 2010 PT BL memberitahukan kepada PT MD mengenai adanya Putusan BAMI dan PT BL menegaskan bahwa biaya-biaya perbaikan/ docking repair Kapal Keruk Sumatera adalah tanggung jawab AAA sesuai butir 2 amar Putusan BAMI. Putusan BAMI telah didaftarkan oleh Sekretaris Majelis BAMI di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 27 Oktober 2010 dengan register No.1000/WASIT/2010/PN.JKT.UT. Ternyata setelah 2 bulan sejak putusan BAMI, AAA tidak juga melaksanakan isi Putusan BAMI secara sukarela. PT BL telah mengirim surat beberapa kali kepada AAA agar AAA segera melaksanakan isi Putusan BAMI tersebut. Namun tidak mendapat tanggapan yang memuaskan. PT BL sebagai Termohon dalam perkara di BAMI justru yang mengajukan permohonan eksekusi Putusan BAMI kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan mohon agar dilakukan teguran kepada para pihak (aanmaning). PT BL menagih kembali biaya sewa Kapal Keruk Sumatera kepada AAA melalui surat tanggal 6 Desember 2010, dimana biaya sewa Kapal Keruk Sumatera seyogyanya sudah berlaku setelah sea trial dilaksanakan yaitu 2 bulan setelah Putusan BAMI dikeluarkan atau sejak tanggal 3 Desember 2010.
AAA membalas surat PT BL dengan mengatakan bahwa sea trial tetap belum dapat dilaksanakan mengingat proses perbaikan/ docking repair Kapal Keruk Sumatera masih berlangsung sehingga AAA bersikeras bahwa sewa kapal belum berlaku. Di sisi lain, AAA ternyata juga belum melunasi sebagian lain biaya perbaikan/ docking repair Kapal Keruk Sumatera kepada PT MD. PT MD menahan Kapal Keruk Sumatera sebagai jaminan atas pelunasan biaya perbaikan/ docking repair dan AAA juga tetap tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagaimana tercantum dalam Putusan BAMI.
Karena tidak ada kejelasan lebih lanjut dari kerjasama penyewaan kapal dengan AAA dan guna mencegah resiko kerusakan yang lebih parah jika Kapal Keruk Sumatera tetap berada di galangan PT MD, PT BL berupaya untuk menarik kembali/demobilisasi Kapal Keruk Sumatera miliknya dari galangan PT MD melalui suratnya tanggal 22 Desember 2010. Upaya demobilisasi ini mendapat tanggapan dari PT MD yang mengatakan bahwa sesuai Perjanjian Perbaikan Kapal antara PT MD dengan AAA, disebutkan bahwa AAA adalah sebagai pemilik/ owner dari Kapal Keruk Sumatera dan Kapal Keruk Sumatera baru dapat didemobilisasi keluar dari galangan PT MD setelah seluruh pembayaran atas biaya perbaikan/ docking repair Kapal Keruk Sumatera telah dilunasi. Lebih lanjut PT MD mengatakan berhak untuk menahan Kapal Keruk Sumatera sampai biaya-biaya perbaikan/ docking repair dilunasi.

  • B.     Rumusan Masalah

1.    Apabila saudara dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum PT Biru Laut yang tetap ingin menagih pembayaran uang sewa dan menarik Kapal Keruk Sumatera.
a.       Uraikan langkah-langkah hukum apa yang dapat ditempuh PT Biru Laut untuk menuntut pembayaran uang sewa Kapal Keruk Sumatera dari AAA?
b.    Apakah PT Biru Laut berhak untuk menarik kembali kapalnya dari PT Merah Delima? Jika dapat, uraikan upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh PT Biru Laut terhadap PT Merah Delima bila PT Merah Delima tetap tidak mau menyerahkan Kapal Keruk Sumatera kepadanya?
c.    Apakah PT Biru Laut dapat menuntut pemegang saham AAA untuk ikut bertanggung jawab melunasi biaya sewa dan biaya perbaikan Kapal Keruk Sumatera?
d.   Pasal berapa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur Notice of Default atau pemberitahuan pernyataan wanprestasi?
2.    Apabila saudara dalam posisi sebagai advokat yang akan membela kepentingan hukum AAA Ltd. Co yang tetap ingin mempertahankan kapal keruk Sumatera dan tidak mau membayar sewa karena proses perbaikan masih berlangsung.
a.       Apakah AAA dapat menuntut ganti rugi kepada PT. Merah Delima jika PT. Merah Delima mau secara sukarela mengembalikan kapal keruk Sumatera kepada PT. Biru Laut? Berikan dasar hukum dan kemana hal tersebut dapat diajukan?
b.    Apabila AAA mengajukan permohonan arbitrase di SIAC terhadap PT. Merah Delima karena mengembalikan kapal keruk Sumatera kepada PT. Biru Laut, dan ternyata permohonannya dikabulkan dalam putusan arbitrase SIAC tersebut, apakah putusan arbitrase SIAC dapat di eksekusi di Indonesia? Jelaskan.
c.    Apa persyaratan-persyaratan yang harus dipersiapkan/dipenuhi untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase SIAC di Indonesia?
3.      Apabila saudara dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum PT. Merah Delima yang menginginkan biaya perbaikan atas kapal keruk Sumatera.
a.       Apakah PT Merah Delima memiliki hak retensi untuk menahan Kapal Keruk Sumatera sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1812 dan pasal 1616 KUHPerdata mengingat Kapal Keruk Sumatera adalah milik PT Biru Laut?
b.      Terhadap putusan arbitrase SIAC yang mengabulkan pemohonan AAA (lihat pertanyaan butir B.2), apakah PT MD dapat menggunakan alasan-alasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan New York Convention 1958? Jelaskan alasan-alasan tersebut?
c.       Jelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh PT MD apabila PT MD berusaha untuk membatalkan putusan arbitrase SIAC? Berdasarkan New York Convention 1958, ke pengadilan manakah hal tersebut dapat dilakukan?

  • C.    Pembahasan

1.  Kepentingan Hukum PT. Biru Laut
a.      Langkah Hukum PT. Biru Laut
1)      Aamaning
Aamaning adalah peringatan atau teguran agar tergugat menjalankan putusan dalam jangka waktu tertentu yang dilakukan oleh KPN setelah ternyata tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela. Jika aamaning tidak dipatuhi, maka tahap berikutnya adalah melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tergugat dengan ketentuan hukum acara perdata.
2)      Eksekusi
Ada tiga macam ekseksusi yang dikenal oleh hukum acara perdata, yaitu:
a)      Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya. Pihak yang menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan eksekusi putusan berdasarkan Pasal 196 HIR:
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada ayat pertama Pasal 195, untuk menjalankan keputusan itu ketua memerintahkan memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Pasal 197 menyebutkan sebagai berikut:
Jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih juga tidak dilaksanakan, maka ketua pengadilan memerintahkan agar disita barang-barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti jumah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.
b)      Putusan untuk melaksanakan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (Pasal 225 HIR/ Pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
Penerapan Pasal 225 HIR/ 259 Rbg harus terlebih dahulu ternyata bahwa Termohon tidak mau melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan tidak dapat / tidak mampu melaksanakannya walau dengan bantuan alat negara. Dalam hal demikian, Pemohon dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan perbuatan yang harus dilakukan oleh Termohon.
Untuk memperoleh jumlah yang sepadan, Ketua Pengadilan Negeri wajib memanggil dan mendengar Termohon eksekusi dan apabila diperlukan Ketua Pengadilan Negeri dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang tersebut. Penetapan jumlah uang yang harus dibayar oleh termohon dituangkan dalam penetapan Ketua Pengadilan Negeri.
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (Pasal 200 HIR, Pasal 214 s/d Pasal 274 RBg).
Putusan dengan mana tergugat dihukum untuk menyerahkan sesuatu barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara.
c)      Eksekusi Riil yaitu eksekusi yang dilaksanakan secara nyata (riil) misalnya eksekusi pengosongan rumah/tanah, dan penjualan lelang barang-barang tetap atau tidak tetap milik tergugat yang kalah. Yang dimaksudkan dengan eksekusi riil oleh Pasal 1033 Rv ialah pelaksanan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Apabila orang yang dihukum untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi surat perintah hakim, hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya dengan bantuan panitera pengadilan dan kalau perlu denganbantuan alat kekuasaan Negara, agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya. HIR hanya mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang (Pasal 200 ayat 11HIR, Pasal 218 ayat 2 Rbg).
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan, bahwa yang harus meninggalkan barang tetap yang dikosongkan itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak keluarganya, bukan pihak yang menyewa rumah tersebut, misalnya, yang sebelum rumah tersebut disita atas dasar perjanjian sewa-menyewa telah mendiami rumah itu sejak dahulu.
Meskipun demikian apabila ternyata orang lain bukan tersita dan keluarganya, yang mendiami rumah tersebut sewaktu dilelang, maka rumah tersebut tidak dapat langsung dikosongkan, akan tetapi perjanjian sewa-menyewa termaksud harus terlebih dahulu dibatalkan.
b.      Hak PT. Biru Laut
1)   Berhak.
2)   Dengan cara mengajukan tuntutan pidana dan perdata. Tuntutan pidana berupa laporan kepolisian berdasarkan ketentuan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan gugatan perdata (PMH) berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPer.
Bunyi dari Pasal 372 KUHP sebagai berikut:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 1365 KUHPer menyebutkan bahwa:
Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
c.       Menuntut Pemegang Saham
Tidak Dapat dimintai pertanggung jawaban. Pasal 3 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa: pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Tanggung jawab pemegang saham yang terbatas inilah yang dibakukan dalam istilah tanggung jawab terbatas.
Salah satu keuntungan yang paling besar diperoleh dan dinikmati pemegang saham adalah tanggung jawab terbatas. Keuntungan ini diberikan UUPT kepada pemegang saham sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT. Meskipun pemegang saham dikonstruksi sebagai pemilik dari perseroan, namun hukum membatasi tanggung jawabnya dengan acuan:
1)      pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan maupun atas kerugian yang dialami perseroan;
2)      risiko yang ditanggung pemegang saham, hanya sebesar investasinya atau tidak melebihi saham yang dimilikinya pada perseroan;
3)      dengan demikian, pada prinsipnya pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atau secara individual atas utang perseroan.
d.        Somasi
Somasi diatur di dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUHPerdata.
Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Selanjutnya dalam Pasal 1243 diatur bahwa:
Tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat diakukan apabila si berutang teah diberi peringatan bahwa ia melaillaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Peringatan ini dilakukan secara tertulis, yang kemudian kita kenal sebagai somasi.
Somasi minimal dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memeutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.

2.      Kepentingan Hukum PT. AAA
a.      Tuntutan Ganti Rugi
Secara umum, pihak PT. AAA bisa mengajukan gugatan kepada PT. Merah Delima dengan menggunakan dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH) didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Jika ditelaah lebih dalam dari pasal tersebut, setidaknya terdapat 5 (lima) unsur Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:
1)      Adanya suatu perbuatan. Suatu Perbuatan Melawan Hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif).[1] Bentuk penyerahan kapal oleh PT. Merah Delima kepada PT. Biru Laut termasuk dalam unsur pertama ini.
2)      Perbuatan tersebut melawan hukum. Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya yakni meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku; 2) Melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum; 3) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 4) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; atau 5) Perbuatan yang bertentangan dengan sikap baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.[2] Perbuatan PT. Merah Delima dalam pandangan kami termasuk dalam bentuk perbuatan yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum (baca: perjanjian).
3)      Adanya kesalahan dari pihak pelaku. Penyerahan kapal oleh PT. Merah Delima kepada PT. Biru Laut telah melanggar perjanjian yang telah dibuat antara PT. AAA dan PT. Merah Delima.
4)      Adanya kerugian bagi korban, dalam hal ini PT. AAA harus menanggung kerugian karena tetap harus membayar biaya perbaikan kapal, padahal kenyataannya PT. AAA tidak mendapatkan manfaat dari kapal yang disewa tersebut.
5)      Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Jika antara kerugian dan perbuatan terdapat hubungan kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa setiap kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan.[3] Melihat kronologis kasus yang ada, jika PT. Merah Delima menyerahkan kapal kepada PT. Biru Laut, maka secara langsung memberikan kerugian kepada PT. AAA.
Dari uraian diatas, PT. AAA dapat mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) melalui Singapore International Arbitration Centre (SIAC) sebagaimana forum penyelesaian sengketa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian perbaikan kapal. Adapun hukum yang mengaturnya menggunakan hukum Singapura. Lembaga arbitrase selain menerima permohonan gugatan wanprestasi, juga dapat menerima permohonan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).[4]
b.      Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Pada prinsipnya, putusan arbitrase asing—dalam kasus ini adalah SIAC—dapat dimohonkan untuk dieksekusi di Indonesia. Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa Indonesia telah meratifikasi 2 (dua) konvensi internasional dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing yaitu: Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States (ICSID); dan Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York Convention 1958). New York Convention 1958 merupakan konvensi internasional yang menyatakan adanya pengakuan dan pelaksanaan dari setiap putusan arbitrase yang diambil di luar wilayah teritorial negara dimana putusan tersebut akan dilaksanakan.[5] Dalam ayat 2 dinyatakan bahwa termasuk dalam pengertian putusan arbitrase yang diakui ini adalah :
1)      Putusan yang berasal dari arbitrase ad-hoc independen;
2)      Putusan yang diambil oleh suatu lembaga arbitrase.
Pasal 65 UU Arbitrase secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan abitrase internasional di Indonesia adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika suatu putusan arbitrase internasional diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, maka putusan tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional (asas resiprositas);
2)      Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan;
3)      Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
4)      Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
5)      Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
c.       Syarat Pengajuan Eksekusi
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) menjelaskan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase, dokumen permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional harus disertai dengan:
1)      Lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional (sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing) dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
2)      Lembar asli atau salinan otentik Perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional (sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing) dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia, dan;
3)      Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Setelah dokumen-dokumen tersebut didaftarkan, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan mempertimbangkan untuk menerbitkan exequatur order. Jika seandainya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan tersebut, pihak asing yang hendak melakukan eksekusi atas putusan arbitrase internasional memiliki upaya kasasi atas penolakan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Mahkamah Agung.


3.      Kepentingan Hukum PT. Merah Delima
a.      Hak Retensi PT. Merah Delima untuk Menahan Kapal Keruk Sumatera
1)      Hak Retensi
Hak retensi berasal dari kata retain, yang berarti hak untuk tetap menahan suatu benda.[6] Hak retensi adalah hak untuk menahan sesuatu benda sampai suatu piutang yang bertalian dengan benda tersebut dilunasi.[7]
Aturan umum dalam KUHPerdata mengenai hak retensi diatur dalam pasal-pasal yang tercerai berai, yaitu dalam Pasal 575, Pasal, 576, Pasal 577, Pasal 578, Pasal 715, Pasal 725, Pasal 1616, Pasal 1729, Pasal 1812, dan Pasal 1364 KUHPerdata. Hak retensi bersifat tidak dapat dibagi-bagi, kalau misalnya sebagian saja dari utang itu tidak dibayar, tidak lalu berarti harus mengembalikan sebagian dari barang yang ditahan. Hutang seluruhnya harus dibayar terlebih dahulu baru barang seluruhnya dikembalikan. Hak retensi tidak membawa serta hak boleh memakai barang yang ditahan tersebut tetapi hanya boleh menahan saja dan tidak boleh digunakan.[8]
Hak retensi diberikan kepada seseorang pemegang kedudukan berkuasa atas:[9]
a)      Biaya yang harus dikeluarkan olehnya guna menyelamatkan dan memperbaiki keadaan kebendaan yang dikuasainya tersebut.
b)      Menuntut kembali segala biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil-hasil dari kebendaan yang dikuasainya tersebut (dalam hal benda tersebut adalah tanah), selama dan sepanjang hasil-hasil itu pada saat penyerahan kembali akan kebendaan yang bersangkutan belum terpisah dari tanah.
Dan tidak termasuk pada:
a)      Segala biaya dan pengeluaran yang telah dikeluarkan guna memelihara kebendaan itu semata-mata.
b)      Biaya-biaya yang dikeluarkan guna memperoleh hasil-hasil yang karena kedudukan berkuasanya berhak menikmatinya.

2)      Hak Retensi PT. Merah Delima
Berdasarkan penjelasan mengenai hak retensi di atas, maka ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berkaitan dengan hak retensi diatur dalam beberapa ketentuan pasal KUHPerdata. Ketentuan  yang dapat dijadikan dasar oleh PT. Merah Delima untuk menahan Kapal Keruk Sumatera adalah ketentuan Pasal 1616 KUHPerdata yang menentukan bahwa:
“Para buruh yang memegang suatu barang milik orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang itu, berhak menahan barang itu sampai upah dan biaya untuk itu dilunasi, kecuali bila untuk upah dan biaya buruh tersebut, pemberi tugas itu telah menyediakan tanggungan secukupnya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1616 KUHPerdata tersebut, maka PT. Merah Delima yang merupakan pihak yang mengerjakan/melakukan perawatan/perbaikan terhadap Kapal Keruk Sumatera atas perjanjian antara AAA dengan PT. Merah Delima, memiliki hak retensi untuk menahan Kapal Keruk Sumatera. PT. Merah Delima berhak atas pembayaran sejumlah dana atas jasa perawatan/perbaikan yang telah dilakukan atas Kapal Keruk Sumatera sebagaimana yang telah ditentukan dalam kontrak/perjanjian antara AAA dengan PT. Merah Delima. PT. Merah delima berdasarkan hak retensi yang dimiliki tersebut, berhak menahan Kapal Keruk sumatera sampai pihak AAA melunasi pembayaran sejumlah dana (piutang) kepada PT. Merah Delima.
Ketentuan dalam KUHPerdata yang berkaitan dengan hak retensi adalah ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata yang menentukan bahwa:
“penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata tersebut, maka pihak penerima kuasa berhak untuk menahan benda milik pemberi kuasa yang berada di bawah penguasannya sampai pihak pemberi kuasa membayarkan segala kewajibannya kepada penerima kuasa. Ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata tersebut adalah berkaitan dengan hak retensi bagi penerima kuasa, seperti halnya hak retensi yang dimiliki oleh seorang Advokat atas pemberian kuasa dari klien (pemberi kuasa) dalam hal untuk bertindak di dalam dan di luar pengadilan untuk kepentingan klien (pemberi kuasa). Hak retensi yang dimiliki advokat tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata adalah advokat berhak untuk menahan benda-benda milik kliennya (pemberi kuasa) apabila pemberi kuasa tersebut tidak melaksanakan kewajibannya untuk memberikan/membayarkan sejumlah dana atau benda yang dipersamakan untuk itu atas jasa-jasa yang telah diberikan advokat (penerima kuasa).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata tersebut, maka ketentuan pasal tersebut tidak cukup relevan apabila digunakan oleh pihak PT. Merah Delima sebagai dasar hak retensi (menahan benda) Kapal Keruk Sumatera. Ketentuan yang cukup relevan untuk digunakan sebagai dasar hak retensi PT. Merah Delima untuk menahan Kapal Keruk Sumatera adalah Ketentuan Pasal 1616 KUHPerdata sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
b.      Alasan-Alasan PT. MD Menolak Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Berdasarkan New York Convention 1958
Pelaksanaan putusan arbitrase asing/internasional sangat terkait dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan.[10] Pengadilan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut.[11]
Dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat memaksakan pelaksanaan putusannya,[12] melainkan lembaga pengadilan yang harus memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut. Dalam prakteknya, pengadilan dapat sewaktu-waktu campur tangan dalam hal pemeriksaan proses arbitrase yang sedang berjalan. Artinya, putusan arbitrase, termasuk arbitrase asing tidak memiliki kekuatan eksekutorial manakala putusan arbitrase tersebut tidak didaftarkan pada lembaga pengadilan.
Pengaturan mengenai arbitrase internasional telah diatur secara tegas dalam New York Convention 1958. Indonesia sejak tahun 1981 telah secara sah menjadi anggota New York Convention 1958. Indonesia kemudian secara khusus telah memberlakukan peraturan perundang-undangan mengenai arbitrase, yakni melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing telah secara tegas diatur, baik dalam New York Convention 1958 maupun lebih khusus dalam UU Arbitrase. Akan tetapi, pada praktiknya pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sering menghadapi hambatan, bahkan lembaga pengadilan pada kasus tertentu menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Sebagai contoh dalam praktik, pada tahun 2010, terdapat putusan arbitrase internasional asal Singapore International Arbitration Center/SIAC yang ditolak pelaksanaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta penolakan tersebut kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. Kasus tersebut merupakan salah satu kasus arbitrase internasional yang juga diajukan banding ke Mahkamah Agung adalah kasus antara AAAN dengan PT APM. PT APM sebagai pemilik PT DV bersama dengan AG, di mana A memiliki saham sebanyak 49%. Dan sisanya dimiliki Silver Concord sebesar 51%. APM sendiri, dimiliki oleh PT FM, sebanyak 99% dalam bentuk nilai penyertaan sebesar Rp.34,54 juta dan PT MVC dengan nilai penyertaan Rp.35 ribu (1%).[13]
Pelaksanaan putusan arbitrase asing/internasional pada prinsipnya dapat ditolak, baik menurut New York Convention 1958 maupun UU Arbitrase. Ketentuan dalam UU Arbitrase terkait alasan-alasan yang dapat menjadi dasar penolakan putusan arbitrase asing adalah ketentuan Pasal 66 UU Arbitrase yang secara tegas menentukan bahwa:
“Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
2)      Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
3)      Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
4)      Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
5)      Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU Arbitrase tersebut, maka pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang secara tegas telah diatur dalam Pasal 66 UU Arbitrase tersebut. Artinya, apabila pelaksanaan putusan arbitrase asing terbukti bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia, maka pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut ditolak oleh hakim (tidak mendapatkan kekuatan eksekutorial), sehingga tidak dapat dieksekusi.
Ketentuan dalam New York Convention 1958 juga mengatur mengenai penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Ketentuan dalam New York Convention 1958 mengenai alasan atau dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa:
1. Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only uf that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that:
(a) The parties to the agreement reffered in article II were, under the law applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any indication thereon, under the law of the country where the award was made; or
(b) The party against whom the award is invoked was not given proper notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was otherwise unable to present his case; or
(c) The award deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of submission to arbitration, or it contains decisions on matters beyond the scope of submission to arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted to arbitration can be separated from those not so submitted, that part of the award which contains decisions on matters submitted to arbitration may be recognized and enforced; or
(d) The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in accordance with the agreement, was not in accordance with the law of the country where the arbitration took place; or
(e) The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made”.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan, baik dalam UU Arbitrase maupun dalam New York Convention 1958 tersebut, maka PT. MD dapat menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing (SIAC) dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah secara tegas diatur, baik dalam ketentuan Pasal 66 UU Arbitrase maupun dalam Pasal 5 ayat (1) New York Convention 1958.
c. Upaya Hukum PT. MD Membatalkan Putusan Arbitrase SIAC Berdasarkan New York Convention 1958
New York Convention 1958 telah mengatur secara tegas terkait ketentuan pembatalan putusan arbitrase internasional. Ketentuan terkait pembatalan putusan arbitrase internasional dalam New York Convention diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e yang menentukan bahwa:
The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e New York Convention 1958 tersebut, maka PT. MD dapat mengajukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase asing (SIAC) berdasarkan hukum yang berlaku di Singapura. Oleh karena itu, permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase SIAC tersebut juga harus diajukan di lembaga pengadilan Singapura yang ditunjuk/berwenang membatalkan putusan-putusan arbitrase SIAC.





=================================================================


disusun oleh :

Bobtian Sijabat (422084)
Etty Indrawati (422090)
Idik Saeful Bahri (422094)
Muhammad Adham Muhaimin (422101)
N. P. Ari Setyaningsih (422103)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019




===================================================================




DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku
Djojodirdjo,M.A. Moegni, 2010, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta.
Fuady, Munir. 2010. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Mulyadi, Kartini. 2005. Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek. Kencana. Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 1954. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional. Cetakan Kedua. Van Dop & Co. Jakarta.
Rajagukguk, Erman. 2000. Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Chandra Pratama. Jakarta.
Sofyan, Sri Soedewi Masjchoen. 2006. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Liberty. Yogyakarta.
Zuraida., Tin. 2009. Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori dan Praktek yang Berkembang. PT. Wastu Lanas Grafika. Surabaya.

B.       Jurnal
Hikmah, Mutiara. “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All Asia Network Plc”. Jurnal Yudisial. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok. Volume 5, Nomor 1. Bulan April. Tahun 2012.

C.      Peraturan Perundang-Undangan dan Konvensi Internasional
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diumumkan dengan Maklumat 30 April 1847, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872).
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, Diundangkan di Jakarta dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 40.
New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958.


[1] M.A. Moegni Djojodirdjo, 2010, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta,  hlm. 10.
[2] Ibid., hlm 11.
[3] Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 8.
[4] Lihat Pasal 2 ayat (1) Konvensi New York 1958.
[5] Ibid., Pasal 1 ayat (1).
[6] Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, Kencana, Jakarta, hlm. 43.
[7] Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, 2006, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, hlm. 63.
[8] Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 44.
[9] Ibid.
[10] Wirjono Prodjodikoro, 1954, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, Cetakan Kedua, Van Dop & Co, Jakarta, hlm. 74. Dalam Mutiara Hikmah, “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All Asia Network Plc”, Jurnal Yudisial, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Volume 5, Nomor 1, Bulan April, Tahun 2012, hlm. 65.
[11] Erman Rajagukguk, 2000, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, hlm. 4. Dalam ibid.
[12] Tin Zuraida, 2009, Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori dan Praktek yang Berkembang, PT. Wastu Lanas Grafika, Surabaya, hlm. 222. Dalam ibid.
[13] Mutiara Hikmah, “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All Asia Network Plc”, Jurnal Yudisial, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Volume 5, Nomor 1, Bulan April, Tahun 2012, hlm. 66.

Tidak ada komentar: