Pembaca bisa berdiskusi dengan Idik Saeful Bahri melalui email : idikms@gmail.com, idik.saeful.b@mail.ugm.ac.id, atau idikms@mahkamahagung.go.id

Minggu, 28 Juni 2020

Mempertahankan Penyebutan "Eyang" untuk Hasan Maolani Lengkong Kuningan

Pada tahun 2020 ini, saya merilis sebuah buku tentang Eyang Hasan Maolani berjudul: “Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong”. Buku ini sejatinya sudah digagas lama sekali, yakni sejak tahun 2013. Namun karena keterbatasan data dan waktu pengerjaan, hasilnya harus molor hampir 7 tahun lamanya.

Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membahas isi dari buku saya tersebut, namun menyampaikan pendapat mengenai penyebutan “eyang” bagi Hasan Maolani Lengkong. Mengapa saya membahas hal ini? Karena beberapa kelompok generasi dari anak keturunan Eyang Hasan Maolani yang mungkin tergabung dalam sebuah paguyuban, mencoba mengkampanyekan merubah istilah “eyang” dengan istilah “kyai”. Apakah perubahan ini akan berhasil dan diterima ditengah-tengah masyarakat, utamanya masyarakat Kuningan yang sudah berpuluh-puluh tahun mengenal sosok Hasan Maolani dengan sebutan “eyang”, atau hanya akan menjadi perubahan yang sia-sia? Bahkan terkhusus lagi masyarakat Lengkong yang sudah menggunakan istilah ini dalam kehidupan sehari-harinya?

Saya pribadi tidak mengetahui persis mengapa sekelompok anak keturunan Eyang Hasan Maolani hendak merubah sebutan itu, saya juga tidak menanyakannya langsung kepada pihak-pihak tersebut, karena mungkin hanya akan menambah panjang perdebatan. Saya meyakini, perubahan istilah itu untuk menunjukkan atau memunculkan sosok Hasan Maolani sebagai sosok “Tokoh Islam” atau “Kaum Agamawan”. Beberapa hal yang saya dengar, perubahan istilah itu dinilai perlu dilakukan karena—menurut mereka—penyebutan istilah “eyang” merupakan penyebutan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menghancurkan citra dan nama baik Hasan Maolani. Walau kita semua tahu, pendapat tersebut baru sebatas hipotesis, belum bisa dibuktikan dengan data empirik yang bisa dipertanggungjawabkan.

Mari saya ajak pembaca untuk mengetahui realita yang ada di masyarakat, utamanya di Kuningan, dan terkhusus lagi di Desa Lengkong. Kami mengenal Hasan Maolani sebagai sosok yang diperbincangkan lintas generasi, dan setiap dari kami menyebutnya dengan istilah “eyang”. Lepas siapapun yang bercerita, kami mendengar sosoknya dengan sebutan “Eyang Hasan Maolani”.

Setiap orang Lengkong ngobrol sesama orang Lengkong, dan salah satu diantara mereka berucap sebuah nama “Eyang Hasan”, maka sang lawan bicara akan mengenali arah pembicaraan mereka. Maksudnya tentu Eyang Hasan Maolani. Walau tidak diucapkan lengkap, namun kami memahami dengan sangat baik. “Eyang Hasan” pastilah merujuk pada Eyang Hasan Maolani. Lebih dari itu, jika salah satu dari mereka hanya berujar “Dulu zaman Eyang”, maka kami juga akan paham bahwa pembicaraan ini merujuk ke zaman Eyang Hasan Maolani.

Begitulah gambaran sederhana masyarakat Lengkong. Kami tidak perlu mengatakan nama lengkap Hasan Maolani, cukup istilah “Eyang” atau “Eyang Hasan”, maka semuanya akan terkoneksi secara otomatis dalam pembicaraan yang sedang berlangsung.

Lain ceritanya jika istilah itu diubah dengan istilah “Kyai”. Ketika ada orang yang berbicara nama “Kyai Hasan” kepada orang Lengkong, saya meyakini tidak semua orang Lengkong akan mengenalnya secara tanggap, karena dianggap asing dan tidak familiar sama sekali. Apalagi jika hanya menyebut istilah “Kyai” saja, mungkin orang Lengkong yang menjadi lawan bicaranya akan bertanya balik, “Kyai Ucen? Kyai Syarifuddin?”

Sampai sini saja terlihat bahwa perubahan istilah “Kyai” kepada sosok Hasan Maolani tidak akan serta merta dapat diterima secara luas oleh masyarakat Kuningan utamanya masyarakat Lengkong, bahkan jika itu dikampanyekan besar-besaran oleh para anak keturunan Eyang Hasan Maolani. Saya punya pandangan tegas, perubahan ini hanya akan dianggap perubahan formal saja, hanya akan berubah di spanduk-spanduk acara haul Eyang Hasan Maolani, hanya akan berubah di karya tulis ilmiah di Perguruan Tinggi, dan hanya berubah di hal-hal formal lainnya, namun saya berani bertaruh hal ini tak akan pernah serta merta dapat berubah di hati masyarakat yang sudah mengenal sosok Hasan Maolani dengan sebutan “Eyang”.

Dari generasi kakek saya, generasi bapak saya, hingga sekarang-pun, nama Hasan Maolani tetap diobrolkan di pojok-pojok kampung dengan sebutan “Eyang Hasan Maolani”. Ini tak akan mudah digeser hanya karena sebagian pihak merasa istilah “eyang” kurang Islami. Bahkan nama jalan yang sudah diresmikan Pemerintah Kabupaten Kuningan saja dinamakan Jalan Eyang Hasan Maolani. Kasihan sekali MTsN Sindangsari (yang sekarang berubah nama menjadi MTsN 2 Kuningan) harus merubah berkas-berkas sekolahnya lagi jika nama jalannya lagi-lagi diubah menjadi Jalan Kyai Hasan Maolani.

Oke, saya akan menyampikan beberapa alasan mengapa saya pribadi menolak merubah istilah “eyang” menjadi istilah “kyai”, antara lain:

  •       Istilah “kyai” tidak serta merta identik sebagai golongan Islam

Dari runtutan sejarah dari berbagai sumber yang saya baca, istilah “kyai” ini sudah ada jauh sebelum masuknya Islam di tanah Jawa. Istilah ini merupakan istilah yang berkembang dan digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menyebut orang yang dituakan, atau dihormati. Artinya, istilah ini secara umum bisa digunakan bahkan kepada tokoh non-muslim sekalipun.

Ketika Islam masuk di tanah Jawa, ada pergeseran makna dari istiah “kyai” ini, dari yang tadinya istilah umum untuk orang yang dituakan, menyempit maknanya sebagai orang yang dituakan dalam ilmu agama Islam. Sejak saat itulah, istilah “kyai” bergeser makna menjadi ahli ilmu agama Islam yang dituakan. Hal ini juga sudah tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan penulisan “Kiai” tanpa huruf   “y”.

Pergeseran makna ini biasa terjadi dalam bahasa. Sebuah istilah dapat berubah dikarenakan 2 faktor, yakni karena perubahan waktu (zaman) dan perubahan tempat (wilayah). Perubahan makna dalam istilah “kyai” tadi adalah contoh perubahan makna karena waktu. Contoh lainnya adalah istilah “ulama”. Di Arab sana, istilah “ulama” telah ada bahkan sebelum munculnya Islam. Istilah ini bermakna orang-orang yang berilmu, dalam bidang apapun. Jika ada sekelompok orang yang ahli dalam berburu, maka secara bahasa bisa juga disebut ulama. Namun saat Islam datang, istilah ini mengalami perubahan makna, menjadi sekelompok orang yang ahli dalam bidang agama Islam saja. Hal ini terbukti dalam kitab-kitab Islam, jika disebut istilah “ulama” maka maknanya hanya untuk orang yang ahli dalam bidang agama Islam.

Adapun contoh perubahan makna karena wilayah, misalnya istilah “ustaz” yang merupakan istilah yang diambil dari bahasa Arab. Di Arab sana, istilah ini memiliki arti “guru”secara umum. Bisa guru matematika, guru fisika, guru kimia, dan lain-lain. Namun ketika istilah tersebut diadopsi ke dalam bahasa Indonesia, maknanya bergeser hanya untuk “guru agama” saja. Silahkan cek di KBBI.

Ini menunjukkan, secara bahasa istilah “kyai” tidak dapat diterjemahkan secara sepihak bahwa istilah tersebut “lebih Islami” dari istilah “eyang”. Toh jika merujuk pada definisi makna sebelum masuknya Islam di tanah Jawa, istilah “kyai” tersebut memiliki arti yang sama dengan istilah “eyang” di masa sekarang, yaitu untuk orang yang dituakan. Untuk apa mengganti istilah yang maknanya sama dengan istilah lain yang tidak familiar?

  •       Istilah “Eyang” telah melekat di benak hati masyarakat Lengkong

Sebagaimana telah saya uraikan diatas, bahkan jika ada orang Lengkong yang hanya menyebut nama “eyang” saja, maka lawan bicaranya yang sama-sama orang Lengkong akan langsung paham bahwa sosok yang dibicarakan adalah Eyang Hasan Maolani.

Ini berarti istilah “eyang” bagi Hasan Maolani telah melekat di hati masyarakat, dan karenanya telah menjadi istilah sosial yang akan sulit digantikan. Saya pribadi agak risi jika menyebut nama Hasan Maolani dengan nama “Kyai Hasan Maolani”, karena nama ini menjadi asing di telinga saya. Sejak saya kecil hingga sekarang, dan juga untuk selanjutnya, saya pribadi akan tetap memanggil dengan nama “Eyang Hasan Maolani”. Ini lebih familiar, ini lebih dicintai oleh masyarakat.

  •       Penggunaan istilah “kyai” hanya akan menambah beban pengenalan sosok Hasan Maolani

Sudah sejak lama masyarakat Lengkong mengenal sosok Eyang Hasan Maolani. Namun harus jujur diakui, sosok Eyang Hasan belum dikampanyekan secara nasional. Sudah pernah nama ini diajukan sebagai pahlawan nasional, namun harus terhenti karena banyak hal. Dari sejak diajukan sebagai pahlawan nasional, secara tidak langsung kita memulai untuk mengkampanyekan nama Eyang Hasan Maolani agar bisa dikenal oleh masyarakat yang lebih luas, yakni rakyat Indonesia.

Namun cita-cita ini akan terbentur dengan perubahan istilah dari “eyang” menjadi “kyai”. Jangankan untuk kampanye nasional, untuk internal masyarakat Lengkong saja, kita harus memulainya dari nol. Apa tidak menambah beban kedepannya?

  •       Istilah “Eyang” bisa menjadi tanda yang diingat oleh rakyat Indonesia

Gerakan untuk menjadikan Eyang Hasan Maolani sebagai pahlawan nasional akan tetap ada. Jika Nina Herlina Lubis dari UNPAD telah berusaha memulainya, maka tidak akan pernah ada pihak yang mampu mengakhirinya. Selama anak keturunan Eyang Hasan Maolani lahir ke dunia ini, selama itu pula akan ada orang yang tanpa pamrih ingin mewujudkan mimpi merubah nama Jalan Siliwangi menjadi nama Jalan Eyang Hasan Maolani.

Oleh karenanya, penting membuat sebuah nama yang ikonik yang bisa diingat oleh banyak orang dan menjadi ciri yang identik, membedakannya dari tokoh lainnya. Tidak banyak nama pahlawan yang kita kenal dengan sebutan “eyang” secara masif, namun untuk pahlawan nasional yang telah didaulat namanya dengan sebutan “kyai” sudah lebih dari lima.

Cobalah belajar kepada Tuanku Imam Bonjol. Nama aslinya bahkan tidak banyak orang yang tahu. Tapi nama panggilannya sangat identik, siapapun di Indonesia ini yang mendengar namanya, akan langsung berpikir “ohhh itu pahlawan nasional dari Sumatera”. Lihatlah namanya, apa ada istilah kyai nya? Dengan tidak ada istilah “kyai”, tidak menjadikan Imam Bonjol sebagai tokoh yang tidak Islami, bukan?

Maka dari itu, bagi saya pribadi istilah “eyang” ini sangat penting dipertahankan. Walau saat ini Eyang Hasan Maolani belum menjadi pahlawan nasional, namun tidak ada salahnya kita bermimpi. Saya masih meyakini, ada masa-nya Eyang Hasan Maolani akan menjadi pahlawan nasional. Jika bukan di era saya, mungkin di era anak saya, atau mungkin di era cucu saya. Yang jelas, jika hal itu terjadi, saya berangan, pada saatnya nanti ketika rakyat Indonesia mendengar istilah “eyang”, maka dibenak mereka terlukis jelas sosok Eyang Hasan Maolani.

 

 

=============================
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.

idikms@gmail.com


Tidak ada komentar: