- A. Latar Belakang
Perjanjian Sewa Kapal Keruk Sumatera antara PT Biru Laut dan AAA
Co.Ltd Pada tanggal 9 Juni 2008, AAA Co. Ltd (”AAA”) sebuah perusahaan yang didirikan
berdasarkan hukum Singapura dan berkedudukan di Singapura menandatangani
Perjanjian Penyewaan Kapal (”Perjanjian Sewa”) dengan PT Biru Laut (”PT BL”),
sebuah perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. Dalam Perjanjian Sewa, AAA
sepakat untuk menyewa Kapal Keruk Sumatera berkapasitas 6000M3 milik PT BL yang
akan dipergunakan untuk proyek pengerukan pelabuhan di Thailand. Harga sewa
sebesar USD.5.500.000,-/tahun (dibayar diawal setiap 6 bulan). Forum
penyelesaian sengketa yang disepakati PT BL dan AAA dalam hal timbul sengketa
akan diselesaikan melalui arbitrase di Badan Arbitrase Maritim Indonesia (BAMI)
dengan peraturan dan prosedur yang berlaku di BAMI serta hukum yang mengaturnya
adalah menggunakan Hukum Negara Republik Indonesia. Dalam Perjanjian Sewa para
pihak juga sepakat untuk mengesampingkan (waiver) ketentuan Pasal 1266
KUHPerdata.
Sebelum Kapal Keruk Sumatera dioperasikan oleh AAA telah disepakati
bahwa AAA bertanggung jawab untuk melaksanakan perbaikan/ docking
repair terlebih dahulu atas Kapal Keruk
Sumatera di galangan perbaikan kapal milik PT Merah Delima (”PT MD”), sebuah
perusahaan yang berdomisili di Jakarta Utara. AAA juga bertanggung jawab untuk
pengadaan suku cadang dan biaya-biaya perbaikan/ docking repair atas Kapal Keruk Sumatera tersebut.
Hal-hal
yang diatur dalam Perjanjian Sewa antara PT BL dan AAA antara lain:
1.
AAA
bertanggung jawab terhadap Kapal Keruk Sumatera sejak tanggal penyerahan.
2.
Jangka
waktu maksimum perbaikan/ docking repair Kapal Keruk Sumatera disepakati
adalah 120 hari kerja sejak penyerahan Kapal Keruk Sumatera. Apabila jangka
waktu perbaikan/ docking repair lebih dari 120 hari, maka sewa mulai
berlaku sejak tanggal berakhirnya waktu perbaikan/ docking repair maksimum
tersebut atau sewa Kapal Keruk Sumatera mulai berlaku setelah 120 hari sejak
penyerahan Kapal Keruk Sumatera.
3.
AAA
dan PT BL sepakat bahwa tidak akan ada perpanjangan waktu perbaikan/ docking
repair dan bila perbaikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan 120 hari,
maka sewa berlaku sejak hari perbaikan/ docking repair selesai.
4.
Setelah
perbaikan dilakukan, maka akan dilakukan sea trial yaitu uji coba/uji
kelayakan Kapal Keruk Sumatera di laut guna memenuhi standar mutu yang
ditetapkan oleh Biro Klasifikasi Maritim Indonesia.
Adapun
jadwal pembayaran biaya sewa Kapal Keruk Sumatera disepakati sebagai berikut:
Jadwal
Pembayaran Sewa Kapal Keruk Sumatera
Tahun
|
Periode Sewa
|
Biaya Sewa
|
Tahun 1
|
27 Desember
2008 - 27 Juni 2009
|
USD.
2.750.000
|
|
27 Juni 2009
- 27 Desember 2009
|
USD.
2.750.000
|
Tahun 2
|
27 Desember
2009 - 27 Juni 2010
|
USD.
2.750.000
|
|
27 Juni 2010
- 27 Desember 2010
|
USD.
2.750.000
|
Tahun 3
|
27 Desember
2010 – 27 Juni 2011
|
USD.
2.750.000
|
|
27 Juni 2011
– 27 Desember 2011
|
USD.
2.750.000
|
Penyerahan dan Perbaikan Kapal Keruk Sumatera terjadi pada tanggal
27 Agustus 2008 Kapal Keruk Sumatera diserahkan oleh PT BL kepada AAA sesuai
dokumen Protocol of Delivery and Acceptance yang ditandatangani kedua
belah pihak Selanjutnya AAA berkewajiban melaksanakan perbaikan/ docking
repair selama 120 hari kalender terhitung sejak tanggal penyerahan Kapal
Keruk Sumatera tersebut. Sebelumnya pada tanggal 22 Agustus 2008 antara PT MD
dan AAA telah ditandatangani Perjanjian Perbaikan Kapal Keruk Sumatera (”
Perjanjian Perbaikan Kapal ”), tanpa melibatkan PT BL sebagai pemilik/ owner
dari Kapal Keruk Sumatera. Forum penyelesaian sengketa yang disepakati AAA
dan PT MD dalam hal timbul sengketa akan diselesaikan melalui Singapore
International Arbitration Centre ( SIAC ) dan hukum yang mengaturnya adalah
menggunakan Hukum Negara Republik Singapura.
Ternyata dalam proses perbaikan/ docking repair Kapal Keruk
Sumatera (setelah dilakukan pembongkaran lantai dasar/dek kapal) ditemukan juga
bagian-bagian kerusakan lain yang sebelumnya tidak diperkirakan oleh para pihak
(AAA dan PT BL). Hal ini mengakibatkan waktu perbaikan menjadi lebih lama dan
melampaui jangka waktu maksimum perbaikan/ docking repair selama 120
hari. Hal lain yang mengakibatkan keterlambatan perbaikan/ docking repair karena
AAA tidak menyediakan suku cadang secara tepat waktu yang menjadi tanggung
jawabnya. AAA juga tidak membayar sebagian lain biaya perbaikan/ docking
repair kepada PT MD.
Karena telah melampaui waktu 120 hari, PT BL merasa berhak untuk
menagih sewa sesuai Perjanjian Sewa. Namun setelah ditagih beberapa kali oleh
PT BL atas biaya sewa Kapal Keruk Sumatera untuk 6 (enam) bulan pertama sewa
(periode 27 Desember 2008 - 27 Juni 2009), AAA belum juga melakukan pembayaran
biaya sewa Kapal Keruk Sumatera kepada PT BL. Dalam suratnya tanggal 12 Maret
2009, AAA meminta penundaan pembayaran sewa kepada PT BL dengan alasan bahwa
AAA mengalami dampak dari krisis ekonomi global yang mempengaruhi kemampuan AAA
untuk membayar sewa sesuai dengan jadwal yang tertera dalam Perjanjian. Setelah
melakukan pembicaraan secara intensif, maka tercapailah kesepakatan antara AAA
dan PT BL untuk mengubah skema pembayaran antara lain sebagai berikut:
1.
AAA
tidak dapat melakukan pembayaran sewa atas Kapal Keruk Sumatera dari tanggal 27
Desember 2008 sampai dengan 27 Juni 2009 sejumlah USD.2.750.000,- (dua juta
tujuh ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat) ditambah bunga 5%/tahun
(bunga keterlambatan);
2.
AAA
akan melakukan pembayaran sewa setiap 2 (dua) bulan dimuka sejumlah
USD.916.667,-.
Pemutusan Perjanjian Sewa tanggal 9 Juni 2008. Karena AAA tidak
juga melakukan pembayaran sewa Kapal Keruk Sumatera kepada PT BL dan setelah
diperingati beberapa kali melalui surat, maka pada tanggal 1 Juli 2009 PT BL
mengirim surat yang menyatakan bahwa AAA telah wanprestasi ( notice of default
) atas pembayaran sewa Kapal Keruk Sumatera dan berdasarkan Paragraf 5 dan
6 Pasal 18 Perjanjian Sewa, PT BL berhak untuk menarik kembali Kapal Keruk
Sumatera dari AAA serta PT BL berhak memutus Perjanjian apabila AAA wanprestasi
dalam skema pembayaran. Akhirnya pada tanggal 8 Desember 2009 PT BL melakukan
pemutusan Perjanjian. Menanggapi pemutusan tersebut, AAA sangat berkeberatan
dan tidak menerima sehingga mengajukan permohonan arbitrase terhadap PT BL di
BAMI. Dalam persidangan yang berlangsung selama kurang lebih 6 (enam) bulan,
Majelis Arbitrase BAMI pada tanggal 3 Oktober 2010 telah menjatuhkan putusan
yang amar putusannya antara lain berbunyi sebagai berikut:
1.
Menyatakan
bahwa Perjanjian Kapal Keruk Sumatera tetap berlaku secara sah dan mengikat
untuk dilaksanakan oleh para pihak.
2.
Mewajibkan
Pemohon (AAA) untuk menyelesaikan pembayaran kepada PT Merah Delima sebagaimana
yang diperjanjikan antara PT Merah Delima dengan Pemohon (AAA).
3.
Mewajibkan
bahwa ” sea trial ” harus dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah keputusan ini berlaku oleh Pemohon.
4.
Menetapkan
bahwa Pemohon (AAA) berhak untuk menyewa Kapal Keruk Sumatera untuk operasional
selama 3 (tiga) tahun setelah sea trial.
5.
Mewajibkan
Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambat-lambatnya 30 hari
setelah putusan ini diucapkan.
6.
Menyatakan
putusan arbitrase ini adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir serta
mengikat kedua belah pihak.
Tanggal 27 Oktober 2010 PT BL memberitahukan kepada PT MD mengenai
adanya Putusan BAMI dan PT BL menegaskan bahwa biaya-biaya perbaikan/ docking
repair Kapal Keruk Sumatera adalah tanggung jawab AAA sesuai butir 2 amar
Putusan BAMI. Putusan BAMI telah didaftarkan oleh Sekretaris Majelis BAMI di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 27 Oktober 2010
dengan register No.1000/WASIT/2010/PN.JKT.UT. Ternyata setelah 2 bulan sejak
putusan BAMI, AAA tidak juga melaksanakan isi Putusan BAMI secara sukarela. PT
BL telah mengirim surat beberapa kali kepada AAA agar AAA segera melaksanakan
isi Putusan BAMI tersebut. Namun tidak mendapat tanggapan yang memuaskan. PT BL
sebagai Termohon dalam perkara di BAMI justru yang mengajukan permohonan
eksekusi Putusan BAMI kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan mohon agar
dilakukan teguran kepada para pihak (aanmaning). PT BL menagih kembali
biaya sewa Kapal Keruk Sumatera kepada AAA melalui surat tanggal 6 Desember
2010, dimana biaya sewa Kapal Keruk Sumatera seyogyanya sudah berlaku setelah sea
trial dilaksanakan yaitu 2 bulan setelah Putusan BAMI dikeluarkan atau
sejak tanggal 3 Desember 2010.
AAA membalas surat PT BL dengan mengatakan bahwa sea trial tetap
belum dapat dilaksanakan mengingat proses perbaikan/ docking repair Kapal
Keruk Sumatera masih berlangsung sehingga AAA bersikeras bahwa sewa kapal belum
berlaku. Di sisi lain, AAA ternyata juga belum melunasi sebagian lain biaya
perbaikan/ docking repair Kapal Keruk Sumatera kepada PT MD. PT MD
menahan Kapal Keruk Sumatera sebagai jaminan atas pelunasan biaya perbaikan/ docking
repair dan AAA juga tetap tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya
sebagaimana tercantum dalam Putusan BAMI.
Karena tidak ada kejelasan lebih lanjut dari kerjasama penyewaan kapal
dengan AAA dan guna mencegah resiko kerusakan yang lebih parah jika Kapal Keruk
Sumatera tetap berada di galangan PT MD, PT BL berupaya untuk menarik
kembali/demobilisasi Kapal Keruk Sumatera miliknya dari galangan PT MD melalui
suratnya tanggal 22 Desember 2010. Upaya demobilisasi ini mendapat tanggapan
dari PT MD yang mengatakan bahwa sesuai Perjanjian Perbaikan Kapal antara PT MD
dengan AAA, disebutkan bahwa AAA adalah sebagai pemilik/ owner dari
Kapal Keruk Sumatera dan Kapal Keruk Sumatera baru dapat didemobilisasi keluar
dari galangan PT MD setelah seluruh pembayaran atas biaya perbaikan/ docking
repair Kapal Keruk Sumatera telah dilunasi. Lebih lanjut PT MD mengatakan
berhak untuk menahan Kapal Keruk Sumatera sampai biaya-biaya perbaikan/ docking
repair dilunasi.
- B.
Rumusan Masalah
1.
Apabila
saudara dalam posisi sebagai Advokat yang akan membela kepentingan hukum PT
Biru Laut yang tetap ingin menagih pembayaran uang sewa dan menarik Kapal Keruk
Sumatera.
a.
Uraikan
langkah-langkah hukum apa yang dapat ditempuh PT Biru Laut untuk menuntut
pembayaran uang sewa Kapal Keruk Sumatera dari AAA?
b.
Apakah
PT Biru Laut berhak untuk menarik kembali kapalnya dari PT Merah Delima? Jika
dapat, uraikan upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh PT Biru Laut terhadap
PT Merah Delima bila PT Merah Delima tetap tidak mau menyerahkan Kapal Keruk
Sumatera kepadanya?
c.
Apakah
PT Biru Laut dapat menuntut pemegang saham AAA untuk ikut bertanggung jawab
melunasi biaya sewa dan biaya perbaikan Kapal Keruk Sumatera?
d.
Pasal
berapa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur Notice of
Default atau pemberitahuan pernyataan wanprestasi?
2.
Apabila
saudara dalam posisi sebagai advokat yang akan membela kepentingan hukum AAA
Ltd. Co yang tetap ingin mempertahankan kapal keruk Sumatera dan tidak mau
membayar sewa karena proses perbaikan masih berlangsung.
a.
Apakah
AAA dapat menuntut ganti rugi kepada PT. Merah Delima jika PT. Merah Delima mau
secara sukarela mengembalikan kapal keruk Sumatera kepada PT. Biru Laut?
Berikan dasar hukum dan kemana hal tersebut dapat diajukan?
b.
Apabila
AAA mengajukan permohonan arbitrase di SIAC terhadap PT. Merah Delima karena
mengembalikan kapal keruk Sumatera kepada PT. Biru Laut, dan ternyata
permohonannya dikabulkan dalam putusan arbitrase SIAC tersebut, apakah putusan
arbitrase SIAC dapat di eksekusi di Indonesia? Jelaskan.
c.
Apa
persyaratan-persyaratan yang harus dipersiapkan/dipenuhi untuk dapat
mengeksekusi putusan arbitrase SIAC di Indonesia?
3. Apabila saudara dalam posisi sebagai
Advokat yang akan membela kepentingan hukum PT. Merah Delima yang menginginkan
biaya perbaikan atas kapal keruk Sumatera.
a.
Apakah PT Merah Delima
memiliki hak retensi untuk menahan Kapal Keruk Sumatera sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1812 dan pasal 1616 KUHPerdata mengingat Kapal Keruk Sumatera
adalah milik PT Biru Laut?
b.
Terhadap putusan
arbitrase SIAC yang mengabulkan pemohonan AAA (lihat pertanyaan butir B.2),
apakah PT MD dapat menggunakan alasan-alasan penolakan pelaksanaan putusan
arbitrase asing berdasarkan New York Convention 1958? Jelaskan alasan-alasan
tersebut?
c.
Jelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh PT MD apabila PT MD berusaha
untuk membatalkan putusan arbitrase SIAC? Berdasarkan New York Convention 1958,
ke pengadilan manakah hal tersebut dapat dilakukan?
- C. Pembahasan
1.
Kepentingan Hukum PT. Biru Laut
a.
Langkah Hukum PT. Biru Laut
1)
Aamaning
Aamaning adalah peringatan atau teguran agar tergugat menjalankan
putusan dalam jangka waktu tertentu yang dilakukan oleh KPN setelah ternyata
tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela. Jika aamaning tidak
dipatuhi, maka tahap berikutnya adalah melakukan sita eksekusi terhadap harta
kekayaan tergugat dengan ketentuan hukum acara perdata.
2)
Eksekusi
Ada tiga macam ekseksusi yang dikenal oleh hukum acara perdata,
yaitu:
a)
Eksekusi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya. Pihak yang menang
dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan eksekusi putusan
berdasarkan Pasal 196 HIR:
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi
keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik
dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada
ayat pertama Pasal 195, untuk menjalankan
keputusan itu ketua memerintahkan memanggil
pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan supaya ia memenuhi keputusan itu
di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Pasal 197 menyebutkan sebagai berikut:
Jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih juga
tidak dilaksanakan, maka ketua pengadilan memerintahkan agar disita
barang-barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti jumah
uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya
untuk menjalankan keputusan itu.
b)
Putusan
untuk melaksanakan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela,
harus dinilai dalam sejumlah uang (Pasal 225 HIR/ Pasal 259 RBg) dan
selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
Penerapan Pasal 225 HIR/ 259 Rbg harus terlebih
dahulu ternyata bahwa Termohon tidak mau melaksanakan putusan tersebut dan
pengadilan tidak dapat / tidak mampu melaksanakannya walau dengan bantuan alat
negara. Dalam hal demikian, Pemohon dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri agar termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan
perbuatan yang harus dilakukan oleh Termohon.
Untuk memperoleh jumlah yang sepadan, Ketua
Pengadilan Negeri wajib memanggil dan mendengar Termohon eksekusi dan apabila
diperlukan Ketua Pengadilan Negeri dapat meminta keterangan dari seorang ahli
di bidang tersebut. Penetapan jumlah uang yang harus dibayar oleh termohon
dituangkan dalam penetapan Ketua Pengadilan Negeri.
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak
dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang
milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (Pasal 200 HIR, Pasal
214 s/d Pasal 274 RBg).
Putusan dengan mana tergugat dihukum untuk menyerahkan sesuatu
barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, apabila perlu
dengan bantuan alat kekuasaan negara.
c) Eksekusi Riil yaitu eksekusi yang
dilaksanakan secara nyata (riil) misalnya eksekusi pengosongan rumah/tanah, dan penjualan lelang barang-barang tetap
atau tidak tetap milik tergugat yang kalah. Yang dimaksudkan dengan eksekusi riil oleh Pasal 1033 Rv ialah pelaksanan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda
tetap. Apabila orang yang dihukum untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi
surat perintah hakim, hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya
dengan bantuan panitera pengadilan dan kalau perlu denganbantuan alat kekuasaan Negara,
agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya. HIR hanya
mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang (Pasal 200 ayat 11HIR, Pasal 218
ayat 2 Rbg).
Dalam hubungan ini perlu
dikemukakan, bahwa yang harus meninggalkan barang tetap yang dikosongkan itu adalah pihak yang
dikalahkan beserta sanak keluarganya, bukan pihak yang menyewa rumah tersebut, misalnya,
yang sebelum rumah tersebut disita atas dasar perjanjian sewa-menyewa telah mendiami rumah
itu sejak dahulu.
Meskipun demikian apabila ternyata
orang lain bukan tersita dan keluarganya, yang mendiami rumah tersebut sewaktu dilelang,
maka rumah tersebut tidak dapat langsung dikosongkan, akan tetapi perjanjian sewa-menyewa
termaksud harus terlebih dahulu dibatalkan.
b.
Hak PT. Biru Laut
1)
Berhak.
2)
Dengan
cara mengajukan tuntutan pidana dan perdata. Tuntutan pidana berupa laporan
kepolisian berdasarkan ketentuan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan gugatan
perdata (PMH) berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPer.
Bunyi dari Pasal 372 KUHP sebagai berikut:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang
ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.
Pasal 1365 KUHPer menyebutkan bahwa:
Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
c.
Menuntut Pemegang Saham
Tidak Dapat dimintai pertanggung jawaban. Pasal 3 ayat (1) UUPT
menyebutkan bahwa: pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas
seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Tanggung
jawab pemegang saham yang terbatas inilah yang dibakukan dalam istilah tanggung
jawab terbatas.
Salah satu keuntungan yang paling besar diperoleh dan dinikmati
pemegang saham adalah tanggung jawab terbatas. Keuntungan ini diberikan UUPT
kepada pemegang saham sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT.
Meskipun pemegang saham dikonstruksi sebagai pemilik dari perseroan, namun
hukum membatasi tanggung jawabnya dengan acuan:
1)
pemegang
saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang
dibuat atas nama perseroan maupun atas kerugian yang dialami perseroan;
2)
risiko
yang ditanggung pemegang saham, hanya sebesar investasinya atau tidak melebihi
saham yang dimilikinya pada perseroan;
3)
dengan
demikian, pada prinsipnya pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi
atau secara individual atas utang perseroan.
d.
Somasi
Somasi
diatur di dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUHPerdata.
Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau
dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Selanjutnya dalam Pasal 1243 diatur bahwa:
Tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat diakukan
apabila si berutang teah diberi peringatan bahwa ia melaillaikan kewajibannya,
namun kemudian ia tetap melalaikannya. Peringatan ini dilakukan secara
tertulis, yang kemudian kita kenal sebagai somasi.
Somasi minimal dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau juru
sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memeutuskan, apakah
debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si berpiutang
(kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi prestasi sesuai
dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.
2.
Kepentingan Hukum PT. AAA
a.
Tuntutan Ganti Rugi
Secara umum, pihak PT. AAA bisa mengajukan gugatan kepada PT. Merah
Delima dengan menggunakan dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH) didasarkan pada
Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.
Jika ditelaah lebih dalam dari pasal tersebut, setidaknya terdapat
5 (lima) unsur Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:
1)
Adanya
suatu perbuatan. Suatu Perbuatan Melawan Hukum diawali oleh suatu perbuatan
dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini
dimaksudkan baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat
sesuatu (dalam arti pasif).[1]
Bentuk penyerahan kapal oleh PT. Merah Delima kepada PT. Biru Laut termasuk
dalam unsur pertama ini.
2)
Perbuatan
tersebut melawan hukum. Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan
hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang
seluas-luasnya yakni meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Perbuatan yang
melanggar undang-undang yang berlaku; 2) Melanggar hak orang lain yang dijamin
oleh hukum; 3) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 4)
Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; atau 5) Perbuatan yang
bertentangan dengan sikap baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan
kepentingan orang lain.[2]
Perbuatan PT. Merah Delima dalam pandangan kami termasuk dalam bentuk perbuatan
yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum (baca: perjanjian).
3)
Adanya
kesalahan dari pihak pelaku. Penyerahan kapal oleh PT. Merah Delima kepada PT.
Biru Laut telah melanggar perjanjian yang telah dibuat antara PT. AAA dan PT.
Merah Delima.
4)
Adanya
kerugian bagi korban, dalam hal ini PT. AAA harus menanggung kerugian karena
tetap harus membayar biaya perbaikan kapal, padahal kenyataannya PT. AAA tidak
mendapatkan manfaat dari kapal yang disewa tersebut.
5)
Adanya
hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Jika antara kerugian dan
perbuatan terdapat hubungan kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat
dikatakan bahwa setiap kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan.[3]
Melihat kronologis kasus yang ada, jika PT. Merah Delima menyerahkan kapal
kepada PT. Biru Laut, maka secara langsung memberikan kerugian kepada PT. AAA.
Dari uraian diatas, PT. AAA dapat
mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) melalui Singapore
International Arbitration Centre (SIAC) sebagaimana forum penyelesaian sengketa
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian perbaikan kapal.
Adapun hukum yang mengaturnya menggunakan hukum Singapura. Lembaga arbitrase
selain menerima permohonan gugatan wanprestasi, juga dapat menerima permohonan gugatan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH).[4]
b.
Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Pada
prinsipnya, putusan arbitrase asing—dalam kasus ini adalah SIAC—dapat
dimohonkan untuk dieksekusi di Indonesia. Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa
Indonesia telah meratifikasi 2 (dua) konvensi internasional dalam pelaksanaan
putusan arbitrase asing yaitu: Convention on the Settlement of Investment
Disputes between States and Nationals of other States (ICSID); dan Convention
on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York
Convention 1958). New York Convention 1958 merupakan konvensi internasional
yang menyatakan adanya pengakuan dan pelaksanaan dari setiap putusan arbitrase
yang diambil di luar wilayah teritorial negara dimana putusan tersebut akan
dilaksanakan.[5]
Dalam ayat 2 dinyatakan bahwa termasuk dalam pengertian putusan arbitrase yang
diakui ini adalah :
1)
Putusan
yang berasal dari arbitrase ad-hoc independen;
2)
Putusan
yang diambil oleh suatu lembaga arbitrase.
Pasal 65 UU
Arbitrase secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan
dan pelaksanaan putusan abitrase internasional di Indonesia adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Jika suatu putusan arbitrase internasional diakui dan
dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, maka putusan tersebut
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional (asas resiprositas);
2)
Putusan arbitrase internasional terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan;
3)
Putusan arbitrase internasional hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
4)
Putusan arbitrase internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat; dan
5)
Putusan arbitrase internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
c.
Syarat
Pengajuan Eksekusi
Pasal 67 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU
Arbitrase) menjelaskan
bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah
putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 67 ayat
(2) UU Arbitrase, dokumen permohonan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional harus disertai dengan:
1)
Lembar asli atau salinan otentik Putusan
Arbitrase Internasional (sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen
asing) dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
2)
Lembar asli atau salinan otentik
Perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional (sesuai
ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing) dan naskah terjemahan resminya
dalam bahasa Indonesia, dan;
3)
Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik
Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut
ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan
dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Setelah dokumen-dokumen tersebut didaftarkan, maka Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan mempertimbangkan untuk menerbitkan exequatur
order. Jika seandainya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak
permohonan tersebut, pihak asing yang hendak melakukan eksekusi atas putusan
arbitrase internasional memiliki upaya kasasi atas penolakan Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat ke Mahkamah Agung.
3. Kepentingan Hukum PT. Merah Delima
a. Hak Retensi PT. Merah Delima untuk Menahan Kapal Keruk
Sumatera
1)
Hak Retensi
Hak retensi
berasal dari kata retain, yang
berarti hak untuk tetap menahan suatu benda.[6]
Hak retensi adalah hak untuk menahan sesuatu benda sampai suatu piutang yang
bertalian dengan benda tersebut dilunasi.[7]
Aturan umum
dalam KUHPerdata mengenai hak retensi diatur dalam pasal-pasal yang tercerai
berai, yaitu dalam Pasal 575, Pasal, 576, Pasal 577, Pasal 578, Pasal 715,
Pasal 725, Pasal 1616, Pasal 1729, Pasal 1812, dan Pasal 1364 KUHPerdata. Hak
retensi bersifat tidak dapat dibagi-bagi, kalau misalnya sebagian saja dari
utang itu tidak dibayar, tidak lalu berarti harus mengembalikan sebagian dari
barang yang ditahan. Hutang seluruhnya harus dibayar terlebih dahulu baru
barang seluruhnya dikembalikan. Hak retensi tidak membawa serta hak boleh
memakai barang yang ditahan tersebut tetapi hanya boleh menahan saja dan tidak
boleh digunakan.[8]
Hak retensi
diberikan kepada seseorang pemegang kedudukan berkuasa atas:[9]
a)
Biaya
yang harus dikeluarkan olehnya guna menyelamatkan dan memperbaiki keadaan
kebendaan yang dikuasainya tersebut.
b)
Menuntut
kembali segala biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil-hasil dari
kebendaan yang dikuasainya tersebut (dalam hal benda tersebut adalah tanah),
selama dan sepanjang hasil-hasil itu pada saat penyerahan kembali akan
kebendaan yang bersangkutan belum terpisah dari tanah.
Dan tidak
termasuk pada:
a)
Segala
biaya dan pengeluaran yang telah dikeluarkan guna memelihara kebendaan itu
semata-mata.
b)
Biaya-biaya
yang dikeluarkan guna memperoleh hasil-hasil yang karena kedudukan berkuasanya
berhak menikmatinya.
2)
Hak Retensi PT. Merah Delima
Berdasarkan
penjelasan mengenai hak retensi di atas, maka ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berkaitan dengan hak retensi
diatur dalam beberapa ketentuan pasal KUHPerdata. Ketentuan yang dapat dijadikan dasar oleh PT. Merah
Delima untuk menahan Kapal Keruk Sumatera adalah ketentuan Pasal 1616
KUHPerdata yang menentukan bahwa:
“Para buruh yang memegang suatu barang milik orang lain untuk mengerjakan
sesuatu pada barang itu, berhak menahan barang itu sampai upah dan biaya untuk
itu dilunasi, kecuali bila untuk upah dan biaya buruh tersebut, pemberi tugas
itu telah menyediakan tanggungan secukupnya.”
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1616 KUHPerdata tersebut, maka PT. Merah Delima yang merupakan
pihak yang mengerjakan/melakukan perawatan/perbaikan terhadap Kapal Keruk
Sumatera atas perjanjian antara AAA dengan PT. Merah Delima, memiliki hak
retensi untuk menahan Kapal Keruk Sumatera. PT. Merah Delima berhak atas
pembayaran sejumlah dana atas jasa perawatan/perbaikan yang telah dilakukan
atas Kapal Keruk Sumatera sebagaimana yang telah ditentukan dalam
kontrak/perjanjian antara AAA dengan PT. Merah Delima. PT. Merah delima
berdasarkan hak retensi yang dimiliki tersebut, berhak menahan Kapal Keruk
sumatera sampai pihak AAA melunasi pembayaran sejumlah dana (piutang) kepada
PT. Merah Delima.
Ketentuan dalam
KUHPerdata yang berkaitan dengan hak retensi adalah ketentuan Pasal 1812
KUHPerdata yang menentukan bahwa:
“penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada
di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat
dituntutnya akibat pemberian kuasa”.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata tersebut, maka pihak penerima kuasa berhak
untuk menahan benda milik pemberi kuasa yang berada di bawah penguasannya
sampai pihak pemberi kuasa membayarkan segala kewajibannya kepada penerima
kuasa. Ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata tersebut adalah berkaitan dengan hak
retensi bagi penerima kuasa, seperti halnya hak retensi yang dimiliki oleh
seorang Advokat atas pemberian kuasa dari klien (pemberi kuasa) dalam hal untuk
bertindak di dalam dan di luar pengadilan untuk kepentingan klien (pemberi
kuasa). Hak retensi yang dimiliki advokat tersebut berdasarkan ketentuan Pasal
1812 KUHPerdata adalah advokat berhak untuk menahan benda-benda milik kliennya
(pemberi kuasa) apabila pemberi kuasa tersebut tidak melaksanakan kewajibannya
untuk memberikan/membayarkan sejumlah dana atau benda yang dipersamakan untuk
itu atas jasa-jasa yang telah diberikan advokat (penerima kuasa).
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata tersebut, maka ketentuan pasal tersebut tidak
cukup relevan apabila digunakan oleh pihak PT. Merah Delima sebagai dasar hak
retensi (menahan benda) Kapal Keruk Sumatera. Ketentuan yang cukup relevan
untuk digunakan sebagai dasar hak retensi PT. Merah Delima untuk menahan Kapal
Keruk Sumatera adalah Ketentuan Pasal 1616 KUHPerdata sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas.
b. Alasan-Alasan PT. MD Menolak Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing Berdasarkan New York Convention 1958
Pelaksanaan
putusan arbitrase asing/internasional sangat terkait dengan pemahaman dan
kemampuan hakim serta sikap pengadilan.[10]
Pengadilan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di
bidang perdagangan, walaupun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan
sengketa yang bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur
tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak
bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut.[11]
Dalam proses
pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat memaksakan
pelaksanaan putusannya,[12]
melainkan lembaga pengadilan yang harus memaksa pihak yang kalah untuk
melaksanakan putusan arbitrase tersebut. Dalam prakteknya, pengadilan dapat
sewaktu-waktu campur tangan dalam hal pemeriksaan proses arbitrase yang sedang
berjalan. Artinya, putusan arbitrase, termasuk arbitrase asing tidak memiliki
kekuatan eksekutorial manakala putusan arbitrase tersebut tidak didaftarkan
pada lembaga pengadilan.
Pengaturan
mengenai arbitrase internasional telah diatur secara tegas dalam New York
Convention 1958. Indonesia sejak tahun 1981 telah secara sah menjadi anggota
New York Convention 1958. Indonesia kemudian secara khusus telah memberlakukan
peraturan perundang-undangan mengenai arbitrase, yakni melalui Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU
Arbitrase). Ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing telah secara
tegas diatur, baik dalam New York Convention 1958 maupun lebih khusus dalam UU Arbitrase.
Akan tetapi, pada praktiknya pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
sering menghadapi hambatan, bahkan lembaga pengadilan pada kasus tertentu
menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Sebagai contoh
dalam praktik, pada tahun 2010, terdapat putusan arbitrase internasional asal
Singapore International Arbitration Center/SIAC yang ditolak pelaksanaannya
oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta penolakan tersebut kemudian
dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. Kasus tersebut merupakan salah satu kasus
arbitrase internasional yang juga diajukan banding ke Mahkamah Agung adalah
kasus antara AAAN dengan PT APM. PT APM sebagai pemilik PT DV bersama dengan
AG, di mana A memiliki saham sebanyak 49%. Dan sisanya dimiliki Silver Concord
sebesar 51%. APM sendiri, dimiliki oleh PT FM, sebanyak 99% dalam bentuk nilai
penyertaan sebesar Rp.34,54 juta dan PT MVC dengan nilai penyertaan Rp.35 ribu
(1%).[13]
Pelaksanaan
putusan arbitrase asing/internasional pada prinsipnya dapat ditolak, baik
menurut New York Convention 1958 maupun UU Arbitrase. Ketentuan dalam UU
Arbitrase terkait alasan-alasan yang dapat menjadi dasar penolakan putusan
arbitrase asing adalah ketentuan Pasal 66 UU Arbitrase
yang secara tegas menentukan bahwa:
“Putusan Arbitrase Internasional
hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia,
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Putusan
Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional;
2)
Putusan
Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan;
3)
Putusan
Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
4)
Putusan
Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
5)
Putusan
Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 66 UU Arbitrase tersebut, maka pelaksanaan putusan arbitrase
internasional di Indonesia harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang secara tegas
telah diatur dalam Pasal 66 UU Arbitrase tersebut. Artinya, apabila pelaksanaan
putusan arbitrase asing terbukti bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia,
maka pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut ditolak oleh hakim (tidak
mendapatkan kekuatan eksekutorial), sehingga tidak dapat dieksekusi.
Ketentuan dalam
New York Convention 1958 juga mengatur mengenai penolakan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional. Ketentuan dalam New York Convention 1958 mengenai
alasan atau dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah
ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa:
“1. Recognition and enforcement of
the award may be refused, at the request of the party against whom it is
invoked, only uf that party furnishes to the competent authority where the
recognition and enforcement is sought, proof that:
(a)
The parties
to the agreement reffered in article II were, under the law applicable to them,
under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law to
which the parties have subjected it or, failing any indication thereon, under
the law of the country where the award was made; or
(b)
The party
against whom the award is invoked was not given proper notice of the
appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was
otherwise unable to present his case; or
(c)
The award
deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of
submission to arbitration, or it contains decisions on matters beyond the scope
of submission to arbitration, provided that, if the decisions on matters
submitted to arbitration can be separated from those not so submitted, that
part of the award which contains decisions on matters submitted to arbitration
may be recognized and enforced; or
(d)
The
composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in
accordance with the agreement, was not in accordance with the law of the
country where the arbitration took place; or
(e) The award has not yet become binding on the
parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the
country in which, or under the law of which, that award was made”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan, baik dalam
UU Arbitrase maupun dalam New York Convention 1958 tersebut, maka PT. MD dapat
menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing (SIAC) dengan alasan-alasan
sebagaimana yang telah secara tegas diatur, baik dalam ketentuan Pasal 66 UU
Arbitrase maupun dalam Pasal 5 ayat (1) New York Convention 1958.
c. Upaya
Hukum PT. MD Membatalkan Putusan Arbitrase SIAC Berdasarkan New York Convention
1958
New York
Convention 1958 telah mengatur secara tegas terkait ketentuan pembatalan
putusan arbitrase internasional. Ketentuan terkait pembatalan putusan arbitrase
internasional dalam New York Convention diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1)
huruf e yang menentukan bahwa:
“The award has not yet become
binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent
authority of the country in which, or under the law of which, that award was
made”.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e New York Convention 1958 tersebut, maka PT.
MD dapat mengajukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase asing (SIAC)
berdasarkan hukum yang berlaku di Singapura. Oleh karena itu, permohonan
pembatalan terhadap putusan arbitrase SIAC tersebut juga harus diajukan di
lembaga pengadilan Singapura yang ditunjuk/berwenang membatalkan
putusan-putusan arbitrase SIAC.
disusun oleh :
Bobtian Sijabat (422084)
Etty Indrawati (422090)
Idik Saeful Bahri (422094)
Muhammad Adham Muhaimin (422101)
N. P. Ari Setyaningsih (422103)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Djojodirdjo,M.A.
Moegni, 2010, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta.
Fuady, Munir. 2010. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung.
Mulyadi, Kartini. 2005. Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek. Kencana. Jakarta.
Prodjodikoro,
Wirjono. 1954. Asas-Asas Hukum Perdata
Internasional. Cetakan Kedua. Van Dop & Co. Jakarta.
Rajagukguk,
Erman. 2000. Arbitrase dalam Putusan
Pengadilan. Chandra Pratama. Jakarta.
Sofyan,
Sri Soedewi Masjchoen. 2006. Hukum
Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan.
Liberty. Yogyakarta.
Zuraida.,
Tin. 2009. Prinsip Eksekusi Putusan
Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori dan Praktek yang Berkembang.
PT. Wastu Lanas Grafika. Surabaya.
B. Jurnal
Hikmah,
Mutiara. “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All Asia
Network Plc”. Jurnal Yudisial. Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Depok. Volume 5, Nomor 1. Bulan April. Tahun 2012.
C. Peraturan
Perundang-Undangan dan Konvensi Internasional
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diumumkan
dengan Maklumat 30 April 1847, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3872).
Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, Diundangkan di Jakarta dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 40.
New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards of 1958.
[1] M.A. Moegni
Djojodirdjo, 2010, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramitha,
Jakarta, hlm. 10.
[2] Ibid.,
hlm 11.
[3] Munir Fuady,
2010, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 8.
[6] Kartini
Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Seri
Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, Kencana, Jakarta,
hlm. 43.
[7] Sri Soedewi
Masjchoen Sofyan, 2006, Hukum Jaminan di
Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 63.
[8] Kartini
Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit.,
hlm. 44.
[9] Ibid.
[10] Wirjono
Prodjodikoro, 1954, Asas-Asas Hukum
Perdata Internasional, Cetakan Kedua, Van Dop & Co, Jakarta, hlm. 74.
Dalam Mutiara Hikmah, “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus
Astro All Asia Network Plc”, Jurnal
Yudisial, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Volume 5, Nomor 1,
Bulan April, Tahun 2012, hlm. 65.
[11] Erman
Rajagukguk, 2000, Arbitrase dalam Putusan
Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, hlm. 4. Dalam ibid.
[12] Tin Zuraida,
2009, Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia, Teori dan Praktek yang Berkembang, PT. Wastu
Lanas Grafika, Surabaya, hlm. 222. Dalam ibid.
[13] Mutiara
Hikmah, “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All Asia
Network Plc”, Jurnal Yudisial,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Volume 5, Nomor 1, Bulan April,
Tahun 2012, hlm. 66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar